Hujan deras mengucur di persada Kota Pontianak sepanjang hari ini. Aktivitas warga, termasuk diriku sendiri separoh tereduksi lantaran tak bisa kemana-mana. Dalam kondisi seperti ini apa yang hendak kubuat?
Saya menatap di teras depan rumah. Langit masih gelap. Hari seperti menangiskan duka yang mendalam. Menetes terus tiada henti.
Aku terpaku di beranda rumah. "Mengapa gerangan? Apakah sekarang sudah hendak masuk ke musim penghujan?"
Saya terkesima. Di sini hujan deras sementara di Jawa dan sebagian Sulawesi saya baca beritanya kekeringan. Apakah tidak bisa dibalik? Siapa yang sanggup mengaturnya?
Duh, berpikir tentang yang satu ini saja aku sudah tak sanggup untuk mengatakan Pak Gubernur atau Pak Presiden yang bisa mengaturnya. Dan alangkah tak ada arti apa-apa kekuatan manusia itu, siapa pun dia.
Kalau begitu mengapa kita mesti sombong? Menyombongkan harta, pangkat dan kedudukan? Padahal hujan sendiri pun tak kuasa kita atur untuk basah di sana kering di sini.
Atau jangan-jangan hujan pagi ini adalah sindiran bagi kita umat manusia? Bahwa kita yang patut menangis? Karena sesungguhnya yang perlu dihujani adalah hati kita lantaran demikian kemaraunya hati kita?
Aku menghela napas panjang. Kuhirup dinginnya hujan di pagi ini. Aku sadar bahwa aku harus segera mengantar putriku Ocha untuk berangkat ke sekolah. Hujan rintik-rintik kusikapi dengan berpikir positif, "Kan ada jas hujan. Masak manusia kalah oleh hujan. Bukankah badai juga pasti berlalu?" Begitu pikir saya.
Astrea Prima yang kugunakan sejak kuliah di tahun 1992 masih mantap untuk melewati genangan-genangan air. "Tenang aja Ocha, kita juga tidak ngebut," kata saya kepada Ocha yang masih TK Nol Kecil. Si kecil ini mengangguk saja. Ia mengenakan helm biru ukuran anak-anak. Aku suka memintanya mengenakan helm karena ini pelajaran kedisiplinan. Aku juga tetap mengantarnya sekolah kendati hujan juga dengan alasan pendidikan.
Kusadari pendidikan adalah tulang punggung kemajuan. Baik diri maupun bangsa.
Lamunanku terus menjalar liar di sepanjang perjalanan. Hingga Ocha tiba di sekolahnya TK Mujahidin. Sekitar 5 km dari kediamanku di Paris II.
Sepulang dari TK Mujahidin hari mulai cerah. Jalan raya pun semakin padat. "Tuh kan, badai pasti berlalu," pikirku menguatkan senandung pop yang ditembangkan Chryse. "Baaadai...pasti berlaaalu..."
Hanya saya kadang bingung, kendati kita sudah tahu bahwa "badai pasti berlalu" tetapi jika kita sedang dirundung perkara, tetap juga keblingsatan. Kalau tidak limbung ya stress. Padahal bukankah esensi dari badai pasti berlalu itu adalah kesabaran? selain kesabaran juga adalah kreativitas aktif untuk selalu mencari solusi alternatif. Dengan demikian kita selalu akan tampil sebagai leader yang kreatif.
Senin, 03 September 2007
Badai Pasti Berlalu
Posted by Noeris at 10.23
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar