Tak terasa umur Borneo Tribune sudah genap dua bulan. Dari sisi eksistensi, koran 24 halaman dengan tampil berwarna ini telah tersebar di seantero Kalimantan Barat. Jejaringnya tumbuh sangat pesat.
Jujur saja, dilihat dari sisi tiras pertumbuhan Borneo Tribune begitu mengesankan. Dalam dua bulan Borneo Tribune sudah menyejajarkan dirinya bersama media-media yang lebih dulu terbit. Hal ini karena penerimaan masyarakat luas terhadap koran yang dimiliki oleh putra-putra daerah Kalbar “asli” ini begitu signifikan. Terlebih Borneo Tribune juga memiliki mesin cetak sendiri, gedung sendiri dan jejaring pemberitaan sendiri.
Pasar Borneo Tribune kami sadari sangat besar. Terlebih kami menggarap bidang pendidikan secara serius dan tampil pun serius. Demikian karena aspirasi yang masuk ke Borneo Tribune adalah sebagai koran pendidikan.
Kami pun setuju untuk itu karena riset kami senada seirama. Kami sejak awal sudah mentasbihkan diri tak mau terlibat dalam pemberitaan kriminal, sadisme, berdarah-darah, pornografi, pornoaksi maupun berbual-bual. Kendati ada unsur pendidikan di dalamnya kami sadari manfaatnya kecil. Mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya. Tak urung “kekerasan” di layar TV pun jadi sorotan karena berdampak negatif bagi publik. Artinya kurang mendidik.
Hal kecil yang edukatif dari kriminal kami seduh dengan olahan tersendiri sehingga bernilai edukatif tinggi. Kami menyentuhnya dengan sudut pandang humaniora sehingga menambah nilai atau value added. Nilai rasa kemanusiaan lebih kami tonjolkan sehingga coverage kami lengkap/mencakup. Borneo Tribune menjadi tak ketinggalan isu di wilayah manapun karena bisa meneropongnya lewat kacamata pendidikan.
Melalui angle pendidikan Borneo Tribune lebih punya harkat dan martabat. Siapapun merasa aman membawa, membaca dan menjadikannya referensi di mana saja. Ia aman masuk ke ruang tamu, teras rumah, kantor-kantor, toko-toko, warung kopi, apalagi perpustakaan, sekolah-sekolah maupun kampus-kampus.
Karena sudut pandang pendidikan itulah kami juga punya lembaga pendidikan yang bernama Tribune Institute. Para pengelolanya adalah seluruh crew di Borneo Tribune. Mereka punya semangat belajar maupun mengajar.
Seorang sahabat mengatakan, dengan pola belajar-mengajar seperti itu semua orang adalah guru dan murid. All personel is teacher. All person is student.
Dari sudut pandang marketing totalitas way of life atau pandangan hidup seperti itu jadinya menguntungkan. Demikian karena setiap orang juga menjadi pemasar yang baik. All person is marketing.
Lalu siapa saja akademia yang terlibat langsung di bidang marketing ini selain para reporter, layouter, machiner, maupun editor? Mereka Ashley Raiza, Zulkifli HZ, Zainuddin, Hesty Yosana, Julianty, Erika Sudiardjo, Hendrika Rika dan Jumi Erlina Sari.
Ashley Rayza sebelum bergabung di Borneo Tribune berpengalaman sebagai marketing di Yogyakarta. Dia juga sempat mengenyam kerja di perbankan. “Kejar target sudah biasa bagi saya,” ujar pria yang menyandang gelar magister manajemen ini.
Zulkifli HZ punya talenta di bidang seni, fotografi dan desain grafis. Kerangka teoritis dikuasainya. “Dulu saya orang ruangan, sekarang saya belajar keluar ruang,” ujarnya untuk menghadapi pasar Borneo Tribune yang tumbuh pesat.
Zainuddin kerap disapa Bang UL. UL singkatan dari Udin Labu. Entah apa latar belakangnya, tapi Zainuddin suka dengan gelar tersebut. “Labu banyak manfaatnya,” kata pria yang suka mendatangkan artis-artis ibukota buat even di seantero Kalbar ini.
Hesty Yosana sebelum bergabung di Borneo Tribune adalah marketing di sebuah perusahaan andal. “Saya dipromosikan ke Kaltim, tapi saya tak bisa meninggalkan orang tua di Pontianak. Saya pun menerima tantangan membesarkan Borneo Tribune yang punya visi idealisme, keberagaman dan kebersamaan,” jawabnya ketika test wawancara di Hotel Peony Maret lalu.
Julianty merupakan alumni Fakultas Ekonomi Untan yang tak diragukan kemampuan hitung-berhitungnya. “Kalau perusahaan media sudah punya mesin cetak sendiri, itu bukan main-main,” katanya.
Erika Sudiardjo punya latar belakang pendidikan ekonomi dan keuangan. Tepatnya di Widya Dharma. Ia kini menjadi staf keuangan di bawah kepemimpinan Julianty.
Hendrika Rika adalah yang termuda di jajaran staf administrasi marketing. Dia begitu tamat kuliah langsung memilih Borneo Tribune.
Jumi Erlina Sari semula bercita-cita ingin jadi Polwan. Hal itu wajar karena ayahnya adalah polisi. Tapi perjalanan hidup membawanya ke bidang keadministrasian. Hal itu wajar juga karena dia alumni dari sekolah yang berlatar kesekretariatan.
Tak lengkap rasanya jika tidak menyebut all person is marketing dengan sudut pandang pendidikan di atas jika tak menyebut nama lawyer Borneo Tribune, Dwi Syafriyanti. Cewek manis yang sudah malang melintang di W Suwito Associate ini begitu haus akan ilmu. “Saya semula kurang peduli dengan pers, tapi karena berteman dengan insan-insan pers yang punya idealisme saya jadi kepincut rasa ingin tahu. Saya terus belajar lewat kasus-kasus atau delik pers. Ternyata menarik. Menarik sekali dunia jurnalistik yang berfungsi sebagai obor penerang itu,” ujarnya.
Dwi kini sedang mengeduk pendidikan di magister hukum Universitas Tanjungpura. Ia tak jarang menjadi icon pemasaran Borneo Tribune baik secara langsung maupun tidak langsung. Utamanya di Kampus Hukum.
Pembaca, kami sadar bahwa pada dasarnya sikap dan tindak tanduk kita adalah pemasaran yang efektif pula bagi kita maupun lembaga kita. Sikap pun kami sadari adalah buah dari pendidikan. Oleh karena itulah Borneo Tribune menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang paling tinggi. Dengan ilmu derajat hidup jadi lebih mulia. Dengan ilmu hidup menjadi lebih mudah. □
Jumat, 27 Juli 2007
All Person is Marketing
Posted by Noeris at 11.31
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar