Rabu, 14 Januari 2009

Budaya, Kearifan Lokal dan Diskoneksi Generasi


Pay Jarot Sujarwo dari Pijar Publishing membacakan puisi soal nasib Istana Kadariah dan Warung Kopi Wenny. Isinya prihal problematika sosial dalam sudut pandang sastra.
Dr Leo Sutrisno, Fisikawan gaek dari Untan yang kerap menulis artikel di berbagai media mengemukakan teori-teori alam semesta yang berimplikasi bagi budaya dan kebudayaan umat manusia.
Diskusi menyoal Seni Budaya dan Kearifan Lokal yang berlangsung di Balai Kajian Sejarah, Sabtu (10/12) kemarin diikuti sekitar 30 peserta dari berbagai kalangan. Tampak pula Budayawan Kalbar, HA Halim Ramli, tokoh sastra Long Mizar, Edi Kumal, sineas Deny Sofian, peneliti liguistik STAIN, kandidat doktor Dedi Ari Asfar, jurnalis, aktivis dan mahasiswa.
Kearifan lokal, sebagaimana arti harfiahnya adalah kebijaksanaan atau keluesan yang bersifat mondial. Nilai-nilai yang berlaku, baik secara simbolik, linguistik, tradisi maupun norma yang berlaku universal. Nilai universal itu seperti kejujuran, tolong menolong, menjaga harkat dan martabat kemanusiaan, yang meliputi berbagai bidang. Baik itu politik, ekonomi, sosial, hingga religi.
Puisi yang dibacakan Pay dengan penuh ekspresi memang mendapat kritik pedas dari sejumlah tokoh, tetapi kritik pedas itu laksana jamu. Rasanya pahit, tapi menjadi obat penambah imunitas/kekebalan generasi muda untuk berkarya jauh lebih sempurna.
Pay menggunakan kata Keraton Kadariah. Oleh HA Halim Ramli dikoreksi menjadi Istana Kadriah. Pay membacakan buah maja yang terasa pahit, tetapi oleh Dr Leo Sutrisno disarankan dengan buah khas lokal Kalbar seperti cermai, atau boleh jadi mengkudu. “Ini dalam konteks muatan lokal.”
Pay mengelak dengan mengatakan ia tak jeli melihat nama Istana Kadariah. HA Halim Ramli mengatakan, kesalahan kecil besar artinya. Tidak boleh sastrawan menyesatkan.
Fenomena itu ditangkap Pimpinan Albarkah Center, Drs H Iswan sebagai diskoneksi sejarah. Tidak nyambung. Tidak mengait masa lalu dengan masa sekarang. Generasi tua dengan generasi muda terdiskoneksi. Sementara forum diskusi budaya seperti yang diselenggarakan Pijar bekerjasama dengan Canopy Indonesia dinilai sebagai forum yang tepat untuk saling asah, asih dan asuh.
Pay tak bodoh untuk mengelak. Dia mengatakan, “Keraton Kadariah itu yang biasa saya baca di koran.”
Jurnalis pun tersenyum. Media terkena pula getahnya. Hal ini menjadi catatan menarik, bahwa informasi yang menyesatkan bisa berdampak luas kepada sastra yang menyesatkan.
Bagi jurnalis Borneo Tribune, informasi harus dimasak sedemikian rupa sehingga matang dan siap saji. Dapur redaksi yang memasaknya menggunakan resep akurasi, balanching dan clearity. Rumus ABC. Sesuatu yang sederhana, tetapi berat untuk menjadi kenyataan sehari-hari.
Bagi Borneo Tribune, jika ada kesalahan, mesti segera diralat karena kerja budaya adalah kerja manusia. Manusia tidak luput akan kesalahan. Tetapi kesalahan yang berlarut-larut bukan kerja kebudayaan, tapi kecerobohan.
Berkenaan dengan kerja kebudayaan Harian Borneo Tribune menampilkan rubrikasi khusus. Telah dirilis rubrik Suara Enggang. Rubrik ini terbit setiap hari di halaman pertama dengan gaya penulisan kolom. Selebihnya kearifan lokal secara khusus terbit setiap edisi Minggu dengan nama Pandora.
Borneo Tribune berusaha selalu tampil terdepan untuk memuaskan selera pembacanya. Kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk mencapai kesempurnaan.



0 comments: