Bunyi kretek di lantai dua itu terdengar aneh. Saya yakin itu bunyi kaca yang pecah karena sudah tak sanggup menahan panasnya salak si jago merah.
Rumah gerah. Tak pernah panas terasa seperti ini.
Ketika itu 7 Februari 2007. Rumah kami di kawasan Jalan KH Ahmad Dahlan No 40 ludes dihalap si jago merah.
Sampai kini misteri kebakaran di rumah nan harmoni dengan desain tradisional kontemporer itu tak pernah terkuak. Kalaupun ketika usai kebakaran ada police line, tapi sampai saat ini tak pernah ada laporan hasil pengusutannya. Apakah karena hubungan singkat arus pendek, karena setrika, karena lilin, atau karena obat nyamuk bakar. Tak pernah terkuak. Dan ini bisa jadi juga turut dirasakan oleh sejumlah warga Kalbar yang kediamannya pernah terbakar.
Di tahun 1997 itu saya sedang melaksanakan penelitian untuk menyelesaikan strata 1 kuliah saya. Istri saya juga demikian.
Ketika suara-suara keras menggendang kuping dengan satu kata: “Kebakaran! Kebakaran!” Saya teringat heroisme Leonardo De Caprio dalam film Titanic. Saya berusaha menyelamatkan harta benda yang bisa digapai laksana Leonardo menyelamatkan kekasihnya.
Nah yang saya selamatkan buku-buku, komputer dan data penelitian saya. Adapun mobil di garasi sudah diselamatkan pemuda yang buka bengkel tak jauh dari depan rumah. Mereka memang jagoan, bahkan pahlawan.
Tak dapat saya bayangkan jika mereka tak bertindak cepat. Mungkin dua mobil yang parkir di garasi pada waktu itu meledak.
Saya masuk ke ruang dengan api mengembang di atas atap. “Selamatkan nyawa,” kata istri saya. “Nyawa nomor satu. Harta bisa dicari Mas,” katanya.
Suasana memang panik. Secanggih apapun kesabaran pasti panik.
Saya seraya berdoa di dalam hati masih mendengar azan asar berkumandang dari masjid Nurul Hidayah yang hanya berjarak 100 meter dari rumah. Rumah kami di pinggir Jalan KH Ahmad Dahlan. Berdampingan dengan Gg Wijayasari. Tetangga ramai membantu. Pengguna jalan banyak mampir menonton api yang menari-nari dengan asap pekat ke angkasa.
Air yang menetes dari selang pemadam kebakaran yang disemprotkan melalui branwir saya rasakan panas menyentuh kulit. Saya basah kuyub. “Ini baru dunia. Bagaimana neraka,” pikir saya.
Pada saat itu saya berhitung, dinas pemadam kebakaran dekat dengan rumah. Tepatnya di HOS Cokroaminoto. “Tak akan lewat dari 30 menit mereka akan sampai ke sini.” Jarak kantor pemadam dengan rumah tak sampai 1 km.
Benar saja. Mereka cepat tiba. Tapi rupanya api lebih cepat mengganyang bahan bangunan rumah yang sebagian besar tersusun dari bahan kayu.
Saat pemadam kebakaran berduyun-duyun tiba, separo rumah sudah dilahap api. Separo lagi berhasil diselamatkan. Tepatnya unit ruang praktik dr Lily S Aryanto.
Tetangga memang aktif menolong. Sofa dan harta benda 2/3 berhasil diselamatkan. Semua menumpuk di halaman rumah.
Isak tangis keluarga terdengar. Tangan saya dipegang erat-erat oleh istri saya. “Mas, habis...” katanya.
Alat reportase saya semua ludes. Tas, kamera, tape recorder. Semua dimakan api. Baju-baju kaos berlebel aktivitas di kampus semua jadi debu.
Di hari itu kami tak punya tempat tinggal. Baju pun tinggal dua-tiga helai.
Keluarga dekat di Jalan Syuhada menampung kami. Tapi malam itu kami tak bisa tidur nyenyak. Isak tangis keluarga mengelindan seiring bayang-bayang kenangan yang tersimpul indah selama puluhan tahun di rumah itu.
Istriku hampir setiap malam menceritakan masa kanak-kanaknya di sana. Bulir air matanya tumpah. Aku larut dalam sedih.
Kisah-kisah seperti ini senantiasa hadir dan mengalir di setiap adanya musibah kebakaran. Saya termasuk yang berempati jika ada musibah kebakaran. Saya pernah mengalaminya. Merasakan getirnya.
Dan agar kebakaran tidak menjadi momok, banyak hal yang harus kita timbang. Pertama tentu saja ketelitian mengontrol rumah, misalnya listrik dan bahan atau alat yang berisiko menimbulkan api. Kedua, asuransi. Ada baiknya kita ikuti asuransi agar ada penyangga jika terjadi musibah.
Ketiga tentu saja ketersediaan air di mana pemadam mudah mendapatkan air. Untuk ini Dinas Tata Kota perlu mendisain kota sehingga musibah kebakaran bisa cepat diantisipasi.
Senin, 08 Oktober 2007
“Bunyi Kretek di Lantai Dua...”
Posted by Noeris at 10.40
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar