Pesta demokrasi di tengah carut marutnya administrasi. Saya sendiri turut merasakannya.
Ketika Pemilu Presiden di tahun 2004 saya memilih di Wijayasari kawasan Jalan KH Ahmad Dahlan. Namun karena sudah pindah domisili dan berubah kartu keluarga maka mestinya saya dapat memilih di Kompleks Meranti, Paris II Kota Pontianak.
Ketika RT dihubungi untuk sistem culturstelsel aktif, Pak RT yang baru berganti mengatakan data sudah lengkap. Namun kenyataannya saya tidak terdata dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Kemarin pagi, Kamis (15/11) ketika saya temui KPPS, Beliau menyampaikan permohonan maaf karena ada 5 KK warga kompleks yang tidak masuk dalam DPT. “Maaf Pak, ini DPT kami terima dari KPU,” katanya.
Sebagai jurnalis yang mengerti aturan main Pilkada, saya hanya mengurut dada. Saya terpaksa tidak bisa menggunakan hak suara saya. Begitupula istri dan mertua.
Saya kemudian mendapat SMS dari Rustam Halim. Wakil Ketua Panwaslu yang semasa mudanya sebagai jurnalis ini juga tidak dapat memilih. “Saya tak bisa coblos walau bawa KTP karena tak terdaftar di DPT. Hak sebagai pemilih diabaikan oleh KPU. Bagaimana sih kerja KPU?”
Mahasiswa saya juga mengirim SMS. “Ass. Pak bagaimana nih? Di tempat saya banyak yang tidak dapat kartu pemilih termasuk saya. Tolong Pak, ini bukan pesta demokrasi. Aneh-aneh ada yang dapat kartu sampai dua. Tolong Pak, media punya power dalam hal ini.” Dari Lis Mardiana.
Di koran-koran juga ramai diberitakan ketidakberesan daftar pemilih ini. Banyak pejabat-pejabat penting juga kehilangan hak suaranya. Sebut saja Wakil Bupati Melawi Firman Muntaco, anggota DPR RI Gusti Syamsumin, Ketua Pemadam Kebakaran Ateng Tanjaya, mantan anggota DPRD Kalbar dan Sekretaris MABT Andreas Acui Simanjaya. Ada juga Ketua RT yang tidak mendapat kartu seperti Pak Saad di Wijayasari serta ayah kandung wartawan SCTV Amien Alkadrie kendati lama menjabat sebagai Ketua RW di kawasan Keraton Kadariah. “Sebaliknya, ada yang sudah meninggal dapat kartu pemilih. Adik saya yang polisi sampai dapat 3 kartu pemilih. Jangan-jangan KPU menggunakan juga data pemilih Pilpres tahun 2004,” celotehnya.
Akurasi data pemilih tentu saja buka isu main-main dalam pemilihan kepala daerah. Tidak boleh pula hak suara rakyat dipermainkan. Sebab satu suara besar maknanya bagi kelangsungan kepemimpinan daerah ini hingga 5 tahun ke depan.
Nazirin dari Pokja Sosialisasi KPUD Kalbar sependapat dengan pentingnya akurasi data pemilih ini. Tapi dia mengatakan bahwa yang mengerjakan data pemilih adalah BPS. “Carut marut data dimulai dari BPS,” ungkapnya.
KPUD kata Nazirin hanya klarifikasi menjadi DPT. “Kemarin dalam masa pemutaakhiran data terjadi peningkatan 10 persen. Ini sudah paling tinggi di Indonesia dan dinilai wajar. Warga saat itu kami juga minta proaktif mendaftar jika namanya tidak masuk dalam daftar pemilih sementara atau DPS,” ujarnya dalam dialog mengawal pilkada damai di Rektorat Untan (10/11) lalu.
Warga yang tidak masuk DPT diakui Christiandy Sanjaya calon wakil gubernur bersama paketnya Cornelis di kantong-kantong suara pendukungnya bisa mencapai 20%. Ini isu serius yang tak boleh terulang kembali, kendati yang sekarang terjadi adalah pengulangan kejadian saat Pilpres 2004. Ibarat keledai, kita masuk lubang dua kali. Agaknya kita lebih pandir dari keledai.
Kalau mau lebih pintar dalam data Pilkada, mungkin kita percayakan kepada RT untuk mengurus warganya, datanya akan akurat. “Kalau diserahkan kepada RT masing-masing saya yakin warga dapat terlayani dengan baik,” kata Sekdes Sungai Raya Dalam, Khairil Anwar. “Pemilu paling bagus dalam hal administrasi pemilih di masa Orde Baru. Mereka melibatkan RT. Kalau sekarang tidak,” ungkapnya. “BPS dan KPU makan duitnya saja. Kerja tak becus. Kita yang repot menghadapi keluhan warga,” tambahnya dengan wajah lelah ketika berbincang dengan saya di depan TPS 17 dan 18 Sungai Raya Dalam. Dan beginilah kondisi riil Pilkada kita tahun ini.
Kamis, 15 November 2007
Jurnalis Pun Tak Dapat Memilih
Posted by Noeris at 09.52
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar