Jumat, 27 Juli 2007

Meramu Kebangkitan Nasional Kedua dari Tribune

Dua hari nasional penting di bulan Mei ini. Keduanya, masing-masing: hari pendidikan nasional yang jatuh pada 2 Mei dan hari kebangkitan nasional yang jatuh pada 20 Mei. Kita hendak memaknai dua hari penting tersebut untuk memetakan kebangkitan Indonesia yang kedua via media.
Kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun. Masa ini diawali dengan dua peristiwa penting Boedi Oetomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli.
Tokoh-tokoh kebangkitan nasional, antara lain: Sutomo, Gunawan, dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), dr. Douwes Dekker, dll.
Selanjutnya pada 1912 berdirilah partai politik pertama Indische Partij. Pada tahun ini juga Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (Solo), KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah (Yogyakarta) dan Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera di Magelang.
Suwardi Suryoningrat yang tergabung dalam Komite Boemi Poetera, menulis Als ik eens Nederlander was (Seandainya aku orang Belanda), 20 Juli 1913 yang memprotes keras rencana pemerintah jajahan Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Hindia Belanda. Karena tulisan inilah dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryoningrat dihukum dan diasingkan ke Banda dan Bangka, tetapi “karena boleh memilih”, keduanya dibuang ke Negeri Belanda. Di sana Suwardi justru belajar ilmu pendidikan dan dr. Tjipto karena sakit dipulangkan ke Indonesia.
***
Kilas balik tersebut di atas memacu adrenalin kami di Borneo Tribune untuk mengangkat laporan khusus (lapsus) Harkitnas ini. Terutama dikaitkan dengan semangat yang menggebu-gebu menjadikan Kebangkitan Nasional Indonesia Kedua dari Bumi Khatulistiwa.
Kita mendengar tema sentral itu digaungkan Wali Kota Pontianak, dr H Buchary A Rachman. Beliau bahkan mengundang kehadiran budayawan gaek WS Rendra dengan pembacaan puisinya di Tugu Khatulistiwa. Saat itu Rendra yang terkenal dengan gelar Si Burung Meraknya membacakan puisi panjang berjudul “Maskumambang”.
Semangat kebangkitan itu bangkit dengan motor pendidikan dan kebudayaan di dalamnya. Namun peristiwa bersama Rendra sudah lepas setahun silam. Bagaimana wujud kongkritnya di tahun 2007 ini? Kami coba mengupasnya lewat edisi khusus kali ini.
Menyoal kebangkitan nasional banyak bidang yang harus kita telaah. Apatah itu di bidang ekonomi, politik, pertahanan, keamanan maupun kebudayaan. Kami coba laporkan pula peran teknologi dalam kebangkitan Indonesia kedua. Bahan itu ditulis oleh ilmuan asal Institut Teknologi Bandung (ITB) Onno W Purbo.
Bicara soal kebangkitan nasional, banyak yang hendak kita bangkitkan. Tapi realitasnya seperti apa, masing-masing kita turut merasakan, menyaksikan dan sekaligus dapat memberikan penilaian. Satu tulisan khusus menyoal kebangkitan nasional dengan realitasnya disajikan melalui goresan pena Agus Sakti.
Sidang Dewan Redaksi Borneo Tribune tak ingin melupakan gerakan anak-anak muda dalam rangka memicu generator kebangkitan nasional tersebut. Ada wawancara yang dilakukan bersama Ketua KNPI Kalbar, Dimyatillah, SE maupun komentar dari sejumlah pemuda-mahasiswa.
Kami sendiri para pengelola Borneo Tribune tak surut-surutnya bersemangat agar kebangkitan nasional itu dimulai dari detik ini juga, dimulai dari yang kecil-kecil, serta dimulai dari diri sendiri. Jika hal itu dimulai, maka dari diri sendiri akan mengglobal, membesar dan pada akhirnya menjadi bola salju yang tak hingga. Dampaknya akan menjadi sangat luas bagi Pontianak, Kalbar, Kalimantan hingga NKRI dan dunia.

Untuk merealisir idealisme itu, kami para pengelola Borneo Tribune sudah harus terbiasa kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Kerja yang berdedikasi, berdisiplin, dan profesional.

Orientasi kerja kami adalah pengabdian kepada pembaca di mana pun pembaca berada. Baik pembaca edisi cetak kami maupun edisi website. Edisi website tentu dapat diakses di http://www.borneo-tribune.com.

***
Harian Borneo Tribune dilaunching pada Sabtu, 19 Mei 2007 sehari sebelum hari kebangkitan nasional Indonesia diperingati. Kami memaknainya dengan bekerja profesional lewat pendekatan jurnalistik.
Melalui media massa, cetak dan website, kami mencoba memberikan suluh informasi dengan harapan masyarakat tercerahkan. Baik dalam hal wawasan, maupun bahan baku manajemen diri agar warga dapat mengambil keputusan-keputusan secara cerdas atas hidup dan kehidupannya.
Pengambilan keputusan secara cerdas itu amat terkait dengan pendidikan di mana salah satu misi pers adalah pencerdasan. Hal ini telah pula ditekankan pada pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Media Borneo Tribune mentasbihkan dirinya sebagai media pendidikan dan pencerdasan.

Kegiatan Borneo Tribune di bidang pendidikan juga sudah dimulai seminggu setelah launching perdananya. Kami telah merintis berdirinya Tribune Institute dengan membuka program pembelajaran di bidang pers. Untuk tahap pertama sudah bergabung dengan Borneo Tribune sejumlah tokoh pers, mahasiswa, pemuda, akademisi dan juga tokoh masyarakat. Kami akan terus mengembangkan Tribune Institute ini sebagai model pemberdayaan masyarakat dengan simbol 789: menuju perkembang abadi.

Bukankah hitam atau putihnya Kalbar tergantung dengan orang Kalbar sendiri? Maju tidaknya warga Kalbar tergantung seberapa pendidikan mereka, sehingga SDM bisa mengelola SDA. Pendidikan itu, baik pendidikan formal maupun non formal. Tribune Institute bergerak di bidang pendidikan informal.

Untuk mewujudkan kebangkitan nasional kedua via media, kami membuka pintu 24 jam dalam sehari-semalam. Kami siap berdiskusi sekaligus sharing pengalaman dalam teknis-teknis jurnalistik.

***
Dampak dari Borneo Tribune yang terbuka 24 jam, wajar tamu yang datang pun tak putus-putusnya.

Mahasiswa yang menggelar diklat jurnalistik di Polnep dengan peserta dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Kalbar sekitar 30-an orang bertandang ke dapur redaksi Tribune sepekan silam. Mereka datang untuk berdiskusi dan sekaligus melihat bagaimana Tribune didirikan atas keringat putra daerah sendiri.

Hanya berselang satu jam, sekitar 20-an aktivis pers kampus Untan juga datang bertandang. Mereka hendak melihat secara langsung bagaimana Borneo Tribune melakukan proses produksinya, penjabaran idealisme, keberagaman dan kebersamaannya.

Mahasiswa STAIN pun datang silih berganti. Tak sekedar berdiskusi, mereka praktikum di Borneo Tribune. Khususnya pada mata kuliah komunikasi.

Kami memang membuka pintu selebar-lebarnya di bidang pendidikan karena kami sadar, negara yang kita cintai ini amat banyak masalah yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah itu kita harus bersatu. Kita harus bersama-sama. Kita tidak bisa maju sendirian saja.

Alhasil, gerakan Borneo Tribune seperti itu telah pula menggerakkan hati jurnalis dari media elektronik untuk meliput aktivitas kami. Bukan media TV sembarang TV, mereka berasal dari London dengan cakupan pemberitaan hingga ke 200 negara.

Kehadiran awak TV dari London melahirkan kerjasama mutualisme. Kami mulai menggarap liputan bersama. Borneo Tribune untuk edisi cetak, TV London untuk televisi mancanegara.

Kebaikan memang berbuah kebaikan. Kami ingin turus mengembangkan apa yang kami bisa demi kebaikan bersama di Kalbar pada khususnya dan Bumi Borneo pada umumnya. Semoga gerakan yang kecil-kecil seperti di atas punya dampak bagi kebangkitan nasional kedua yang tenggat waktunya 1908-2008.

Akhirnya lewat pengantar redaksi ini kami ucapkan selamat menikmati edisi khusus Hardiknas di Borneo Tribune. Salam. □

0 comments: