Jumat, 27 Juli 2007

Dewan Redaksi Borneo Tribune

Sudah dua pekan berlalu kami perkenalkan akademia Tribune Institute yang bergerak di reportase lapangan, lay out dan percetakan. Kini kami perkenalkan Dewan Redaksi sebagai bentuk silaturhmi kepada pembaca di mana kami menyelami benar makna pribahasa: tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka...dan seterusnya dan sebagainya.
Silaturahmi menurut petatah-petitih orang tua nan bijak menyebabkan kita jadi panjang umur dan murah rizki. Sebaliknya, jika memutus hubungan silaturahmi hidup menjadi sempit ibarat penjara. Kemana-mana saja berasa sempit.
Kami tak mau sempit. Kami mau tumbuh dalam kontek silaturahmi yang sebaik-baiknya.
Kami harus mengenalkan diri agar publik mudah “berhubungan” dengan kami terkait pemberitaan. Terkait apa saja mengenai Borneo Tribune atau lembaga pendidikan pers dan komunikasinya yang berlabel Tribune Institute.
Tentu perlu digarisbawahi di sini bahwa tujuan kami mengenalkan diri bukan untuk “terkenal” karena itu kami sadari bermula dari kepercayaan diri yang terlalu narsis. Itu tak baik. Nanti yang terjadi adalah riyak. Riyak adalah penyakit hati yang mesti dicuci dengan eling lan waspada.
Esensi dari perkenalan diri kami sesungguhnya juga adalah agar kita saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran agar kita tidak merugi. Bukannya kenapa, kami memang sudah dirugikan akibat adanya oknum-oknum yang mengatasnamakan reporter atau redaktur Borneo Tribune. Mereka datang ke pejabat-pejabat tertentu dan merugikan nama baik Borneo Tribune dengan aksi-aksi mereka yang tidak terpuji.
Sekali lagi, yang bukan nama dan wajahnya terpampang di Dewan Redaksi ini, mereka bukanlah Dewan Redaksi Borneo Tribune. Di Borneo Tribune reporter dan redakturnya dibekali ID-Card yang jelas. Sementara jika ada oknum mengatasnamakan Borneo Tribune dan tak ada identitas diri yang akurat, sebaiknya kontak ke redaksi atau jangan sungkan melapor ke aparat berwajib. Tangkap dan adili saja mereka. Bukankah negara kita adalah negara hukum?
Duduk di jajaran Dewan Redaksi berdasarkan abjad: Asriyadi Alexander Mering, Hairul Mikrad, Muhlis Suhaeri, Nur Iskandar, Safitri Rayuni, Stefanus Akim, Tanto Yakobus dan Yusriadi.
Asriyadi Alexander Mering semula adalah penulis cerpen yang andal. Karya-karyanya sejak muda di bangku kuliah sudah menembus media-media lokal dan nasional. Karya-karya sastranya juga menghiasi negeri Jiran, Malaysia. Tak urung beberapa kali Mering—sapaannya—menjadi pembicara sastra di Malaysia.
Alumni Fakultas Hukum Untan yang tak suka dengan sekat etnis dan agama ini pun lebih suka menyebut dirinya pasca Dayak, bahkan sudah pasca Indonesia. “Terbungkus sekat primordial menyebabkan kita jadi kerdil,” urainya.
Hairul Mikrad kelahiran Sungai Pinyuh. Talentanya di bidang jurnalistik tertempa di bangku kuliah saat dia menjadi aktivis di Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian Untan. Di masa kepemimpinannya Menhut Djamaluddin berhasil didatangkannya. Bahkan menanam pohon pula di Arboretum.
Pria berkacamata dan bertubuh bongsor ini terampil menembus sumber-sumber penting. Katanya, talenta diplomasi itu telah terasah sejak dini di mana ia aktif di kepramukaan. “Berorganisasi memang penting,” katanya.
Kalau Mering melanglang buana hingga ke Malaysia, Hairul Mikrad yang akrab disapa dengan Dek atau Dedek “terbang” hingga ke Meulaboh-Aceh, Brunei Darussalam maupun lembaga-lembaga tinggi negara di Jakarta. Meliput di medan konflik menurutnya amat berkesan.
Muhlis Suhaeri sebelum bergabung di Tribune adalah penulis yang aktif di sejumlah media nasional. Gatra, Pantau bahkan Playboy sudah dijejalnya. Karya-karyanya yang kental bergaya narasi tak jarang dapat pujian. Pujian itu disampaikan langsung oleh Lembaga Pendidikan Pers Soetomo ketika menggelar pelatihan bagi para redaktur se-Kalbar di Grand Mahkota beberapa bulan silam.
Muhlis gemar membaca dan menulis. Ia sudah membukukan karya jurnalistiknya dengan menulis biografi tokoh film kesohor kelahiran Betawi, Benyamin S. Buku ini diterbitkan di Jakarta dan dapat diperoleh di toko-toko buku terkenal seperti Gramedia maupun Karisma.
Nur Iskandar. Dia anak ketiga dari lima bersaudara pasangan H Hasan Har dan Hj Halijah HMS. Jurnalistik adalah pilihan hidupnya setelah malang melintang sebagai aktivis pers kampus.
Di jajaran pers nasional nama Nuris—sapaannya—sudah dikenal karena dia merupakan Presidium Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Wilayah Kalimantan. Dia juga peraih beasiswa ke Amerika Serikat masing-masing tahun 2001 dan 2004 untuk program investigative reporting dan religious, pluralism and democratism. Kedua program tersebut didanai Departemen Luar Negeri AS.
Sejumlah buku juga sudah ditulisnya bersama sejumlah sahabat antara lain Biografi H Mawardi Dja’far, ontologi DPRD Kalbar, dan Dua Periode Kepemimpinan H Aspar Aswin.
Safitri Rayuni merupakan anggota Dewan Redaksi yang putri satu-satunya. Dia pun mengasah bakat kepenulisannya sejak kuliah di kampus hijau Universitas Tanjungpura.
Sebelum meraih gelar Sarjana Pertanian, Ifit—panggilannya—sempat berguru dengan guru besar narative reporting yang diampu Prof Janet Steel. Ifit adalah peserta terbaik dan mendapat promosi beasiswa ke Negeri Kangguru pada September mendatang.
Stefanus Akim baru saja pulang dari pendidikan jurnalisme bergaya sastra di Jakarta dua minggu di pertengahan Juni. Dia berguru dengan peraih Newman Fellowship Harvard University, Andreas Harsono dan Prof Janet Steel.
Kemampuan Akim—julukannya—dalam hal menulis juga dimulai dari bangku sekolah. Dia terus mengasahnya di Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan. Selanjutnya dia sudah berpengalaman liputan di seantero Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak yang beribukota Mempawah maupun Kota Pontianak kendati Akim sesungguhnya kelahiran Sungai Ambawang. “Pengalaman keliling membuat saya mengerti arti kehidupan,” simpulnya.
Tanto Yakobus memulai karir jurnalistiknya dari majalah Gamma. Dia sempat menjadi kepala biro di Singkawang dan mengantor di Hotel Mahkota. “Ini pengalaman unik,” timpalnya.
Tanto sebelum Borneo Tribune terbit sudah lebih dahulu mengenyam pendidikan khusus di Pantau Foundation. Sepulang pendidikan di Jakarta itu dia begitu bergiat menulis. “Ilmu terdahulu bagi saya belum ada apa-apanya. Sekarang saya semakin mengerti,” jelasnya.
Yusriadi. Dari segi indeks nama dia tampil di belakang, tapi dari sisi pemikiran dia selalu tampil terdepan. Hal itu wajar karena secara akademis pun, Yusriadi yang kerap disapa Bang Yus adalah yang tertinggi. Dia sudah S3 dan bergelar doktor di bidang bahasa. Dia meraih predikat cemerlang dari Universiti Kebangsaan Malaysia di bawah bimbingan Prof James Collins—seorang pakar Borneo.
Baru-baru ini Yusriadi diundang tampil sebagai pembicara di sebuah seminar di UKM. Tulisan-tulisannya dapat diikuti secara bersambung di Harian Borneo Tribune sejak Senin 2 Juli lalu.
Di jajaran Dewan Redaksi Borneo Tribune juga ada fotografer dan ilustrator andalan. Mereka adalah Lukas B Wijanarko dan Zoel MS.
Lukas lahir di Pontianak, namun menyelesaikan pendidikan fotografinya di Jakarta. Hasil-hasil jepretannya telah bertebaran di mana-mana. Dia pun tak urung membuat pameran tunggal atas hasil seni fotografinya itu.
Zoel MS tumbuh sebagai ilustrator, pelukis dan juga terampil kalau memegang kamera. Ini semua dikuasai Zoel karena ditopang hobi serta kemampuan akademisnya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.
Kalau Lukas sebagai fotografer profesional tak jarang diminta memotret peristiwa-peristiwa khusus, Zoel juga begitu. Tak jarang dia “dikontrak” lembaga-lembaga internasional seperti World Wide Foundation atau WWF untuk memotret alam, membuat ilustrasi hingga lukisan. Zoel pun sama dengan Lukas sudah tak terhitung membuat pameran-pameran seni.
Para pemuda Kalbar di atas terus berpikir dan berkarya. Mereka berbuat di Borneo Tribune dan karya itu dipersembahkan kepada pembaca. Respon pembaca pun amat dibutuhkan sebagai feedback sehingga Kalbar beroleh bacaan yang punya harkat dan martabat di mana kala membacanya berasa lebih, bahkan lebih berasa. □

0 comments: