“Mau ke mana lagi Ndar?” kata ibundaku, Hj Halijah H Muhammad Saleh. Beliau berada di sebelah kananku duduk sederet di lorong depan pintu Kamar Bersalin, RS Antonius, Kamis (23/8) pukul 11.00 WIB. Istriku, Hj Sri Andi Novita Oktavianti sudah masuk ke dalam ruangan. Ia menjalani operasi cesar.
“Operasi cesar itu sebentar. Nanti tak sempat kau melihat anakmu keluar,” ujar ibunda menarik tanganku. “Sebentar saja,” jawabku. “Mau salat Duha untuk mendoakan Andi agar selamat dan sukses dalam melahirkan,” jawabku.
Ibuku nelangsa. Ia tampak tak rela ditinggalkan duduk menunggu, padahal di sampingnya juga ada mertuaku, Hj Emi Rukiah dan keponakan Andi, Rommy Irawan.
Aku naik ke lantai empat tempat kamar istriku semula ditempatkan. Kamar 327 VIP. Di sini ada adik kandungku yang juga bidan, Ida Afiati serta neneknda tercinta Hj Thahirah H Husin. Ada juga putri pertamaku Uthrujah Andi Nurul Ramadhani (Ocha) serta keponakanku, Dawam.
Aku mengambil wudhu dan salat. Kupanjatkan doa agar istriku tercinta bisa melahirkan dengan sehat, anakku sehat. Terus terang saja aku gugup menghadapi situasi yang amat sangat urgent dalam hidupku ini.
Cerita suami “berdebar-debar” kala istrinya melahirkan telah banyak kudengar. Tapi aku sendiri baru kali ini merasakannya.
Usai salat aku merasa sedikit tenang. Perasaan was-was kuserahkan bulat-bulat kepada Yang Maha Kuasa. Sebab betapa tidak was-was wong nyawa dan takdir bulat-bulat pasti ada di tangan-Nya—aku tak ada kuasa sedikitpun untuk menambah atau mengubah semau keinginanku. Apatah menyoal kesehatan anak, istri, dan seterusnya dan sebagainya. Padahal yang tidak-tidak terus membayangi. Bahkan untuk yang satu itu aku takut membaca berita ada bayi kembar siam dan lain-lain yang senada dengan itu.
Langkah kakiku lebih tegap seusai Duha. Kuingat percakapanku terakhir bersama istriku. “Tenang Ndi, Mas akan mendampingi,” ujarku. Kala itu kugapai tangannya dan ia mencium tanganku. Tapi ternyata skenario mendampingi tak kecapaian. Andi harus masuk kamar persalinan sendiri. Suami tak diizinkan masuk.
“Maaf Pak, dokter tak membolehkan,” ujar seorang suster kepadaku saat kami mengantar Andi ke ruang bersalin. Aku pasrah.
Keputusan cesar sebetulnya bukan keputusan yang diambil instan. Cukup lama aku dan istriku menimbang-nimbang. Cukup banyak masukan demi masukan kami dengarkan.
Mba Lolo, kakak kandung Andi dari Jakarta ketika datang ke Pontianak beberapa waktu berselang menyarankan agar persalinan normal saja. Selain ini cara wajar melahirkan, juga resiko gagal cesar dapat dihindari. Banyak cerita kegagalan cesar.
Begitupula Mba Yennie yang juga kakak ipar Andi yang apoteker. Ia juga tak setuju cesar. Alasannya akan lama lagi melahirkan.
Di keluargaku semua juga setuju melahirkan normal. “Jika tenaga Andi kuat, normal saja,” kata ibuku. Begitu juga kata kakak iparku Kak Ida. Hanya adikku yang bidan yang ngotot cesar. Katanya dunia kedokteran saat ini sudah maju sangat pesat. “Ngapa takut cesar. Ini bayi mahal,” ujarnya.
Istriku tak puas dengan masukan yang ada. Dia berkonsultasi dengan kawan-kawannya yang juga cesar. Salah satunya juga kawan saya saat kuliah, Sri Astuti. Dia sudah dua kali cesar.
Selain Tuti ternyata kawan-kawanku juga istrinya pada cesar semua. Istri Tanto Yakobus dua kali cesar. Begitupula istri Stefanus Akim. Dua anaknya semua cesar.
Aku makin percaya diri. Aku memutuskan Andi cesar saja. Itulah yang kuungkapkan saat konsultasi terakhir dengan dr Triana, SPOG.
Dr Triana sebetulnya sudah menjelaskan bahwa “anak-anak mahal” berdasar etika kedokteran disarankan untuk cesar saja. “Justru dengan melahirkan normal kita kuatir gagal,” ungkapnya.
Soal kegagalan dalam melahirkan saya justru takut tragedi yang menimpa kawan kuliahku terjadi pada diriku. Nama kawanku itu Silvie. Ketika melahirkan anak pertamanya tenaganya habis. Anak yang dilahirkannya terminum air ketuban. Hanya berumur sehari lalu meninggal dunia. Silvie trauma untuk beberapa waktu lamanya. Syukur kemudian dia bisa melahirkan dengan normal kembali.
Saat duduk ke posisiku semula wajah-wajah tegang keluargaku tampak mencekat. Akupun makin layau. Aku kosong.
Ibuku bercerita bahwa bapak di sebelahku duduk baru saja mendapatkan anak baru hasil cesar. “Istrinya baru saja masuk, tak lama anaknya sudah keluar,” kisahnya. Jarak kelahiran antara anak pertama dengan keduanya agaknya jauh sekali. Anak pertamanya sudah gadis.
“Tadinya anaknya menangis. Sekarang dia tertawa sudah dapat adik baru,” bisik ibuku.
Aku mendengar, tapi tak konsen. Ku tak menjawab dengan penuh semangat. Hanya mengiyakan saja.
Pukul 11.45 pintu terbuka. “Bayi Ny Sri Andi,” kata suster dengan langkah tergesa-gesa. Wow saya menghambur dari kursi merapat dan mengikuti langkah kakinya. Begitupula keluargaku. Ibuku. Mertuaku.
Rambut si kecil dalam momongannya lebat. Kulitnya putih. Ia berada dalam gendongan suster yang berseragam hijau muda. Si bayi dibaluti kain. Hanya tampak wajahnya sedikit seperti mengintip dunia baru. “Wah mirip aku,” kataku membatin seraya mengejar langkah suster. "Anak perempuan memang ngikut wajah bapaknya," pikirku lagi mengingat-ingat pustaka genetika.
Suster naik ke lantai tiga. Ruang perinatologi. “Tunggu sebentar ya, anaknya dibersihkan dulu,” pintanya. Kami menunggu di depan menunggu panggilan.
Sekitar 10 menit saya dipanggil. “Silahkan Pak. Mau diazankan ya...” katanya.
Aku terkesima. Aku lupa ritual yang satu ini. Tapi setelah diingatkan aku pun melakukannya dengan khusuk seraya mengamati wajahnya yang mirip denganku. Rambutnya berdiri seperti aku waktu kecil. Matanya tajam menatapku sekali. Selebihnya dia tidur lagi.
“Beratnya 3.2 kg. Panjang 49 cm,” kata suster. Bayi itu beralih tangan. Keluargaku menyaksikannya. Tak lama masuk ruangan terdengar tangisannya yang keras. “Alhamdulillah,” sahutku dalam hati. Namanya Falisha Andi Arafah Qatrunnada. Panggilannya Nada.
Falisha berarti kebahagiaan. Andi berarti adik. Arafah berarti tempat berkumpul dalam ritual haji yang ihram serba putih. Qatrunnada berarti tetesan embun.
Nada adalah putri yang hadir di tengah keluargaku laksana tetesan embun kebahagiaan di mana adik kecil ini kabar gembiranya kami peroleh saat menunaikan ibadah haji. Haji akbar 2007. Di mana saat taqarrub di padang Arafah saya dan istri tercinta melihat awan bertuliskan aksara rab, “Allah” dengan sangat jelas. Kami amat sangat terkesan. Kesan itu mewujud di dalam diri Nada. Ananda Falisha Andi Arafah Qatrunnada. □
Senin, 27 Agustus 2007
Falisha Andi Arafah Qatrunnada
Posted by Noeris at 11.51
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar