Istilah kami, para reporter Borneo Tribune adalah para akademia. Kenapa para akademia, karena skill atau keterampilan jurnalistik adalah applied science (ilmu terapan). Karena ilmu terapan, berarti taat azas akan teori-teori jurnalistik atau bahkan kampus jurnalistik. Untuk kampus jurnalistik Borneo Tribune kami beri nama Tribune Institute.
Siapa saja para akademia yang bertugas mencari, mengolah dan mempresentasikan berita ke haribaan pembaca? Mereka adalah muda-mudi potensial dan bekerja atas daya nalar. Berdasarkan abjad nama berada di nomor urut satu adalah Andry. Dia punya talenta di bidang politik, namun digadang-gadang pula ke hukum. Demikian karena politik dan hukum punya pertalian kisah yang erat. Bukankah tak jarang masalah-masalah politik yang pelik selalu bertalian dengan hukum, hukum dan hukum. Andry sendiri adalah sarjana ekonomi jebolan Universitas Panca Bhakti. Dia berpengalaman sebagai leader mahasiswa di kampus kuning UPB. Tepatnya sebagai Presiden Mahasiswa. Ia mantan aktivis kampus dan kini sedang menjadi akademia yang mentasbihkan dirinya sebagai aktivis pers seutuhnya di Kalbar. Ia di awal bulannya bekerja sudah harus menjejakkan kaki hingga Bumi Uncak Kapuas.
Nomor urut dua Arthurio Oktavianus. Ketika melamar di “The Next Newspaper need” (istilah yang kami gunakan dalam pariwara rekruetment calon reporter, red) dia sudah menunjukkan talenta yang tajam pada tulisan bergaya. Maksud kami narrative reporting. Ketika itu populer dalam pembicaraan para redaktur tulisannya berjudul Teh Poci.
Pada tulisan Teh Poci itu nadanya mengalir dengan santai. Kita yang membaca seolah larut dalam Teh Poci. Teh Poci yang dijual di salah satu sudut pinggiran Kota Yogyakarta. Kota tempat di mana putra kelahiran Toho ini menyelesaikan sarjana strata satunya.
Bahasa Inggris Arthur yang lancar amat sangat menolong prestasi akademisnya. Wajar jika dia harus meliput di Kuching, Sarawak, Malaysia.
Ketiga, Agus. Nama lengkapnya Herkulanus Agus. Putra kelahiran Pancaroba ini sungguh nekat menjadi akademia Borneo Tribune dan “kuliah” di Tribune Institute. Dia bela-bela datang dari Sungai Ambawang distrik di mana dia kini menetap. “Bekal pengalaman kerja sebagai jurnalis beberapa waktu yang lalu ingin saya perdalam di sini. Abang-abang menjadi soko guru kami,” ungkapnya dalam testing calon reporter di Hotel Peony Maret silam. Kini Agus sudah melanglang buana dalam liputannya. Tak hanya di rubrik pendidikan, alumnus Fakultas Hukum Untan ini juga sudah menjejal ke Bengkayang.
Keempat, Budi Rahman. Orangnya kocak. Postur tubuhnya tinggi sehingga jadi andalan Borneo Tribune untuk berbagai hal. Mulai dari olahraga di lapangan futzal hingga tentu saja menjolok buah. Baik buah rambutan—jika lagi musim—maupun memetik buah pikiran.
Budi Rahman potensial dalam hal berpikir kreatif. Kawah candradimuka itu telah dia rasakan sejak menjadi Ketua Umum HMI Cabang Pontianak dan menyelesaikan kuliah formalnya di Fisipol Untan. Budaya diskusi dan baca menjadi peradabannya.
Dengan talenta dan posturnya yang mendukung, Budi Rahman menempati posko utama di Pemprov Kalbar. Dia juga mesti keliling kabupaten sehingga dalam tempo 1,5 bulan wilayah Utara, Timur dan Selatan telah disisirnya.
Kelima, Endang Kusmiyati. Dalam hal praktek jurnalistik dia sudah cukup banyak makan asam garam. Selain aktivis pers kampus wanita berkerudung ini juga sudah pernah menjabat sebagai redaktur pelaksana di sebuah media lokal Kalbar.
Alumni Fakultas Pertanian Untan ini menempati posko ekonomi. Namun karena kemampuannya bekerja cepat dia juga dipercayakan mengawal event besar seperti Indonesian Product Expo 2007 yang menjadi debutan Bakomapin Pemprov Kalbar.
Keenam, Hanoto. Dari penampilannya yang berkacamata wajah gantengnya kian kentara. Wajarlah dalam waktu super singkat alumni Fisipol ini sudah menjadi idola banyak akademia. Barangkali berkat modal ini pulalah dia mudah mengembangkan jejaring informasi sehingga mendukung posko liputannya.
Hanoto yang keluarganya tergolong aktivis akademis adalah tipikal pekerja keras. Saking kerasnya, memanjat pohon pun dia lakukan demi Borneo Tribune. Tepatnya ketika Borneo Tribune jor-joran pasang spanduk menjelang launching awal Mei lalu.
Ketujuh, Johan Wahyudi. Alumnus Universitas Muhammadiyah Pontianak ini semula adalah guru. Dia berkeluh-kesah menjadi guru yang hanya berhadapan dengan 40-an siswa di dalam kelas. Dia rupanya ingin menjadi guru yang lebih besar. Koran adalah tempat yang tepat menurutnya.
Johan Wahyudi yang memang nama atlet pebulutangkis gaek di bawah eranya Liem Swie King mengasah talentanya di bidang keolahragaan. Tapi dasar mau menjadi guru yang lebih luas, putra kelahiran Pinyuh ini pun selalu kreatif menulis lepas. Lepas dari pakem olahraga seperti humaniora dan politika.
Kedelapan, Maulisa. Sapaan si kecil mungil ini Icha. Tulisannya amat bergaya sastra. Aklamasilah dewan redaksi menempatkan alumnus Fakultas Pertanian Untan ini ke penulisan panjang Filantropi. Tak urung tulisan-tulisannya segera mendapatkan respon dari pembaca. Salah satu cerpennya yang ditanggapi secara akademis oleh Doktor Sastra, Dedi Ari Asfar adalah Bidadari.
Kesembilan, Mujidi. Sejak di kampus STAIN jurusan KPI, pendidikan formal jurnalistik memang pilihannya. Ia merasa ilmu tak berguna jika tidak dipraktikkan, maka salah seorang pengasuh pondok pesantren ini memilih Borneo Tribune untuk menjadi akademia Tribune Institue. Karirnya pun meroket. Setelah mengobok-obok Kota Pontianak dia membawa pengalamannya ke Kota Singkawang.
Kesepuluh, Yulan Mirza. Putra kelahiran Jakarta yang menamatkan pendidikannya di Fisipol Untan ini gandrung pada liputan-liputan kriminal. Cuma sayang, di Borneo Tribune tak mengakomodir kekerasan atau brutalisme untuk diekspose. Tulisan-tulisan faktual kriminalitas lebih diarahkan pada sentuhan rasa kemanusiaan.
Kami sepakat liputan itu dinobatkan sebagai humaniora. Borneo Tribune dengan Tribune Institutenya hendak menjadi media pendidikan yang humanis. Sebab hidup itu memang manis. Kadang-kadang seperti lirik lagu Slank, “Terlalu manis...untuk dilupakan.”
Akhir kata, ingin kami sampaikan bahwa memberitakan 10 akademia di atas bukanlah untuk narsis, melainkan agar narasumber atau mitra Borneo Tribune dapat mengenal mereka secara jelas. Mereka juga dalam menjalankan tugas jurnalistik dibekali identitas yang jelas. Sejauh ini ada oknum tidak bertanggung jawab dan mengatasnamakan Borneo Tribune. Kami akan sangat senang jika oknum seperti itu dilaporkan saja ke polisi. □
Jumat, 27 Juli 2007
10 Akademia Tribune Institute
Posted by Noeris at 11.25
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar