Jumat, 03 Agustus 2007

Dari Nusa Bunga untuk Nusantara


Laporan Perjalanan dari Flores (3)

Nur Iskandar
Borneo Tribune

Bung Karno pernah dibuang ke Ende. Dia digambarkan duduk di bawah pohon sukun dan belajar di sana. Si kutu buku yang kalau menulis suka menggunakan nama samaran Bima ini berpikir tentang Pancasila. Pancasila lahir dari Ende.
Warga Flores amat bangga dengan sejarah kehadiran tokoh proklamasi di Ende. Buktinya, rumah tempat di mana Bung Karno dibuang dirawat dan dipelihara. Pohon sukun tempat Bung Karno merenung juga dirawat serta dipelihara. Patung Bung Karno dibangun tak jauh dari pohon sukun itu. Megawati yang meresmikan patung ayahnya itu.
Saya tak melewatkan kesempatan emas berkunjung ke rumah pembuangan Presiden RI pertama tersebut. Apalagi Kota Ende tidak besar. Kota ini besarnya sama dengan Kota Sanggau, bahkan mirip. Terutama kalau kita berada di atas, dapat melihat pasar dengan tepian sungai (untuk Sanggau), laut (untuk Ende).
Patung Bung Karno dengan pohon sukunnya kini menjadi bagian dari Taman Alun-alun Kota Ende. Nyaris mirip dengan Taman Alun Kapuas. Dia berada di dekat pasar. Tamannya luas dan berbatasan dengan Museum Tenun Ikat. Memang Kota Ende terkenal dengan kain tenun ikatnya.
Ketika berjalan-jalan di kawasan ini saya coba tanya berapa harga kain tenun ikat itu. Harganya relatif mahal. Ratusan ribu. Tapi ternyata kain tenun ikat digunakan sehari-hari oleh warga. Tak peduli laki maupun perempuan. Bahkan selimut pun dari bahan tenun ikat. “Hidup tenun ikat,” goda saya dalam hati.
Budaya yang bagus. “Mencintai produk sendiri. Sebuah ‘nasionalisme’ yang tinggi,” pikir saya lagi.
Pontianak sendiri untuk kain corak insang yang khas tidak digunakan semaniak warga Flores. Corak insang hanya mencolok untuk pakaian pegawai, tidak untuk life style sehari-hari. Dalam hal ini kita boleh belajar dari Ende.
Lokasi Taman Bung Karno dengan rumah pembuangannya di Kampung Raja tidak jauh. Menumpang berkendaraan roda dua tak sampai 5 menit santai.
Rumah Bung Karno ibarat museum. Sepi. Pintu-jendelanya terkunci. Tapi di kiri-kanan dan depan rumah BK ada rumah warga biasa. Ramai. Mereka memanfaatkan lokasi yang strategis itu buat berdagang. Terutama menjual hasil kerajinan, makanan, minuman.
Rumah itu sederhana. Dindingnya papan. Pintu jendelanya model kuno. Pagar kayunya biasa. Tak ada yang istimewa kecuali papan pengumuman yang menerangkan situs sejarah ini dilindungi.
Rumah ini kecil. Kalau ukuran sekarang hanya tergolong tipe 36. Hanya halamannya yang luas. Di depan teras ada taman bunga. Di belakang ada sumur yang menurut warga setempat berkhasiat. “Kalau sudah sampai di sini ambil air sumurnya. Berdoalah. Akan dikabulkan,” kata Bruder Inno kepada saya. Ya tidak ada salahnya saya coba juga membasuh muka.
Bung Karno berjalan kaki ke alun-alun. Dia berteduh di bawah pohon sukun. “Karena daun sukun menjari lima, terinspirasikanlah Pancasila. Lima sila,” ungkap Bruder Inno Making yang menemani saya keliling Ende. Pohon sukun yang asli sudah mati. “Ini pohon sukun baru,” tambah Inno.
Inspirasi Pancasila menjadi inspirasi para pendiri Flores Pos. Mereka menanamkan semboyan “dari nusa bunga untuk nusantara”. Nusa Bunga adalah nama lain dari Flores. Flores asal katanya flore atau bunga.
Dari nusa bunga untuk nusantara adalah visi yang besar. Apalagi latar belakang lahirnya Flores Pos adalah jajak pendapat yang berlangsung di Timor-Timur dan dimenangkan Timor Leste. Para pendiri ingin nasionalisme keindonesiaan terpatri erat di kalangan warga NTT yang jumlahnya sekitar 4 juta jiwa tersebut.
Tak mudah bagi Flores Pos untuk mewujudkan visinya tersebut. Tapi mereka memiliki “segalanya”. Mulai dari lokasi yang strategis, memiliki penyandang dana yang besar, mempunyai percetakan yang gede, peternakan dan pertanian, toko buku, show room buku dan tentu saja SDM wartawan-wartawati.
Dengan bernaung di bawah SVD atau Serikat Sabda Allah mereka menempatkan moralitas di atas materialitas. Team work yang solid dan iklim kompetisi yang ketat akan menguji eksistensi Flores Pos untuk mewujudkan visi dari nusa bunga untuk nusantara. (bersambung) 

0 comments: