Kamis, 04 Oktober 2007

Demokrasi di Meja Makan Grand Resto


SMS yang masuk di Ponsel AA Mering itu tiba sekira pukul 16.00 WIB, Senin (1/10). Ajakan buka puasa bersama di Grand Resto di Jalan Pahlawan berdampingan dengan Hotel Garuda. Yang mengajak itu Ir Andreas Acui Simanjaya kolega dekat Borneo Tribune.
Kami yang sedang bekerja di dapur redaksi merespon positif. Seusai menerima tamu dari Walubi, kami bergerak memenuhi undangan kawan dekat itu. Berangkat dengan kendaraan roda dua saya bersama Tanto Yakobus, Asriyadi Alexander Mering bersama Stefanus Akim dan Maulisa bersama Maningsih. Suryani gontai berkendaraan sendiri. Tepat pukul 17.15 kami tiba di Grand Resto. “Silahkan naik ke lantai dua,” ujar dua dara cantik berbaju merah yang membuka dua lembar pintu berbahan kaca. “Sudah ditunggu di atas,” lanjutnya dengan senyum manisnya.
Kami melangkah di atas lantai berlapis karpet merah dan tampak masih baru. “Saya baru tahu ada resto elegan di sini,” kata saya kepada Tanto. “Ah, sudah cukup lama,” jawab Tanto. Kami terus melangkah naik. Belakangan kami baru tahu resto ini sudah berusia 5 bulan. Nyaris sama waktu kelahirannya dengan Borneo Tribune.
Di mulut tangga sudah ada sosok pria yang sudah kami kenal. “Hei ini dia, ayo masuklah,” ujar mantan anggota DPRD Provinsi Kalbar, Ir Andreas Acui Simanjaya. Ditunjukkannya ruang tempat berbuka puasa bersama di mana di dalamnya sudah ada seorang pria muda berkacamata warna gold yang tak lain adalah Bos Grand Resto, Tan Tjung Hwa.
“Masuk, masuk. Masuk sini,” ujarnya berdiri dan menarikkan kursi, lantas kemudian mempersilahkan kami duduk. Acui turut duduk. Kami juga memilih tempat masing-masing dari bangku yang kosong melingkari meja. Di sini ada 10 kursi. Kami datang bertujuh. Praktis hanya tinggal satu kursi kosong. “Ideal,” pikir saya.
“Maaf, Acui sudah buka puasa,” kata Tjung Hwa bercanda.
Memang di atas meja depan muka Acui terdapat lemon tea yang sudah setengah gelas. “Gak pa pa,” kata saya.
“Kalau godaannya makin besar kan pahalanya makin gede,” kata Acui bercanda seraya tangannya menjemput gelas dan membawanya ke meja pinggir. Ia menyingkirkan minumannya itu. “Toleransi yang tinggi,” pikir saya. Kalau demokrasi kecil-kecil ini terus tumbuh, cikal bakal Kalbar maju pesat karena ada toleransi dan kebersamaan.
Acui tipikal pria demokrat. Ia bisa bergaul di berbagai kalangan. Kami di Tribune senang kepadanya sebagaimana Acui juga senang dengan komunitas Tribune yang multietnis bervisi idealisme, keberagaman dan kebersamaan.
Sebagaimana layaknya pertemuan pertama, Acui mengenalkan kepada Tjung Hwa siapa-siapa koleganya yang datang. “Ini Alex, ini Nur’Is, ini Tanto,” kata Acui.
“Alex saya sudah kenal.”
“Maaf, Mering,” kata Alex protes. Ia memang sedang mempopulerkan nama warisan sanak-sedulurnya itu. Ia kini bangga disapa Mering.
“Dek mana?” kata Tjung Hwa.
“Dia sedang ada acara,” kata saya. Dek (Hairul Mikrad, red) salah seorang redaktur yang kini jadi manager marketing di Borneo Tribune.
“Nur’Is bosnya Tribune,” ujar Acui.
“Wah ndak ada bos-bosan di Tribune, semua setara,” kata saya.
“Ini Maningsih dipanggil Cici. Dia sedang internship programe di Tribune. Ini Suryani wartawati Tionghoa. Ia nyaris seangkatan dengan Cici,” kata saya mengenalkan.
“Ini Maulisa. Wartawati baru kami ini yang tulisannya abang puja-puji itu. Sapaannya Icha,” sambung Mering kepada Acui.
“Ooh. Saya suka Icha menulis anak Long Khiat yang jadi tukang sapu di Mujahidin,” akunya. Lalu kami bercerita tentang Long Khiat Pontianak dan Long Khiat Singapura. Kedua-duanya orang terpandang. Kami cerita tentang muallaf.
Mering memperkenalkan siapa Tjung Hwa. “Abang tahu ndak kalau Tjung Hwa punya foto orang Dayak dari Cina?” ujarnya. “Dia punya. Tanya saja langsung kepadanya,” timpalnya seraya bersandar di kursi.
Tjung Hwa pun mulai bercerita. Ia bertandang ke Hongkong dan kemudian “tembak” ke Guangdong. “Maju sekali mereka,” ujarnya. “Jalan sebelah kiri enam jalur. Sebelah kanan enam jalur. Entah berapa besar biaya pembangunannya.”
Kisah ‘lelaki dan wanita Dayak’ yang dijepretnya itu tak lain adalah warga Suku Fa di daratan Cina. Mungkinkah kata Fa ini yang akhirnya membentuk kata Fa Nyin.
“Dia mengenakan atribut adat yang mirip orang Dayak,” ujarnya.
Kami setuju. Bahkan saya mengutip pendapat Dr Elias Tana Moning bahwa ada kaitan antara Dayak hingga Indian di Amerika.
“Kan orang Melayu asalnya dari Yunan Cina Selatan. Ada dua gelombang kedatangan. Melayu tua dan Melayu muda. Melayu tua itu yang kemudian kita sebut Dayak karena berdomisili di pedalaman, dan Melayu muda di pesisir sebagai Melayu yang kita kenal sekarang. Jadi hakikatnya sama-sama orang Cina,” kata saya.
Icha menimpali. “Iya yah. Rumpun Malanesia!”
“Malayik dan Ibanik,” sambung Mering.
Sejenak kami terlibat diskusi yang demokratis. Disebut-sebut tulisan Dr Yusriadi dan perjalanan HA Halim Ramli serta Borneois, Prof Dr Jim Collins. Dibuka pula fakta arkeologi Ketapang yang menunjukkan peradaban Kalbar sudah maju sejak masa lalu.
Saya sendiri berpikir yang duduk di meja bundar ini multietnis namun bisa diskusi dengan santai dan bergelak tawa penuh canda. Ada saya yang Bugis. Ada Mering dan Tanto serta Akim yang Dayak. (Mering bahkan proklamasi bahwa dirinya sudah pasca Dayak). Dan ada Icha dan Cici yang Melayu. Ada juga Suryani, Acui dan Tjung Hwa yang keturunan Cina yang kita selalu sebut Tionghoa.
“Ini contoh simpel demokrasi,” pikir saya dalam hati.
Pintu ruang khusus di lantai dua terbuka. Pelayan membawa air putih disusul kolak pisang. “Sudah azan,” katanya. Dan kami pun buka puasa bersama. Saya kemudian salat di lantai tiga untuk menunaikan ibadah salat Magrib.
Di atas meja makan telah terhidang Tong Yam, gurami goreng, ayam masak asam manis, cah sawi plus bakso dan rencah udang laut. Kuliner ini dilengkapi dengan sambal dan minum lemon tea.
“Bagaimana rasanya?” kata Tjung Hwa.
“Mantap. Tak kalah dengan Tong Yam di Thailand,” kata saya seraya mencicipi sajian ala Negeri Gajah Putih tersebut. Saya pernah ke Thailand dan merasa Tong Yam di Grand Resto begitu delicious.
“Mak nyos rasanya,” kata Tanto.
“Iya...maknyos juga,” timpal yang lainnya tertawa.
“Saya mau tahu dari kawan-kawan wartawan,” timpal Tjung Hwa.
Bicara soal makanan kami memuji Bondan Winarno seorang Pemred Sinar Harapan yang ide cemerlangnya soal liputan makanan jadi trend di televisi. Nyaris semua TV menyuguhkan acara kuliner.
“Dia investigator ulung. Dialah yang membuka kasus tambang emas di Busang, Kaltim,” urai Mering.
“Dia penulis. Juga menulis di Trubus dan menerbitkan sejumlah buku-buku pertanian,” kata saya.
“Inilah yang kami suka diskusi dengan wartawan,” timpal Acui. “Kami suka diskusi dengan anak-anak Tribune karena hobi baca. Hobi baca itu jangan sampai mati,” katanya.
Acui juga suka dengan perkembangan web log yang dipromotori awak Tribune. Acui punya blog didesainkan dari Tribune.
“Saya semula kagok, tapi sekarang saya sudah bisa meng-update sendiri,” tuturnya. “Saya suka buka blog Nur’Is, Andreas Harsono, Tanto dan adek Mering sekali sekali buka blog Akim,” akunya.
“Nanti untuk Bang Tjung Hwa saya buatkan blognya,” timpal Mering.
“Wow...” sambut Tjung Hwa.
Kami terus bercerita tentang seluk beluk dunia maya. Plus minusnya. Termasuk peran pers dalam blantika ekonomi, politik, sosial dan budaya.
“Saya melihat Kuching, Singapura dan Cina sudah begitu maju. Saya mendendam dalam hati, bagaimana kita juga bisa maju,” ungkap Tjung Hwa dengan jidat mengernyit. Ia menegaskan bahwa dalam Islam dinyatakan, “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke Negeri Cina.”
“Kita bisa, asal kita mau,” kata saya.
“Orang Cina di sini juga banyak. Kita bisa saling belajar,” katanya menyuguhkan senyum.
“Kita bisa maju lewat web,” timpal Mering.
“Soal teknologi kita pasti jauh ketinggalan, tapi kita bisa unggul di bidang pariwisata,” kata Acui.
“Menurut saya, tak ada suatu negara yang maju pariwisatanya tanpa transportasi yang lengkap,” kata Tjung Hwa.
Dia mencontohkan di Singapura. Negaranya kecil, tapi transportasinya begitu hidup.
“Tak ada negara berkembang tanpa transportasi yang memadai,” timpalnya.
Ketika di Singapura, Tjung Hwa ditertawakan ketika bertanya tentang city tour. “Tak perlu, semua di sini saling hubung. Semua boleh jadi alternatif. Dan tak akan pernah sesat,” ungkapnya mentertawakan diri sendiri.
Acui menimpali. “Bupati Agus Salim sudah benar menyediakan kapal ferry untuk naik ke Pulau Temajo agar daerah itu hidup pariwisatanya. Tapi sayang tak ditunjang dengan tempat sandar. Ujung-ujungnya ferry cuma diikat di pinggir pantai.” Dia tertawa.
Saya berpikir, betapa kesenjangan kita masih jauh dari maju.
Sambil makan banyak yang kami bicarakan. Seolah-olah kami bisa membalik dengan telapak tangan bagaimana memajukan Kalbar untuk setaraf dengan negara-negara maju. Banyak teori dan wawasan yang saling kami tumpahkan.
“Diskusi-diskusi seperti ini perlu terus kita jadwalkan,” kata Acui.
Saya mengatakan, untuk memajukan Kalbar pejabat-pejabat kita sudah mau. Cuma tidak gampang bagi mereka untuk mewujudkannya. Mereka berhadapan dengan teamwork yang tidak kompak, SDM staf yang rendah, wilayah yang luas, transportasi yang belum menunjang dan masih banyak masalah.
“Tapi kalau kita mau bersatu, kita pasti bisa. Tak ada yang bisa mengalahkan keyakinan dan kebulatan tekat.”
Saya tekankan siapapun yang jadi pemimpin di Kalbar dalam Pilkada mesti didukung. Masing-masing kandidat punya plus minusnya. Terpenting kita semua bersatu untuk membangun Kalbar. Toh Kalbar tidak bisa dibangun oleh salah satu kelompok atau sektor politik saja. Kita hanya bisa membangun jika ada kebersamaan.
“Saya setuju,” kata Tjung Hwa. Ia mengurai kiat sukses Deng Xiao Ping. “Saya tak peduli kucing hitam atau kucing putih asal bisa menangkap tikus. Sama saja bagi kita di Kalbar, tak peduli mau Melayu, Dayak, Cina atau orang Amerika sekalipun asal bisa membangun dengan adil, bijaksana.”
Diskusi tentang ini begitu hangat. Cuma sayang kami dikejar deadline sehingga untuk sementara diskusi demokrasi dipungkasi dengan pamitan. “Lain kali kita diskusi lagi. Tribune suka diskusi daripada ngerumpi.”□







0 comments: