Tangga naik beton itu baru saja jadi di sisi kanan bangunan Borneo Tribune di bulan Agustus ini. Warna semennya masih muda dengan bau yang khas. Kendati baru jadi, tapi fondasinya sudah keras untuk dilewati.
Dulu kami menyebut open area di lantai dua ini tempat yang asyik untuk bersantai di malam hari, menikmati bulan dan bintang. Berleha-leha di beranda belakang Tribune setelah lelah seharian diburu deadline.
Ruang terbuka 5x6 meter itu ternyata tidak hanya asyik bagi kami kru redaksi Borneo Tribune, tapi juga para tamu yang datang malam hari di koran bersemboyankan idealisme, keberagaman dan kebersamaan ini.
Pada malam 17 Agustus kemarin tak sedikit tokoh yang berhimpun di sini. Menikmati malam, menikmati berita dengan gaya bercerita. Menikmati malam 17-an.
Masing-masing absah menjadi juru warta dari observasinya di lapangan, temuan-temuannya sepanjang hidup dan sharing knowledge. Ada keseriusan di sini, ada kesegaran, ada gelak tawa.
Dua buah meja kecil menjadi titik kami bertatap muka. Kursi-kursi melingkari keduanya. Terang bulan dan bintang memayungi ditambah pijar lampu neon di bibir beranda. Lampu jalan dan kompleks perumahan juga seperti bintang dari jarak dekat sehingga menambah eksotis suasana sekaligus menutupi keserbasederhanaan “Kampus Borneo Tribune” yang kami beri nama Tribune Institute.
“Enak diskusi di sini,” kata Ripana Puntarasa dari Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) Jakarta sebuah lembaga yang bertujuan membantu pemerintah dalam mengurangi atau menurunkan tingkat kemiskinan di perkotaan melalui kemitraan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat.
Ripana yang tak lain adalah Institutional Development Specialist NMC-NUSSP usul agar tempat ini tetap dibiarkan los. “Jangan dikasih kanopi lagi agar asli kita menikmati alam. Ini penting agar kita tidak tersekat,” ujarnya.
Sebetulnya yang direncanakan bagi open space ini adalah penyempurnaan. Akan diberikan kanopi dan teralis sehingga lebih menjamin keamanan dan kenyamanan. Tetapi dengan usul para tamu yang juga bakal menikmati tempat ini, mungkin ada baiknya dipikirkan sistem knock-down. Sistem cucuk-cabut tenda, sehingga bisa menyesuaikan dengan segala cuaca. Jika malam terang bulan dan cuaca cerah tak perlu payung tenda, dia terbuka. Tetapi jika cuaca buruk tenda bisa digunakan dengan aman dari basah hujan.
Malam itu tanpa terasa waktu bergulir begitu cepat. Kami berdiskusi seusai berefleksi kemerdekaan yang ditutup pada pukul 22.00 WIB di dapur redaksi. Kami bercerita dari berbagai aspek. Mulai dari yang bersifat politis-struktural hingga etnis-kultural. Tak jarang kami terpingkal-pingkal menemukan keganjilan-keganjilan dalam liputan dan ataupun riset yang pernah dilakukan para reasercher atau peneliti.
Ripana bercerita bahwa Kalbar ini yang paling rawan adalah air bersih. Kota Pontianak sendiri sebagai ibukota provinsi masih belum tuntas menangani persoalan air bersih. “Saya pernah datang ke warung kopi Kota Pontianak bersama seorang rekan. Rekan ini selalu bertanya kepada petugas warung kopi, ini airnya dari air kali, air hujan atau air mineral?”
Ripana mengaku marah di hadapan floor yang cermat mengikuti ceritanya. “Saya katakan kepada kawan saya itu. Sekali lagi kalau kamu bertanya begitu, bisa kena gampar kamu,” sambungnya.
Kami belasan orang yang menyimak kisah Ripana mengangguk. Kami paham dengan suasana warung kopi yang khas Kota Pontianak. Tapi Ripana menimpali, “Maksudnya, jika bukan orang warung kopi yang menampar kamu ya saya!” hentaknya. Dan kami pun tertawa terbahak-bahak. Betapa tidak, ini bukti kemampuan Ripana mengelaborasi fatwa di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Namun Ripana kagum dengan suasana diskusi di beranda belakang Tribune. Dia juga melihat keberagaman di Borneo Tribune di mana pengelolanya ada yang Cina, Dayak, Melayu, Jawa, bahkan Madura adalah beranda kecil negeri bernama Indonesia. “Sudah lengkap di sini. Tampak sebagai miniatur Indonesia. Saya suka sekali,” tambahnya.
Turiman yang akademisi pun menimpali. Katanya, pada sebuah acara Agustusan Pak Harto bertanya kepada warga Madura. “Presiden Indonesia siapa?” Dijawab kadang-kadang Pak Harto, kadang-kadang Pak Harmoko. “Kok begitu?” Tanya Pak Harto lagi saat masih berkuasa seperti ditirukan Turiman. “Sebab di TV sering muncul ya Pak Harto ya Pak Harmoko.”
Cerita ini dilengkapi dengan pertanyaan, apa warna bendera Indonesia? Dijawab warga Madura, “Tergantung TV Pak. Kalau TV warna ya merah putih. Kalau tidak warna ya hitam putih!” kami pun tergelak-gelak menyaksikan aneka dealektika ceplas-ceplos khas Madura yang sebenarnya adalah logika cerdas melawan ketidakberdayaan. Bahasa Faisal Riza yang pengamat media, “Ini adalah dialog kebudayaan.”
Turiman menimpali ada seorang kepala adat menyatakan proklamasi dibacakan atas nama Bangsa Indonesia Soekarno. “Nah, ada peserta yang membisiki ketua adat tadi dengan kata, Bung Hatta tak disebut.”
Turiman pun berdiri mencontohkan gaya ketua adat yang maju lagi ke podium lalu berkata, “Hatta juga.”
Turiman dengan aksen Dayak yang dilafalkannya tertawa terpingkal-pingkal. Tanto Yakobus, Asriyadi Alexander Mering dan Stefanus Akim pun tak kuasa menahan tawa. Bahkan Mering menimpali dengan cerita dua orang setengah gila yang ditemuinya di Sanggau kala liputan Pilpres 2004.
Katanya dua orang gila itu bercengkrama. Ia meliputnya karena unik ada dua orang tak waras bicara antusias.
Dilihatnya seorang merayu lawan bicaranya untuk pinjam handphone. Padahal itu handphone mainan. HP plastik.
“Boleh aku pinjam HP-mu?”
“Wah ini mahal pulsanya,” kata lawan bicaranya ogah-ogahan.
“Tak apa...aku ada dua ribu,” ujar si lawan bicara tetap merayu. Singkat cerita uang Rp 2.000 berpindah ke tangan si pemilik HP mainan.
Lalu dengan HP itu dia menelepon. “Tuhan, jangan percaya dengan omongan kawan saya tadi waktu menelepon itu. Dia sudah lama tak waras. Lebih lama daripada saya”
Mering terus bercerita. “Ei, sehabis cerita lucu itu, si tak waras ini pun sempat-sempatnya berkata dengan rada berbisik—omong-omong Tuhan tadi coblos siapa?”
Tak ayal semua terbahak-bahak.
Berbagai kisah terus mengalir hingga tak terasa waktu sudah pukul 00.30 WIB. Malam sudah larut. Kami semua bubar dengan dada lapang, pikiran senang. Besok hari kemerdekaan yang ke-62 diisi dengan keinginan menjadi manusia yang hakiki.
Tribune memang padat acara pada medio Agustus. Sejak 14-16 Agustus ada Kursus dan Kompetisi Blog Web Design yang diikuti 30 peserta. Pada 16 Agustus sore hari wartawan mengikuti upgrading. Sementara malam hari ada sejumlah diskusi refleksi memaknai kemerdekaan. Akhir kata, salam. Merdeka □
Sabtu, 18 Agustus 2007
Dari Beranda Belakang Tribune
Posted by Noeris at 10.10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar