Jumat, 27 Juli 2007

Tribune Institute dan Akademia Jurusan Pracetak - Mesin

Harian Borneo Tribune yang terbit perdana—19 Mei—pada sehari menjelang Hari Kebangkitan Nasional—20 Mei—memang sadar sesadar-sadarnya bahwa pendidikan itu penting. Saking pentingnya sejak semula berdiri sebagai harian dengan 24 halaman plus full colour di dua section halaman muka dari tiga section yang dimilikinya telah mendirikan sebuah lembaga nirlaba bernama Tribune Institute.
Tribune Institute adalah kampus jurnalistik Harian Borneo Tribune di mana para “pengajarnya” adalah mereka yang punya keterampilan di bidang jurnalistik serta mau berbagi kepada siapa saja yang mau belajar.
Pada edisi Minggu, 1 Juli yang lalu telah kami perkenalkan kepada pembaca 10 orang akademia Tribune Institute yang terlibat di reportase lapangan. Mereka—berdasarkan abjad—adalah Andry, Arthurio Oktavianus, Agus, Budi Rahman, Endang Kusmiyati, Hanoto, Johan Wahyudi, Maulisa, Mujidi, dan Yulan Mirza. Kini di edisi Minggu 8 Juli kali ini ingin kami perkenalkan akademia jurusan Pracetak maupun Mesin sebagai semangat silaturahmi di mana kata pepatah: tak kenal maka tak sayang; tak sayang maka tak cinta. Siapa saja mereka? Berdasarkan urutan abjad mereka yang berkecimpung di Pracetak adalah Atika Ramadhani, Fachmi Ichwan, Iskandar, Iwan Siswanto, Sam Abu Bakar dan Ukan Dinata.
Atika Ramadhani adalah alumni Fakultas Ekonomi Untan yang gemar kutak-katik komputer khususnya program gambar/foto, tata wajah dan cetak. Jauh hari sebelum memilih Borneo Tribune cewek manis berjilbab satu ini juga punya usaha kecil-kecilan di bidang sablon dan cetakan. Usaha ini sekarang lebih banyak diteruskan adik-adiknya. Tika—sapaan akrabnya—memilih bekerja profesional di Borneo Tribune karena satu visi-misi yakni ingin mewujudkan idealisme, keberagaman dan kebersamaan.
Fachmi Ichwan sudah tak asing lagi di kalangan aktivis pers kampus khususnya di Universitas Tanjungpura. Pemilik gelar sarjana kehutanan ini sudah terampil menata wajah media terutama Tabloid Mimbar Untan sehingga dia “lenggang kangkung” bekerja di media cetak profesional seperti Borneo Tribune.
Iskandar satu jalur dengan Fachmi. Dia merupakan aktivis pers kampus yang sudah malang melintang di bagian perwajahan Tabloid Mimbar Untan. Akademia termuda di jajaran Pracetak ini kini masih magang. Dia lulus seleksi layouter tahap satu untuk kemudian magang dari sejumlah pemilik tangan terampil untuk bergabung di Borneo Tribune. Iskandar masih mengeduk ilmu pertanian di Universitas Tanjungpura.
Iwan Siswanto tak hanya malang melintang di bidang lay-out media cetak profesional. Alumni Fakultas Teknik Untan ini juga memiliki home industri yang aktif. Riwayat pekerjaan profesionalnya di media cetak pro sudah terhitung belasan tahun.
Iwan Siswanto searah pendidikan akademis serta hobinya di bidang kelistrikan juga menguasai Information Technology (IT). Wajar jika Iwan pula yang dipercaya merancang berbagai sistem IT di Borneo Tribune.
Sam Abubakar tipikal pria pendiam dan pekerja, namun jika sudah kenal dia adalah sahabat yang baik dengan bertutur apa adanya. Sikapnya yang pendiam bukan berarti dia tak membaca situasi di sekitarnya, terbukti dengan kreativitas maupun karya-karyanya. Hasil olah tangan Sam—panggilan sehari-harinya—sangat atraktif. Karya yang atraktif serta dinamis mencerminkan kebebasan pemikiran maupun jiwanya. Kebebasan jiwa dan pemikiran memang sejalan dengan idealisme, keberagaman dan kebersamaan yang menjadi visi-misi Borneo Tribune maupun Tribune Institutenya. Kondisi “bebas” seperti ini yang kondusif bagi lahirnya karya-karya yang indah.
Ukan Dinata adalah nama yang sudah terkenal di mana-mana di seantero Kalbar. Karya-karya gravisnya telah mengukir sejarah media di daerah ini.
Di Borneo Tribune, Ukan yang dekat disapa dengan panggilan Fakun adalah yang paling senior. Ilmu dan pengalamanya juga paling senior. Dia sudah berkeliling Eropa untuk ilmu permesinan. Dia juga Art Designer “murid” dari Georgia Scott dari New York Times.
Jika Iwan Siswanto sudah bekerja di publikasi pro selama belasan tahun, Fakun sudah terjun sejak puluhan tahun yang lalu. Wajar jika di pundaknyalah tersematkan tugas serta tanggung jawab developmental bidang Pracetak hingga Percetakan. Sejak layout hingga mesin cetak.
Di jurusan Mesin di bawah pengawasan Fakun terdapat sejumlah akademia. Mereka adalah Alis, Andre, Poi dan Rustam. Keempat pemuda yang “ganteng-ganteng” ini pun sudah berpengalaman di bidangnya.
Alis yang bernama lengkap Nurhalis sudah mengecap pendidikan mesin offset di Jakarta. Dia sudah terampil menggerakkan mesin cetak offset di Romeo Grafika milik familinya di Kota Pontianak. Tapi Alis tak mau statis. Dia mau belajar prihal mesin koran yang berbeda dari mesin offset biasa. Maka dia memilih bergabung dengan Borneo Tribune.
Andre adalah yang paling jangkung di antara rekan-rekannya di “jurusan” mesin. Fisik jasmaninya mendukung keterampilannya di bidang kelistrikan mesin cetak. Jika ada hambatan-hambatan electricity maka dialah yang menjadi Dubes—duta besar yang kerap pula diplesetkan dengan dukun besar. Kerewelan-kerewelan berbagai unit bisa “dijinakkannya”. Tentu dalam satu kesatuan team. “The dream team”.
Poi adalah akademia yang paling unik di jurusan mesin yang dimiliki keluarga besar Tribune. Suaranya khas. Jika dia memberikan instruksi, suara mesin pun kalah. Sambil bercanda kawan-kawan mengatakan bahwa tubuh mungil Poi tak mau kalah dengan raksasanya mesin Goss Community. Pemilik nama asli Supriyanto ini tak jarang berteriak-teriak dari puncak mesin agar hasil cetakannya bagus. Hasil cetak yang bagus tentu sebagai bagian dari pelayanan kepada konsumen Borneo Tribune. Poi paling sewot jika hasil cetakan jelek. Dia terus berpikir bagaimana caranya agar gambar-gambar yang terbit di Tribune kinclong.
Rustam kebalikan dari Poi. Kalau Poi suaranya keras sementara tubuhnya mungil, Rustam tubuhnya gempal tapi suaranya tak terdengar karena dia pendiam. Urusannya lebih banyak kutak-katik mesin membantu rekan-rekannya tanpa banyak bicara.
Kendati Rustam pendiam bukanlah berarti dia anak bawang. Dia punya bakat permesinan yang ulet sejak masih remaja. Wajar jika dia sudah terampil utak-atik mesin motor, mobil hingga kini ke mesin cetak.
Sejak Rustam hingga siapapun di Borneo Tribune memang punya cerita serta semangat bekerja yang tinggi. Semua akademia memang punya semangat belajar bahkan mengajarkannya lewat Tribune Institute. Soal semangat, apa sih yang bisa mengalahkan semangat?
Kami sadar bahwa Republik ini pun bisa merdeka karena adanya semangat. Semangat kebangkitan nasional yang ditopang pendidikan di dalamnya. Jika ada semangat kebersamaan—kata lain dari persatuan dan kesatuan—apa sih yang tak bisa? Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Inilah sunnatullah, natural of law atau hukum alam yang berlaku di mana-mana. □

0 comments: