Sabtu, 25 Agustus 2007

Kesepian di Posisi Tertinggi


Ketika ramai-ramai tokoh membuat buku putih seperti BJ Habibie dengan Detik-detik yang Menentukan (2006:549h), Wiranto dengan Bersaksi di Tengah Badai (2003:348h), Prabowo melalui Fadli Zon dengan buku Politik Huru Hara Mei 1998 (2004:172h) program Kick Andy di MetroTV menyatukannya.
Buku setebal 89 halaman ini memang dituangkan berdasar kesaksian BJ Habibie (Mantan Presiden), Prabowo (Mantan Pangkostrad) dan Wiranto (Mantan Pangab). Mereka bicara lepas apa adanya sehingga amat sangat menarik perhatian kita yang jauh dari istana negara. Terlebih buku ini ditulis dengan gaya wawancara tanya-jawab disertai kata pengantar Andy F Noya serta catatan kritis pakar politik Asvi Arman Adam.
Politik republik di tahun 1998-1999 saat itu memang sedang chaos seiring aksi massa menuntut reformasi. Di sisi lain ada aksi penculikan aktivis yang diduga dilakukan Danjen Kopassus - Pangkostrad Prabowo sebagai dalangnya.
BJ Habibie di dalam bukunya Detik-detik yang Menentukan menulis: “Sambil melihat ke jam tangan, saya tegaskan kepada Pangab. Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing.” (Halaman 1).
Selama ini banyak kejadian di seputar lengsernya Pak Harto yang masih menjadi tanda tanya. Pertanyaan seperti isu kudeta, pasukan liar yang mengepung rumah Presiden, keterlibatan agen CIA belum seluruhnya terkuak. Pertanyaan-pertanyaan itu menurut ahli utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI, Dr Asvi Warman Adam di halaman 86 bahwa polemik antara Habibie, Prabowo, Wiranto, Ali Alatas bila diibaratkan dengan film masih berkisar seputar para aktor pendukung. Sedangkan aktor utamanya masih belum tampil. Jenderal Bintang Lima, Soeharto.
Beberapa orang yang terlibat menyampaikan sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Hal itu pula yang tercermin lewat buku-buku putih para tokoh seperti Habibie, Prabowo, Wiranto hingga pakar ekonomi yang juga ayah kandung Prabowo—Soemitro Djoyohadikusumo—yang membela putranya. Senada dengan Fadli Zon yang dekat dengan Prabowo, bahwa Prabowo dikorbankan sebagai rivalitas dengan Wiranto. Prabowo disebut dengan ABRI Hijau lantaran dekat dengan kalangan Islam hingga hubungan mesranya dengan Pemerintah Yordania, sedangkan Wiranto disebut dengan ABRI Merah Putih karena lebih dekat dengan kalangan nasionalis.
Hal itu pula yang tercermin di dalam buku yang dituangkan lewat program Kick Andy di mana tiga tokoh sentral tersebut bersaksi secara live. Tampak bahwa tiga tokoh seperti BJ Habibie, Wiranto dan Prabowo adalah orang-orang kesepian di puncak karirnya. Komunikasinya pun menjadi serba terbatas. Habibie mengandalkan laporan orang-orang terdekatnya seperti Pangab, BIN, menteri, dan orang-orang khusus.
Gus Dur pun pernah dikritik, “Tergantung pembisik.” Ini menunjukkan betapa pola komunikasi petinggi butuh model khusus dan bahkan kajian khusus agar efektif dan efisien. Habibie mengaku secara terus terang kenapa dia tidak pernah diterima Pak Harto pasca lengser keprabonnya pemimpin Orde Baru tersebut. Hanya sekali pasca lengser Pak Harto berbicara dengan Habibie. Itupun cuma lewat telepon. Kala itu ulangtahun Pak Harto yang ke-77.
“Pak saya membutuhkan pertemuan dengan Bapak,” kata Habibie. Pak Harto menjawab, “Laksanakan tugasmu sebaik-baiknya.”
“Tapi saya butuh ketemu, Pak.”
“Tidak. Kita ketemu secara batin saja.”
Pak Harto mengatakan, “Sudah. Saya sudah tua, hanya bisa mengantarkan sampai di sini saja. Laksanakan tugasmu.”
Jadi lewat pengakuan Habibie itu betapa terasa sepinya Pak Harto. Begitupula Habibie.
Habibie pun sepi ketika berhadapan dengan Prabowo yang juga menantu Pak Harto. “Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto, Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad,” ungkap Prabowo (hal 2).
Habibie menjawab, “Anda tidak dipecat, tetapi jabatan Anda diganti.”
“Mengapa?” tanya Prabowo.
“Saya menyampaikan bahwa saya mendapat laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan dan Istana Merdeka.”
“Saya bermaksud mengamankan Presiden,” kata Prabowo.
“Itu adalah tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada Pangab dan bukan tugas Anda,” kata Habibie.
“Presiden apa Anda? Anda naif!” Jawab Prabowo dengan nada marah. Pada versi lain Prabowo menodongkan pistol kepada Habibie. Versi lain pistol itu sudah dilepas saat Prabowo masuk menghadap Habibie di istana negara. Sosok yang berjasa menyelamatkan Habibie disebut-sebut mantan Kopassus dan Sesdalopbang Sintong Pandjaitan.
Pengakuan Habibie di dalam bukunya dinilai luar biasa. Prabowo pun bicara lantang. Ia mengakui Habibie seperti orang tuanya sendiri. Ia menolak dikatakan akan melakukan makar. Prabowo juga menolak tudingan Habibie yang menyatakan dirinya berkata, “Anda naif!”
Kalau Habibie mau bertemu Pak Harto tak kesampaian, Prabowo juga begitu. Ia hendak bertemu Habibie pun tak kesampaian. Pola komunikasi seperti apa yang terjadi di tengah elit politik kita? Asvi Arman Adam menyatakan, Pak Harto perlu didengar pengakuannya. “Pertanyaannya, mampukan produser program Kick Andy menghadirkan Soeharto dalam acara tersebut?” (Hal 86).
Wiranto sendiri merupakan tokoh sentral selain Prabowo yang disebut-sebut Habibie. Wiranto disebut Habibie sebagi yang melaporkan kepadanya ada gerakan pasukan liar. Ini dinilai akan ada kudeta.
Di dalam buku Habibie, Wiranto juga keberatan soal Timtim dan Keppres No 16 dari Pak Harto kepadanya yang mirip seperti Supersemar. (hal 44-70).
Wiranto menolak tudingan bahwa ada rivalitas antara dirinya dengan Prabowo. Jika bukan karena pangkat, setidaknya akses menembus Pak Harto—Prabowo bisa lebih cepat. Wiranto jengkel? Yang jelas Prabowo disetujuinya selaku Pangab untuk digeser jabatannya selaku Pangkostrad dan dicopot dari kedinasan aktif. Alih-alihnya adalah Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Jika Habibie benar, Wiranto dan Prabowo juga benar seperti alur berpikir mereka di buku ini, lalu siapa yang salah? Saya menilainya komunikasi antarpemimpin yang kurang efektif. Asvi Arman Adam menyatakan Pak Harto. Andy F Noya menyatakan biarlah waktu yang akan mengujinya. Bagaimana pendapat Anda? □

0 comments: