Laporan Perjalanan dari Flores (4)
Nur Iskandar
Borneo Tribune
Satu lagi peninggalan Bung Karno di Kota Ende: Gedung Imakulata. Bung Karno yang memberikan nama gedung pertemuan di pusat kota Ende tersebut.
Gedung ini konstruksinya kayu. “Sudah lebih setengah abad umur gedung ini, tapi tampak masih kuat,” ungkap Oma seorang perempuan aktivis kala berbincang di kediamannya. “Waktu angkatan kami masih kanak-kanak turut menyaksikan Bung Karno hadir di gedung itu,” ungkap ibu empat orang anak ini.
Menaiki Gedung Imakulata harus melewati serangkaian tangga yang tinggi. Ibarat mau naik ke lereng gunung. Punden berundak-undak itu membuat lutut sengal.
Bung Karno memang pemimpin yang dekat dengan rakyat. Ia tak hanya pintar menulis, berorasi, tapi juga menjadi tempat untuk bertanya bahkan memberikan nama gedung. Bung Karno yang setiap pidato kenegaraannya suka memberikan judul seperti Nawaksara, memberikan nama gedung di dataran tinggi dengan Imakulata. Imakulata artinya besar dan tinggi.
Di gedung itu Bung Karno ikut menari. “Romantis sekali,” kenang Oma.
Gawi adalah jenis tari yang khas. Gerak utama tari ini pada kaki seperti tari poco-poco. Dalam tarian ini formasi yang dibentuk lingkaran dan dapat melibatkan banyak orang. Tarian gawi menunjukkan kebersamaan, kekeluargaan dan ungkapan rasa syukur kehadirat Tuhan karena dianugerahi kecukupan dan atau kebahagiaan.
Saya lagi-lagi beruntung saat berada di Ende. Selain perdana saya meliput Misa Ekaristi lantaran seorang Pater wafat mendadak dan akan dipusarakan pada hari pertama saya tiba medio Juli lalu, juga ikut pesta perkawinan di Gedung Imakulata. Dalam acara resepsi perkawinan ini ada gawi. Saya juga ikut menari gawi.
Gerak tubuh saya tentu saja kaku dan jadi bahan tertawaan warga Ende. “Tapi tak ada salahnya belajar budaya orang lain,” pikir saya. Katanya, “Masuk kandang kambing mengembek, masuk kandang harimau mengaum.”
Nasihat itu penting bagi saya untuk diterapkan karena bukankah lain padang, lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya?
“Kamu ketika berkunjung ke desa-desa disuguhi sirih tidak?” tanya Programer Pantau-SwissContact Esti Wahyuni.
“Tidak,” kata saya.
“Syukurlah”.
Kata dosen komunikasi itu, “Kalau sempat ditawari dan kamu menolak, kamu dianggap tidak sopan,” ujarnya seraya menimpali sama dengan orang Jawa mempersilahkan masuk ke dalam rumahnya lalu menawari makan, jika ditolak sama dengan kurang sopan.
Nyirih juga bagian dari kebiasaan warga Flores. Di jalan-jalan, di pasar-pasar masih banyak orang nyirih. Baik laki-laki apalagi perempuan. Nyirih katanya membuat gigi jadi kuat dan bibir merah. Lipstick memang tak bakal laku bagi penyirih.
Tapi saya pikir, jika saya diminta nyirih saya juga akan nyirih. Hitung-hitung sanak sedulur saya juga penyirih. Saya pernah mencobanya sewaktu kecil. Rasanya? Wow pedas! (bersambung) □
Sabtu, 04 Agustus 2007
Gawi di Gedung Bung Karno
Posted by Noeris at 10.15
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar