Tidak hanya kabinet di Pusat yang “pelangi” karena terdiri dari berbagai unsur organisasi dan partai politik, di Universitas Tanjungpura juga pelangi. Jika di kabinet RI unsurnya parpol, di kampus Untan unsurnya fakultas dan etnis.
Tentang pluralisme atau kemajemukan untuk lembaga bernama kampus tentu sudah bukan makanan baru. Topik pluralisme sudah jamak diketahui. Nalar berpikir empirik para ilmuan setuju. Mereka di forum-forum terbuka selalu menyatakan kemajemukan adalah keniscayaan yang dibawa sejak lahir.
Hanya saja tataran implementasi memang menjadi unsur pembelajaran yang baik. Masyarakat luas menjadi belajar. Bahwa “power sharing” itu baik. Bukan hanya baik, tapi juga benar. Baik dan benar karena potensi konflik yang negatif jadi tersingkirkan. Pada gilirannya yang muncul adalah satu team work yang kuat. Dengan kekuatan seperti itu banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan.
Kampus yang merupakan lembaga pendidikan tinggi layak mempertontonkan proses “Pilpurek” seperti di Untan tersebut. Terutama pada pemilihan yang demokratis dengan hasil objektif kemarin, Sabtu.
Sebagaimana diberitakan Borneo Tribune, Minggu (5/8) terpilih Pembantu Rektor I Prof Dr Saeri Sagiman, Purek II Prof Dr Thambun Anyang, SH, Purek III Dr Edi Surachman dan Purek IV M Iqbal Arsyad.
Proses pemilihannya memang alot dan kompetitif, tapi aman dan legowo. Inilah manfaat jika pemilihannya terbuka.
Kita berharap dengan hasil kabinet pelangi di kampus Untan yang dipimpin Dr Chairil Effendi dapat mewujudkan cita-cita Untan secara keseluruhan. Begitupula kinerja yang tidak hanya di rektorat, tetapi juga dekanat hingga unit-unit kegiatan kemahasiswaan.
Memang sudah saatnya kita menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa masalah etnisitias itu sudah selesai. Dengan demikian kita tidak lagi ribut mempersoalkan apakah seorang pejabat ini etnis A, etnis B atau etnis C. Yang menjadi starting problem kita berikutnya adalah kualitas kerja para pejabat terpilih dengan penerapan visi keadilan di dalamnya. Adil kepada siapa saja. Termasuk dalam setiap kali keputusan-keputusan publik mesti diambil.
Jika dimensi keadilan yang ditonjolkan, tak ada masalah etnis yang menolaknya. Jika adil, etnis A pasti setuju, etnis B dan etnis C juga akan setuju. Kenapa? Karena sudah adil.
Masalah etnis berdasarkan sejarah kita di Kalbar kerap muncul lantaran ketidak-adilan. Ada pihak yang dirasa sudah di depan sementara ada yang masih di belakang. Padahal yang diperlukan adalah bergandengan tangan. Kampus yang kita ketahui sebagai tempat belajar perlu mempertontonkan adegan lebih lanjut dari proses pemilihan yang demokratis Pilpurek itu. Para Purek bisa bekerjasama dengan Rektor untuk saling asah, asih, asuh mewujudkan program. Program pembangunan kualitas akademis, kualitas kerjasama, kualitas kemahasiswaan serta tentu saja kualitas administrasi yang prima.
Jika jagad aktivitas yang prima itu terwujud, pembelajaran ini akan berlipatganda bagi masyarakat. Terutama menjelang pemilihan kepala daerah di bulan Nopember ini.
Masyarakat yang sudah belajar dari “kabinet pelangi” akan tahu di mana menjatuhkan pilihannya. Bahwa pilihan bukan terutama terletak pada etnis, tapi kualitas kerja yang berdimensi keadilan.
Power sharing yang mewujud-nyata seperti yang dipertontonkan Untan menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat di era Pilgub. Bukan hanya bagi masyarakat, tapi juga bagi para kandidat gubernur tentunya.
Dalam setiap pemilihan atau suksesi kepemimpinan tentu ada yang bakal menang dan bakal kalah. Yang menang mutlak diberikan kesempatan untuk mewujudkan janji-janjinya. Yang kalah memberikan dukungan seraya menjadi tukang kontrol pula. Di sini terbagi power sharing dalam bentuk pembagian tugas yang sama-sama penting.
Jika kita bisa memainkan peran penting dalam kebersamaan, kita akan merasa berguna dalam hidup bermasyarakat. Lalu, apakah yang bisa mengalahkan aspek kegunaan dari sesuatu benda, apalagi manusia? □
Rabu, 08 Agustus 2007
Kabinet Chairil Kabinet Pelangi
Posted by Noeris at 09.47
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar