Tanggal 15 November adalah hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah atau Pilkada Gubernur Kalbar. Jika pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2004 dapat berlangsung aman dan demokratis dibanding pemilu periode sebelumnya, kita berharap pilgub kali ini bisa lebih baik karena masyarakat semakin punya pengalaman.
Potensi untuk Pilkada damai di Kalbar sangat besar. Masyarakat sudah bosan dengan konflik. Pemilihan langsung juga tidak dengan serta merta merubah nasib orang perorang dalam satu wilayah, seperti negara, provinsi, kabupaten ataupun kota. Pilkada-pilkada langsung di Kalbar untuk sejumlah kabupaten menjadi contoh aktualnya.
Jika Mohammad Najib Staf pada Centre for Policy Studies Yogyakarta pernah menyatakan dekatnya jarak antara kandidat dengan pemilih membuat "sumbu pendek" yang akan memicu konflik horizontal antarpendukung pasangan calon kepala daerah hal ini sudah diantisipasi aparat keamanan dan para stakeholder. Sudah cukup banyak kesepakatan damai. Mulai dari pasangan calon, tim sukses, hingga deklarasi bersama KPUD dan Panwas maupun tim-tim independen.
Perbedaan karakteristik yang dikatakan Mohammad Najib itu sebagai akibat dari perbedaan signifikan jarak antara kandidat dan pemilih. Pilkada menurutnya adalah perebutan kekuasaan yang melibatkan elite lokal yang punya kedekatan secara geografis dan emosional dengan massa akar rumput. Kentalnya budaya patron-client relationship di masyarakat basis akan selalu menumbuhsuburkan fanatisme massa pendukung antarkandidat, yang kemudian bermuara pada hadirnya simpul konflik dan kekerasan antarmassa pendukung.
Terjadinya kekerasan politik dalam pilkada tentu akan mengurangi kualitas demokrasi. Karena keberhasilan pilkada, sebagaimana pemilu lain tentu mensyaratkan terlaksananya asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia, dan beradab. Implikasi terlaksananya pemilu yang bebas dan beradab adalah adanya jaminan rasa aman bagi warga negara untuk secara bebas menggunakan hak pilihnya, termasuk pilkada.
Pilkada sebagai instrumen demokrasi di tingkat lokal, tentu keberhasilannya menjadi tugas semua elemen masyarakat sipil. Itu sebagai manifestasi prinsip demokrasi, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selaku pelaksana pilkada tentu bukan aktor tunggal yang akan menentukan keberhasilan pilkada. Pasangan calon, partai politik, dan tim kampanye selaku stakeholder pelaksanaan pilkada punya sumbangan yang besar terhadap berlangsungnya pilkada secara aman dan demokratis.
Atas dasar itu, perlu terus dibangun komitmen antarpasangan calon dan tim kampanye terhadap arti penting pelaksanaan pilkada damai dan demokratis. Bagaimanapun, rasa aman adalah kebutuhan bagi setiap orang, termasuk pasangan calon dan tim kampanye. Pelaksanaan pilkada secara damai dan demokratis harus terus dipromosikan untuk menjadi kebutuhan semua pihak, sebagai bagian dari upaya mewujudkan keberhasilan pilkada di Bumi Khatulistiwa.
Untuk mendorong berlangsungnya pilkada damai dan demokratis, dirasa perlu bagi setiap pasangan calon dan tim kampanye serta elemen masyarakat sipil pada umumnya untuk bahu-membahu dalam mempromosikan pentingnya pelaksanaan pilkada secara damai dan demokratis. Bahkan, mengingat rasa aman adalah kebutuhan dasar setiap rakyat, visi, misi, dan program setiap kandidat idealnya harus mampu merespons kebutuhan rakyat akan hal itu.
Partisipasi dan komitmen bagi setiap pasangan calon untuk mewujudkan pilkada damai ini penting, karena by design kampanye pilkada lebih rentan terhadap kemungkinan konflik dan kekerasan politik. Dengan dilarangnya kampanye pilkada dalam bentuk arak- arakan, misalnya, itu justru akan mempersulit aparat kepolisian untuk mengantisipasi kemungkinan gesekan antarbasis pendukung pasangan calon. Karena yang terjadi kemudian adalah arak- arakan "gelap" yang tidak terkendali oleh tim kampanye dan aparat kepolisian.
Jika dalam kampanye Pemilu 2004, karena arak-arakan merupakan bagian dari bentuk kampanye, sebagai konsekuensi dari keberadaan kampanye dalam bentuk rapat umum, sehingga tim kampanye harus melaporkan ke Polri tentang berapa jumlah massa, rute, dan waktu pawai, sehingga Polri tidak saja dapat mempersiapkan pengamanan, namun sekaligus mengatur jalur agar tidak terjadi tabrakan antarmassa pawai dari pendukung yang berbeda.
Akan tetapi, hal yang sama tidak akan terjadi dalam pilkada. Meskipun secara riil arak-arakan tidak akan terelakkan dalam kampanye pilkada, mengingat rapat umum masih diakomodasi sebagai bentuk kampanye pilkada.
Tentu sulit bagi siapa pun, termasuk tim kampanye dan Polri, melarang peserta kampanye pilkada dalam bentuk rapat umum untuk berangkat dan pulang dengan berarak-arakan. Terlebih lagi, sepeda motor adalah kendaraan bagi kebanyakan rakyat Indonesia, yang tentu tidak mungkin dilarang penggunaannya dalam mengikuti kampanye pilkada dalam bentuk rapat umum. Akibatnya, arak-arakan yang tidak terkoordinasi sangat mungkin terjadi dan itu sangat rentan terhadap kemungkinan bertabrakan antarmassa pendukung pasangan calon yang berbeda. Terlebih lagi, dalam kampanye pilkada jumlah hari kampanye sangat pendek (14 hari) dan wilayah yang lebih sempit (satu kota).
Atas dasar realitas itu, komitmen setiap pasangan calon untuk mewujudkan pilkada damai sangat dibutuhkan. Gagasan terhadap pilkada damai dan demokratis tentu tidak cukup hanya diusung dalam visi, misi, dan program pasangan calon kepala daerah. Untuk membuktikan komitmen itu, pasangan calon harus mulai meninggalkan kecenderungan penggunaan black campaign, show of force, dan pendekatan konflik dalam strategi pemenangan pilkada.
Bagaimanapun, penggunaan tradisi itu dalam pilkada sangat bertentangan dengan misi untuk mewujudkan pilkada damai dan demokratis. Dengan ditinggalkannya black campaign, show of force, dan pendekatan konflik oleh setiap pasangan calon kepala daerah dan tim suksesnya, itu merupakan sumbangan yang besar untuk mendorong terlaksananya pilkada di Kalbar yang lebih beradab.
Jika pemenuhan kebutuhan rasa aman bagi rakyat merupakan isu kampanye dan concern dari setiap kandidat kepala daerah, pelaksanaan pilkada di Kalbar secara beradab, sebagaimana dalam pilpres akan terwujud. Dengan terlaksananya pilkada yang damai dan demokratis, tidak saja akan meningkatkan kualitas pilkada, yang kemudian hasilnya dapat diterima rakyat, namun pada saat yang sama diharapkan akan menjadi preseden bagi pelaksanaan pilkada damai dan demokratis pada masa mendatang.
Itu adalah awal yang baik untuk membangun tradisi demokrasi di tingkat lokal yang lebih beradab. □
Senin, 05 November 2007
Pilgub Kalbar Promosikan Pilkada Damai
Posted by Noeris at 17.35
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar