Cara berkenalan saya dengan Pak Budoyo unik. Lewat kecelakaan. Sebuah peristiwa "tak berbudaya" tapi justru sebaliknya mengajarkan budaya.
Hari itu Rabu (29/8). Saya sedang menyiapkan pakaian Ocha untuk berangkat ke TK. Tapi keributan terjadi di depan rumah. Saya terusik dan keluar.
"Masya Allah...ada apa Mbak?" Aku kaget melihat Mbak Nowo, anggota Poltabes yang kukenal pernah bertugas sebagai staf restik memapah Sari--anak asuh kami yang baru tamat SMA--untuk masuk ke dalam rumah. "Kecelakaan di depan kantor gubernur," ujar Mbak Nowo cekatan.
Seisi rumah pambar. Kami tak pernah menghadapi situasi laka lantas seperti ini. Tubuh Sari lunglai. Memang tak ada luka berdarah-darah dari sekujur tubuhnya, tapi dia meringis setengah pingsan.
Aku bergegas mendekati Mbak Nowo. "Bagaimana motornya? Ada korban?" tanya saya ala wartawan, kendati kasus ini menimpa keluarga sendiri. "Kita lihat saja. Korbannya agak parah," jawab Mbak Nowo pelan. Aku gugup. Dalam hati berprediksi macam-macam, tapi..."Ya Tuhan, janganlah korbannya sampai sekarat atau mati," doa dalam hatiku.
Motor bebek membelah jalan kompleks yang lengang di pukul 7 itu. Titik yang dituju TKP depan kantor gubernur. Mataku awas menuju TKP.
Tiba di sana kulihat sudah ada mobil patroli dan sejumlah polisi. Tak ada orang terkapar. "Sudah di RS Graha Bunda dan RS Bhayangkara," kata petugas. Motor istriku naik ke bak mobil. Tidak terlalu parah, hanya spionnya pecah. "Motor ini nanti bisa diurus di Poltabes," kata polisi muda bernama Edy K. Saya mengangguk.
Mbak Nowo yang pernah sama-sama Panitia Dakwah Aa' Gym di PSP bersamaku banyak membantu. Dia mengantarkan aku ke Graha Bunda yang hanya berjarak 200 meter dari TKP.
Pemandangan di IGD RS Graha Bunda membuatku gusar. Bi Temu--bibi tukang urut istriku--sedang menggelepar. Bajunya basah oleh darah. Dagu dan pipinya luka robek. Infus sudah mengaliri tubuhnya.
Aku berupaya tenang. Prinsipku masalah hanya bisa diselesaikan dengan ketenangan.
No telepon genggam Bi Temu kuambil. Keluarganya kukabari dengan cara sesopan-sopannya. Dan tak lama putrinya tiba dengan wajah pilu.
Aku meyakinkan bertanggungjawab. Obatnya kutebuskan.
Aku pulang cek kondisi Sari di rumah. Ia bertahan untuk tidak ke dokter. Ia justru bertanya kondisi Bi Temu. "Ndak apa-apa, sudah baikan," ujarku bohong sunat.
Aku cek kondisi korban laka ini ke RS Bhayangkara. Seorang pria terbaring juga dengan selang infus di lengannya. Tak ada luka, tapi keluhannya kepala pusing, betis memar, dan pinggang seperti mau patah. "Saya baru turun dari oplet mau menyeberang ke kantor gubernur, tapi brak ketabrak," ujar Pak Budoyo yang juga anggota Satpol PP Kantor Gubernur.
Ia bicara dengan tutur kata lemah lembut. Ia tidak menghardik Sari yang menabraknya. "Masalah tergantung kita dalam menyikapinya," ujarnya masih menguraikan nasihat. Biasanya pembesuk yang kasih nasihat, ini sebaliknya. Ini pelajaran pertama dari Pak Budoyo.
Pelajaran kedua, dia tak menuntut ganti rugi apapun. "Kita bicarakan nanti-nanti saja. Bagi saya dapat sembuh dan sehat pun sudah syukur," ujarnya. Amat langka ada orang seperti Pak Budoyo.
Pak Budoyo balik bertanya kepada saya. "Adik dari mana, kerja di mana?"
"Saya dari Paris II. Kerja di Borneo Tribune".
"Ooh koran yang baru itu yah," ujarnya terbaring lemas di atas bangsal. Istrinya setia menemani. Usia Pak Budoyo sudah 46 tahun.
"Koran yang bagus. Bahasanya enak. Wajahnya seperti Kompas. Entahlah mungkin sudah disengaja," nilainya. Aku tersenyum. Lagi-lagi aku mendapat pelajaran yang lain dari Pak Budoyo.
Budoyo adalah saudara sesusu dengan Ruhut Pangaribuan anggota DPR RI asal PDIP. Saat aku berada di sampingnya legislator yang baru saja ke Pontianak dalam rangka sosialisasi draft UU Politik menelepon. Tak lama istri mantan Wagub Kalbar, Abasuni Abubakar juga datang bezuk. "Bukan keluarga sembarangan."
Jumat dua hari berikutnya Pak Budoyo keluar dari RS Bhayangkara. Saya baru datang membezuknya empat hari kemudian. Dia tidak marah. Saya dipersilahkan duduk dan dipersilahkan mereguk secangkir teh panas. Ia dan istrinya bercengkrama denganku. Aku kagum atas ketulusan dan kebersahajaannya. Teduh sekali. Langka ada orang seperti Pak Budoyo.
Katanya, ia sudah tiga kali urut tradisional. Perobatan diteruskan di RS dr Soedarso. Ia sempat disinar, tapi hasilnya normal. "Saya termasuk rugi dengan kejadian ini. Saya sebenarnya lulus pelatihan BIN, tapi karena sakit tak tahulah perkembangannya," katanya.
Saya menyatakan prihatin dan bentuk pertanggungjawaban seperti apa yang dapat saya berikan. "Tak perlu. Namanya juga musibah. Semoga ada hikmah yang besar di balik ini. Selalunya sih begitu," ujarnya lagi-lagi dengan nada amat teduh dan sabar.
Pak Budoyo punya anak dua. Putri sulungnya baru saja operasi usus buntu. "Syukur anak saya yang tua sudah bisa masuk sekolah hari ini," imbuhnya. Pak Budoyo lebih banyak bercerita daripada mengeluh. Ia lebih banyak bersyukur daripada menuntut. Benar-benar pelajaran budaya dari Pak Budoyo.
Selasa, 04 September 2007
Belajar Budaya dari Pak Budoyo
Posted by Noeris at 10.32
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar