Yandi Algresto, Kepala Sekolah SMP Swasta Budi Baik tergolong kepala sekolah termuda di Indonesia. Kini usianya 27 tahun. Kala ditemui di kompleks sekolahnya, Sabtu (29/9) ia mengenakan stelan safari warna grey.
“Beginilah kondisi sekolah saya,” ungkapnya menyambut kedatangan saya. Sebelah tangannya menyambut salam, sedangkan tangan sebelah kirinya menandakan arah menuju ruangan yang cukup besar. Mata saya menuju ke arah yang ditunjukkannya. Di sana terdapat sejumlah guru. “Dari Borneo Tribune,” kata Yandi dengan nada suaranya yang khas.
Saya menyalami beberapa guru yang kebetulan ada di ruangan itu. Sejenak saya terkesima karena ruangan guru yang seukuran ruang kelas ini bersih dan tertata apik. Ada satu set sofa warna hijau di tengah-tengahnya. Saya dipersilahkan duduk di sini.
“Saya prihatin dengan kondisi kelistrikan di Kalbar. Coba lihat byar pet begini, tak ada aktivitas administrasi yang bisa dikerjakan. Surat menyurat jadi macet. Ruangan panas sekali,” keluhnya. Yandi duduk di hadapan saya. Di sampingnya ada Ketua Yayasan Tek Yok School Budi Baik Darmasa Tansuri, SE.
“Mesin diesel di Siantan rusak. Energi listrik Kota Pontianak hilang separo,” kata saya mengutip keterangan PLN yang muncul di pemberitaan Borneo Tribune.
“Saya tahu. Saya kan langganan Borneo Tribune. Tapi maksud saya, selama setahun apa program PLN? Apa hal-hal seperti ini tidak mereka antisipasi?” keluhnya.
Kata Yandi, dia tidak takut protes dengan PLN karena produktivitas sekolahnya menjadi menurun. “Kami memang ada rencana membeli genset, tetapi pasti akan membebankan pelajar,” sambung Ketua Yayasan, Darmasa Tansuri.
Di TK, SD dan SMP Budi Baik terdapat 625 murid. “Tidak semuanya mampu. Ada 150 pelajar yang sekolah gratis di sini karena berasal dari keluarga yang tidak mampu. Jadi, untuk membeli genset masih impian kami,” katanya seraya berharap PLN segera dapat menuntaskan problemnya sehingga kepentingan publik terpenuhi.
“Bagaimana mau meningkatkan mutu SDM jika kondisi infrastruktur begini,” timpal Yandi lagi.
Yandi berdiri dari tempat duduknya. Saya diajak berkeliling sekolah.
Pertama yang kami tuju adalah perpustakaan. “Ini tempat kebanggaan saya,” ungkapnya menunjuk ruangan sebesar 3x5 meter. “Dulu di sini tempat pembakaran sampah, tapi sejak saya jadi kepala sekolah saya sulap jadi perpustakaan,” timpalnya.
Ada dua rak yang memenuhi dinding di sini. Semua penuh dengan buku-buku yang menunjang akademik sekolah. Jumlah buku tak kurang dari 1000 buah. “Masih sedikit,” timpal Yandi.
Di depan perpustakaan ada unit kantin. Unit ini berdiri sendiri di pojok lapangan. Lapangan yang cukup besar digunakan untuk latihan basket dan lokasi olahraga siswa-siswi Budi Baik. Dalam hal basket Budi baik termasuk diperhitungkan di Kota Pontianak.
Dari perpustakaan kami naik ke lantai dua. Budi Baik memang punya dua tingkat bangunan sekolah. Setiap tempat yang saya kunjungi bersih sekali. “Saya punya kiat untuk mewujudkan kebersihan di lingkungan sekolah, yakni bagi kavling. Kalau ada sampah biar satu lembar plastik pun saya segera menyusul ke pemilik kavling tersebut lalu meminta mereka memungutnya. Bulan pertama terasa berat, tapi setelah jalan kebersihannya permanen.” Saya manggut-manggut. Sistem ini sama persis dengan sistem yang digunakan unit perkebunan durian di Thailand yang pernah saya kunjungi di tahun 2003.
Setiap melewati kelas saya melongo aktivitasnya. Siswa-siswi belajar dengan riang. Ada guru yang mengajar mereka. Terlihat ada kelas yang sedang belajar Bahasa Mandarin, olahraga dan mata pelajaran umum. “Di sini memang ada belajar Bahasa Mandarin,” kata Yandi. “Setiap kelas saya minta pintu-pintunya dibuka agar mudah saya cek. Pelajar dan gurunya pun jadi tidak ngantuk. Apalagi mati listrik,” tambahnya. Saya katakan, “Wah Pak Yandi marah betul dengan PLN.”
“Iya. Tulis saja. Kalau dipanggil pun saya siap memperjuangkan hak-hak masyarakat!”
Langkah kaki Yandi dan saya sudah sampai ke ujung bangunan. “Kecil areal sekolah kami,” tandasnya.
Yandi menunjukkan ruang Bimbingan Konseling. “Siswa-siswi bermasalah diproses di sini,” ujarnya.
Kami bergerak turun ke lantai dasar. Yandi menunjukkan ruang Tata Usaha. “Saya masih kerja di sini, cuma sayang listrik padam sehingga banyak pekerjaan terbengkalai. Panas,” keluhnya.
Di atas meja kerja Yandi terdapat laptop. Laptop itu terlipat rapi. “Tak bisa nyala karena listrik mati.” Yandi menggerutu.
Guru-guru yang saya temui jauh lebih tua ketimbang Yandi yang “baby face”. Tapi mereka semua tampak sangat hormat dan respek kepada Yandi. Yandi maupun ketua yayasan sama-sama alumni dari sekolah yang usianya kini sudah 80 tahun. Sekolah yang tergolong tertua di Kota Pontianak. Jauh lebih tua dari sejarah masuknya listrik di Kalbar.
Yandi meminta para guru berkumpul. Rupanya dia minta foto bersama. Semua patuh. “Kami minta tolong ekspose di Borneo Tribune,” ujarnya seraya senyum. Guru-guru semua juga tersenyum. Dan mereka akan lebih tersenyum lebar jika kondisi kelistrikan kembali normal. ■
Minggu, 30 September 2007
Sekolah Budi Baik Prihatin Kondisi Kelistrikan Kalbar
Posted by Noeris at 09.32
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar