Catatan Perjalanan dari Flores (5)
Nur Iskandar
Borneo Tribune
Berada dalam komunitas Flores Pos saya merasa berada di dapur redaksi sendiri. Perasaan dekat begini sudah saya rasakan sejak di pers kampus tahun 1992 lalu.
Perasaan amat dekat itu dilatari profesi di mana kita sudah terbiasa dipuji maupun dicaci, diterima atau bahkan diusir. Sudah biasa klimak dan antiklimak seperti itu sehingga yang tertabal adalah visi-misi serta kesetiaan pada profesi itu sendiri.
Di hadapan puluhan pengelola Flores Pos saya katakan banyak perbedaan di antara kita, tapi banyak pula persamaannya. Lihatlah kita sama-sama orang media, tapi satu di Timur satu di Barat. Satu bangga dengan tempat lahirnya Pancasila, saya bangga dengan perancang lambang negara Garuda Pancasila. Yakni Sultan Hamid II, warga Pontianak, Kalimantan Barat.
Prihal kekayaan SDA, NTT yang dibilang kering ternyata tidak semua. Untuk Flores cantik dan subur. Bahkan ada Taman Nasional Kelimutu yang amat terkenal itu. Amat terkenal karena di satu lokasi ada tiga kolam raksasa yang warna airnya berbeda. Satu warna biru tosca, satu warna merah dan satu warna putih. Istimewa sekali.
Saya tak menyangka bisa menginjakkan kaki ke Kelimutu, karena jadwal di Flores Pos setelah di Ende adalah Maumere. Namun dalam perjalanan yang melelahkan itu, di tengah pulas tidur saya di dalam kendaraan roda empat, tiba-tiba terdengar suara Bruder Inno Making, SVD. “Nah kita sudah menuju ke Kelimutu.”
Saya terbangun. Mata saya tertumbuk pada gapura besar bertuliskan Kelimutu National Park. Taman Nasional Kelimutu. “Wow Kalimutu?” Saya setengah terperanjat.
Saya langsung teringat Dr Elias Tana Moning guru sekaligus sahabat saya yang baru saja mengunjungi daerah ini dengan menunjukkan foto-fotonya. “Amboi, sampai juga saya di sini. Alhamdulillah.”
Perjalanan dari Ende hingga ke lokasi Kelimutu sekitar 3 jam. Jalanan penuh lika-liku. Melewati sejumlah lokasi-lokasi berjurang yang dalam.
Kelimutu adalah sebuah gunung 1.690 meter dpl yang meletus pada 1886. Ia lalu meninggalkan tiga kawah berbentuk danau yang airnya berwarna merah (tiwu ata polo), biru (tiwu ko’o fai nuwa muri) dan putih (tiwu ata bupu). Ketiga warna itu mulai berubah sejak tahun 1969 saat meletusnya Gunung Iya di Ende. Kawasan Kelimuti telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak 26 Februari 1992.
Perlu cukup tenaga untuk sampai ke menara di mana kita bisa berdiri untuk menikmati tiga telaga tiga warna itu sekaligus. Waktu tempuh normal sekitar 20-30 menit.
Saya naik ke menara bersama sejumlah kepala biro Flores Pos. Di menara cukup ramai dengan bule-bule. Mereka rupanya datang dari Perancis.
Seorang bule tampak duduk di tangga menara paling tinggi. Dia melepas pandang ke telaga tiga warna. “Memang enak kalau mencari inspirasi di sini,” kata Om Hans, sopir Flores Pos yang menemani saya. Saya setuju. “Cuma sayang kita harus segera ke Maumere.” □
Selasa, 07 Agustus 2007
Dari Kalimantan ke Kelimutu
Posted by Noeris at 09.30
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar