Minggu, 23 Agustus 2009

Memindai Rumah Mimpi


Taman Gitananda di kawasan GOR Pangsuma Pontianak berdiri dengan segala idealismenya di bidang pendidikan serta tumbuh kembang anak. Gitananda ini sempat memindai perhatian warga Kota Pontianak pada khususnya dan Kalbar pada umumnya lewat aktivitas-aktivitas pendidikan maupun tumbuh kembang anak.
Tak sedikit mata acara berlangsung di tempat strategis ini, sebut satu di antaranya adalah pentas kreasi seni pelajar di hari pendidikan nasional, lomba mewarnai, latihan menari, hingga Kak Seto pun tandang kemari. Tetapi musibah alam datang menimpa. Yakni kawasan GOR Pangsuma Pontianak menjadi daerah pengungsian. Pengungsian yang memakan waktu lama. Bertahun-tahun.
Tak ayal lagi, Play Group dengan fondasi sekolah alam pun menyusut penggemarnya. Bukan karena manajemen dan out put yang buruk, melainkan situasinya tidak kondusif. Tidak kondusif dalam arti sosial, maupun lingkungan hidup.
Nasib Taman Gitananda sejak saat itu pun semakin terkatung-katung. Terlebih roda zaman terus bergerak sehingga para tokoh pendiri satu per satu non aktif. Maka mesin penggeraknya pun mengendur.
Tetapi segala sesuatu yang baik itu selalu saja ada jodohnya.
Di tempat lain tumbuh idealisme yang sama kuat di kalangan anak muda. Di Borneo Tribune dan Tribune Institute aktif melakukan training dan kampanye jurnalisme kampung, jurnalisme sastrawi serta jurnalisme online. Pada sisi lain ada Pijar Publishing di bawah kepeloporan Pay Jarot Sujarwo yang malang melintang memotivasi pelajar dan mahasiswa untuk menulis, menulis dan menulis. Ia juga keluar masuk sekolah dan kampung maupun kampus untuk genre kepenulisan berbasis sastra atau fiksi.
Masih satu lagi: Canopy Indonesia. Anak-anak muda di sini, di bawah kepemimpinan Deni Sofian ingin mengabadikan dokumen sejarah. Dari dokumentasi (baca: difilmkan) maka pemirsa akan mudah mengurai asah, asih dan asuh. Lewat tiga A tersebut terjalin mimpi-mimpi bersama untuk mewujudkan Kalbar yang maju dan independen berbasis pendidikan. Pendidikan sejak usia dini. Pendidikan yang sinergis dan terintegrasi dengan lingkungan sosialnya.
Benar bahwa segala sesuatu yang baik itu akan bertemu jodohnya. Maka Borneo Tribune-Tribune Institute, Pijar Publishing, Canopy Indonesia dan Taman Gitananda (Yayasan Bina Paramuda Khatulistiwa) saling merapatkan diri. Tujuannya bagaimana mengaktivasi kembali kegemilangan Taman Gitananda era 90-an kepada era kesejagatan kini. Keempat lembaga ini pun aktif menganyam mimpi-mimpi indah kembali. Mimpi-mimpi ini disebut dengan ”Rumah Mimpi”. Mimpi bersama untuk diwujudkan.
Sedikitnnya sudah tiga kali pertemuan formal membahas kerjasama mengaktivasi Taman Gitanada. Dua kali diselenggarakan di Tribune dan sekali di Taman Gitananda. Hasilnya? Go head. Jalan terus. Apalagi pertemuan non formal pun tak terhitung jumlahnya. Maka kloplah sudah.
Ketua Yayasan, Ny Hj Sri Kadarwati HA Aswin memberikan lampu hijau. Ketua Ops, Drg Ary membantu mengarahkan. Kegiatan demi kegiatan pun mengalir.
Canopy menggelar In Docs serial film dokumenter kelas dunia disusul launching buku, eksebisi foto dan lukisan Pijar Publishing, hingga kunjungan internship programme Bonn University ala Borneo Tribune-Tribune Institute.
Dus program demi program pun terus dirajut-berlanjut. Kebersamaan terus terpatri dan insya Allah akan ada tabulasi aktivitas sepanjang tahun 2010 kelak.
Cita-cita mulia berbasis edukasi pun terus dikejar. Semoga saja fajar terang dapat diraih seperti kata Bung Karno, ”Gantungkan cita-citamu setinggi langit.”





Baca selengkapnya..

Selasa, 18 Agustus 2009

Sambut HUT RI dengan Diklat Kehumasan


Humas adalah public relation (PR) di lembaga pemerintah ataupun swasta. Humas atau PR adalah kepanjangan tangan dari “atasan” sekaligus penyambung lidah rakyat. Tugasnya melakukan akomodasi pemikiran maupun gagasan sehingga lahir kebijakan-kebijakan yang menguntungkan semua pihak. Tugas yang berat untuk mampu menjembatani kepentingan atas maupun bawah, kiri maupun kanan, depan maupun belakang. All sides.
Sadar bahwa peran humas dalam kaitannya dengan media massa sangat penting, maka kami dari Borneo Tribune dan Tribune Institute menggelar Diklat Kehumasan. Sebuah pendidikan dan pelatihan yang diramu sedemikian rupa sehingga hasilnya benar-benar “cespleng,” jadi.
Kenapa kami berani mengatakan “cespleng—jadi”. Ya, karena kami mempunyai sarana dan prasarana yang memadai. Kami mempunyai perangkat media cetak massal yang lengkap. Kami juga punya skill yang memadai. Ditambah sempurna dengan kerjasama internasional dalam hal ini bersama Bonn University. Kami juga akan melibatkan internsip programe: Christian Kleisle dan Annabelle Schmitt. Keduanya akan turut ambil bagian dalam presentasi dengan topik relasi PR dengan media massa maupun etika dalam praktik jurnalisme. Tetap dalam konteks teknis pragmatis hubungan kelembagaan antara humas dengan media massa.
Waktu yang dipergunakan sejak 12-14 Agustus tidak hanya teori tetapi lebih menekankan praktikum. Sarana dan prasarana praktikum juga amat sangat memadai. Setiap peserta akan mendapatkan satu unit komputer connecting dengan internet sehingga mereka bisa praktik menulis press realease, download dan upload foto, sent email, maupun aneka ragam kepenulisan media massa.
Kelas belajar ini sengaja kami targetkan maksimal 15 orang saja agar intensitas pelatihan bisa sempurna. Jika terlalu ramai maka intensitas berkurang. Kami mau sekali dayung dua tiga pulau terlewati. Pelatihan tidak hanya sekedar datang, duduk, dengar. Tetapi datang, duduk, praktik sampai bisa. Sampai membumi sebagai PR kerjasamanya dengan media massa. Dengan demikian fungsi akomodatif PR menjembatani kepentingan atas-bawah, depan-belakang, kiri-kanan dapat berjalan “cespleng.”
Inilah perjuangan. Inilah yang bisa kami persembahkan menyambut dan mengisi HUT RI ke-64. Kami berjuang untuk mempersembahkan yang terbaik dari menyuguhkan sesuatu yang terbaik yang kami miliki.
Pembaca yang budiman. Jika Anda tertarik untuk mengikuti kegiatan ini, kami akan menyambut dengan tangan terbuka serta service excellent. Kami tunggu pendaftarannya di alamat redaksi, pada waktu dan jam kerja. Ingat kesempatan amat sangat terbatas.
Mari kita bersama berjuang dan terus berjuang. Perjuangan kita sekarang memang sudah tidak seperti para pendahulu di tahun 1945 yang berjuang dengan bambu runcing, tetapi mengisi kemerdekaan dengan profesionalisme. Salah satunya adalah meningkatkan kinerja profesionalitas kehumasan atau public relation. Public relation adalah ujung tombak kesuksesan setiap insan maupun lembaga. Baik negeri maupun swasta. Jika profesional sebuah humas/PR maka akan semakin berjaya seseorang atau suatu lembaga. Begitu sebaliknya. Vise versa.



Baca selengkapnya..

Merenda Semangat Sastra WS Rendra


Mengutip salah satu kalimat puitis WS Rendra, “Ia merenda kain mungil dan harapan…” kami sejumlah anak muda Kota Pontianak berkumpul di halaman Tribune Institute di bawah sinar bulan purnama. Kebetulan alamat kami di Jalan Purnama sehingga merenda kain mungil dan harapan terasa makin ritmis serta puitis. Puitisnya puitis yang alami. Terlebih Pay Jarot Sujarwo pimpinan Pijar Publishing juga membawa gitar serta melankolis membacakan sajak-sajak WS Rendra. Tepuk riuh pun bergemuruh. Applaus selalu lahir di setiap usai pembacaan sajak. Tak kalah semangatnya dengan film dokumenter karya Sumanjaya yang ditampilkan Pay. Film dokumenter itu adalah pembacaan puisi WS Rendra di Universitas Indonesia dan Institute Teknologi Bandung. Masing-masing berjudul Sajak Buat Mahasiswa dan Sajak Sebatang Lisong.
Acara “Mengenang WS Rendra” diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, Jumat (8/8) kemarin. Acara direncanakan hanya enam jam sebelumnya, di mana Pay berjumpa dengan saya untuk urusan penerbitan buku dan punya rasa yang sama untuk menghormati wafatnya penyair “ruar biasa” Wahyu Sulaiman Rendra pada Kamis malam dan dimakamkan pada Jumat siang. Prinsip kami sama: lebih cepat-lebih baik.
Pay bertugas menghubungi sejumlah rekan. Saya dkk menyiapkan tempat dan penganan. Alhasil terkumpul sekitar 20-an orang. “Pak Halim Ramli tak bisa datang karena baru saja keluar dari rumah sakit. Beliau menyampaikan salam saja. Pak Harun Das Putra juga tak bisa hadir karena ada halangan. Tetapi yang hadir di sini ada dari Komstain, mahasiswa aktivis, Madanika, penulis dan jurnalis,” ungkap Pay memandu acara. Acara dimulai sejak pukul 20.00 WIB.
Ada banyak hal penting yang menyeruak sepanjang acara yang berakhir 30 menit lewat tengah malam itu. Pertama bahwa jiwa sastra masih ada di Kota Pontianak walau menurut Kang Leman dari Taman Budaya jalannya “tertatih-tatih” sejak dahulu kala. Jiwa sastra itu mengundang hadir di forum yang sama lantas berbagi seni lewat pembacaan sajak maupun deklamasi. Tampillah Pay dengan puisi disertai musik, Asriyadi Alexander Mering, Budi Rahman, Rizki Wahyuni, Oong, Ali, Leman. Saya sendiri tidak membacakan puisi melainkan sedikit bercerita soal edukasi yang ditularkan WS Rendra secara langsung ke dalam jiwa dan pikiran saya.
Saya sebetulnya tak mengenal WS Rendra lebih dari apa yang saya pelajari di bangku sekolah ketika SD. Beruntung saat SMP saya aktif di Bengkel Teater Mujahidin. Di sini ada Yudhiswara, Odhys dan Mizar Bazarvio yang mendidik bersastra ria. Saya diikutsertakan dalam menyambut dan mengisi acara saat pentas “Selamatan Anak Cucu Sulaiman” di GOR Pangsuma Pontianak sekira tahun 1988. Ketika itu Rendra hadir bersama Adi Kurdi, Syamsul Rizal dan istrinya Ken Zuraida.
Malam sebelum tampil di GOR saya berdecak kagum dengan Rendra melalui kisah sastranya, juga pembacaan puisi-puisi Chairil Anwar yang dilakukannya. Saya masih terngiang-ngiang sampai sekarang cara WS Rendra membaca puisi Chairil berjudul Aku. Kala itu Rendra ada diskusi sastra bersama sastrawan maupun budayawan Kalimantan Barat.
Saya berdecak kagum kepadanya. Lebih berdecak kagum lagi manakala menyaksikan Rendra dkk tampil di GOR memanggungkan Selamatan Anak Cucu Sulaiman.
Decak kagum saya adalah penampilan team Bengkel Teater Rendra sangat hebat di depan melompongnya penonton. Menyedihkan sekaligus membanggakan. Di sini saya bisa memaknai prinsip Rendra bahwa seni untuk seni. Bukan seni untuk uang.
Ketika menyodorkan buku catatan harian saya, WS Rendra memberikan empat kalimat puitis: Kesadaran adalah matahari// Kesabaran adalah bumi// Keberanian menjadi cakrawala// Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
Saya mengecamkan empat kalimat yang saya terima seperti wangsit di tahun 1988 itu. Saya hapal dan saya berusaha berjuang menjalankan komitmen. Tak terkecuali menyemai dan memelihara semangat sastra Rendra. Sastra pembebasan. Sastra yang merubah peradaban dari gelap menjadi terang. Seperti kalimat terakhir yang disebut-sebut Mas Willy.
Saya bersua dalam tempo lebih lama kepada Rendra sekitar 3 jam bersama saat Beliau diundang panitia Musik Kampus FT Untan tahun 1995. Selain Rendra juga hadir politisi Aberson Marley Sihaloho serta Sri Bintang Pamungkas. Saya wawancara khusus bersama Rendra di Kapuas Palace ditemani Syafaruddin Usman. Kapasitas kami ketika itu adalah reporter kampus Mimbar Untan.
Dalam wawancara 3 jam itu Rendra mengisahkan kilas balik hidupnya. Betapa ia anak militer yang diharapkan menjadi dokter justru tumbuh menjadi penyair. “Mau hidup apa dari penyair?” sinis keluarganya.
Rendra terus bercerita soal perjuangan hidupnya. Sampai kisah siksa di penjara serta nilai hidup yang amat sangat mahalnya. “Alangkah indah teriakan bocah manakala saya siuman dari pingsan di ruang gelap gulita,” ujarnya yang mengiris hati saya seperti sembilu. Saya terus terang tak pernah mengalami derita fisik seperti dirasakan WS Rendra. Tapi cukuplah kisahnya saya rekam sebagai pelecut untuk merealisasikan “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata….”
Rendra mentraktir kami minum jus jeruk dan pisang goreng. Ia memotivasi kami yang masih belia.
Diujung wawancara, saya kembali meminta kalimat kalimat bertuah dari Mas Willy. Ia pun memberikan sebuah lukisan sederhana. Sebuah bola dan garis. Di bawahnya ia menulis: Hadir dan Mengalir. Dua kata sihir bagi saya. Bahwa hidup ini memang esensinya bergerak laksana tawaf di muka kabah. Hadir dan mengalir. Justru tanpa mengalir kita mati terinjak-injak.
Kembali ke Malam Sastra WS Rendra. Kawan-kawan tampil mengapresiasi sajak-sajak si Burung Merak. Sajak yang bernas sekaligus memberontak. Laksana cambuk yang menyadarkan orang-orang dari tidur panjangnya. Sesuatu yang menjadi nilai seperti selama ini kita cari.
Catatan penting kedua adalah idealisme tercurah dengan momentum wafatnya WS Rendra. Kami saling bertukar pikiran dan perasaan. Kami juga mengagendakan malam-malam sastra seperti ini secara rutin, minimal sebulan sekali. Banyak tempat yang bisa menjadi pilihan. Selain di Borneo Tribune dan Tribune Institute juga Taman Gitananda atau Rumah Mimpi yang kami aktivasi melalui konsorsium bersama pihak Yayasan.
Pada 15-17 Agustus akan dihelat sejumlah acara berujung sastra di sana. Kita mengundang dan mengharapkan kehadiran penikmat dan pemerhati maupun siapa saja yang tertarik pada kesusastraan dalam konteksnya yang seluas-luasnya.
Kami mulai merenda kain mungil dan harapan…kami berharap gayung bersambut—kalimat berjawab. Salam sastra. Salam kebudayaan. Wafatnya WS Rendra bukan untuk ditangisi, tapi untuk dimaknai.






Baca selengkapnya..

Internet Oke, Listriknya Tolong...Kami Pernah Rugi Rp 100 Juta


Corporate Customer Gathering PT Telkom-PT Borneo Tribune Press


Ruang Ulin di lantai 5 Hotel Santika bergemuruh dengan gelak tawa yang riuh rendah kala Pembantu Rektor IV Bidang Kerjasama Universitas Tanjungpura, Ir H Iqbal Jayadi, MT memberikan kata sambutan seusai penandatanganan memorandum of understanding (MoU) bersama pihak Telkom seusai penandatanganan kerjasama di bidang transmisi antara PT Borneo Tribune Press bersama PT Telkom. Ia mengatakan, “Internetnya sudah oke Pak Walikota, tapi tolong listriknya jangan byar pet melulu. Kami pernah rugi di atas Rp 100 juta karena kerusakan alat-alat laboratorium.”
Wakil Walikota, Paryadi yang duduk bersebelahan dengan Aris Dwi Tjahjanto, General Manager Unit Entreprise Regional Kalimantan turut tergelak karena situasi pelayanan PLN byar-pet di mana-mana. Tak urung dalam dua hari terakhir ini media memberitakan demontrasi masyarakat kepada pihak PLN.
Iqbal meneruskan agar pelayanan PLN bisa ditingkatkan. Terutama kinerja PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel). “Kita berharap PLN bisa cepat pulih, jangan seperti setahun atau dua tahun terakhir ini,” kritiknya secara halus.
Corporate Customer Gathering yang dihelat PT Telkom memang bukan ajang penghujatan bagi PLN yang juga BUMN. Tetapi komentar Purek IV Untan bagai mewakili harapan semua pihak. Terlebih menjelang Ramadhan serta Idul Fitri yang sudah di depan mata.
Sebaliknya, acara yang digelar Telkom adalah menandai dua paket penandantanganan kerjasama antara PT Borneo Tribune Press dalam hal transmisi. MoU ini ditandatangani oleh Dirut PT Borneo Tribune Press, W Suwito, SH, MH yang diwakili saya karena yang bersangkutan sedang berada di Bunaken, Sulawesi Utara. Sedangkan pihak PT Telkom diteken langsung Aris Dwi Tjahjanto, General Manager Unit Entreprise Regional Kalimantan. Adapun paket kedua adalah MoU antara PT Telkom bersama Universitas Tanjungpura di mana Rektor, Prof Dr H Chairil Effendy diwakili Purek IV Ir H Iqbal Jayadi, MT.
Transmisi yang dijalankan PT Borneo Tribune Press ditangkap dari Satelit Palapa yang merupakan bagian dari layanan PT Telkom. Transmisi itu kemudian diteruskan ke pemancar TVRI Kalbar. Melalui transmisi ini TVRI Kalbar bisa ditangkap di seluruh wilayah melalui pemancar parabola, serta dapat pula ditangkap di seluruh Indonesia maupun sejumlah negara bilangan Asia.
Saya pernah menjadi salah satu narasumber di acara interaktif TVRI. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri ada peserta interaktif yang naik tayang dari Sungai Pinyuh, Ngabang, bahkan Australia. Hal ini menunjukkan bahwa layanan transmisi sudah bekerja setelah sempat fakum beberapa waktu lamanya.
Menjawab permintaan pembawa acara, Magdalena yang juga presenter TVRI Kalbar, saya mengatakan bahwa kerjasama seperti yang diteken malam hari ini (kemarin malam, red) adalah bagian dari kebersamaan membangun Kalimantan Barat melalui keterbukaan akses terhadap informasi. Hal ini tak lepas dari political will dan sekaligus political action Pemprov Kalbar sehingga rakyat dapat menangkap pemerataan informasi. Informasi amat sangat penting, karena siapa yang menguasai informasi maka akan menguasai dunia.
Hal senada dikemukakan Iqbal Jayadi di dalam kata sambutannya. Ia menyatakan bahwa Untan menikmati layanan Telkom. Dahulu hanya 4 Mega ditingkatkan menjadi 20 Mega dalam kapasitas Bent Width. “Kinerja ini seperti dikatakan pembicara sebelumnya adalah untuk membangun Kalimantan Barat,” sambungnya.
Pihak PLN yang turut hadir di dalam pertemuan Corporate Customer Gathering dengan tuan rumah PT Telkom Indonesia, Tbk turut tersenyum dan bertepuk tangan belaka sepanjang acara. Mereka tak dapat kesempatan membela diri. Lepas dari masalah kelistrikan ini merupakan bagian dari masalah kelistrikan nasional.
Catatan kita adalah, sejauh mana pun kerjasama dalam kerangka ingin membangun daerah selama kelistrikannya terganggu, maka kecepatan kerja juga akan terganggu. Oleh karena itu, semoga PT PLN Persero bisa segera keluar dari kemelut yang melilit tubuhnya. Terlebih dalam kerangka membangun 64 tahun Indonesia merdeka. “Kita masih merah putih,” kata pamungkas Aris Dwi Tjahjanto.



Baca selengkapnya..

Welcome Sayyidus Shuhur


Waktu terus berlalu. Rasanya baru saja kita menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh pada Ramadan yang lalu, kini Ramadan 1430 hijriyah sudah di depan mata. Insya Allah pada pekan depan (22/8) kaum muslimin dan muslimat sudah menjalankan ibadah shaum di penghulu segala bulan (Sayidus Shuhur).
Welcome Sayidus Shuhur. Selamat datang penghulu segala bulan. Bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan.
Puasa tidak sekedar berarti menahan lapar dan haus sejak matahari terbit hingga matahari terbenam, tetapi segala prilaku yang dapat membatalkan ibadah puasa. Semua dikendalikan seperti diklat manajemen hawa nafsu selama sebulan lamanya. Lahir maupun batin. Yang tampak maupun yang tersembunyi di dalam relung sanubari.
Puasa adalah rem bagi kendaraan jiwa raga di mana nafsu bercokol di dalamnya. Puasa yang mengendalikan hawa nafsu.
Bukan hanya nafsu makan, tetapi juga nafsu syahwat. Bukan hanya syahwat badaniah, tetapi juga syahwat bendawi, ekonomi, politik.
Bagi siapa saja yang temperamental, puasa adalah bulan pendidikan untuk belajar “cooling down.” Penyejukan jiwa raga sehingga terasa adem ayem dan adem sari. Adem ayem ini menghindarkan diri kita dari strak, strek, stroke. Maka nikmatilah puasa yang berkhasiat obat bagi kesehatan.
Lantas apa yang akan dilakukan kru redaksi Borneo Tribune sepanjang puasa Ramadan? Program telah ditata sedemikian rupa sehingga rancak bana bagi pembaca. Dimulai dari liputan Ramadan hingga kegiatan-kegiatan off air. Kegiatan off air itu berupa bekerjasama networking dengan Remaja Mujahidin sebagai media partner. Kegiatan off air itu sejak pawai takruf, pesantren kilat, pembagian zakat, infak, sadaqah, iktikaf dan berbuka puasa bersama tentunya.
Di masa reses Ramadan kinerja redaksi tidak turut “berpuasa” sehingga tampak kuyu dan layu. Justru kontemplasi Ramadan membawa pada kualitas isi. Tulisan yang enak dibaca dan perlu. Tulisan yang mencerminkan idealisme, keberagaman dan kebersamaan. Tulisan yang menggugah dan merubah. Change the world with words. Merubah dunia dengan kata-kata.
Merubah dunia dengan kata-kata tentu tidak kering seperti itu. Melainkan yang terintegrasi antara kata dengan perbuatan. Seiya sekata. Dengan adanya contoh keteladanan seperti ini kita bisa menjadi inspirator bagi peradaban Borneo.
Pra Ramadan kemarin kami melewati seabrek agenda. Selain pelatihan jurnalistik kehumasan (baca halaman 20) juga MoU bersama PT Telkom untuk transmisi TVRI dengan fasilitator Pemprov Kalbar. Agenda rutin lainnya seperti German Corner, Internship Programme terus berjalan tanpa kenal lelah—walau berpuasa.
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang melaksanakannya. Semoga tujuan puasa yakni mencapai level takwa dapat tercapai. Takwa yang secara harfiah takut kepada Tuhan, tetapi secara maknawiah adalah positioning untuk selalu berkiblat pada manfaat, sesuatu yang positif, sesuatu yang memberikan berkat, keselamatan dan kasih sayang. Bukan sebaliknya cenderung kepada yang batil serta negatif.
Pekerjaan rumah kebangsaan kita ke depan masih agat sangat besar. Melalui momentum Ramadan kita dituntut kebersamaan dalam segala situasi dan keadaan. Marhaban yaa Ramadan. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan. Welcome Sayidus Shuhur.



Baca selengkapnya..

Tahu Data Begini, Apa yang Harus Dilakukan?


Olaf adalah pekerja DED yang punya perhatian mendalam soal kabut asap dan debu di Kota Pontianak. Dia punya banyak rekan ekspaktriat yang hengkang dari Kalbar akibat kabut asap dan debu.
Olaf membuka website Pemkot Pontianak. Di situs resmi ini Wakil Walikota Pontianak menegaskan bahwa udara Kota Pontianak sudah berbahaya. Indeks ISPU sudah 300 ppm. Angka standarnya 200 ppm.
Saya mengatakan kepada Olaf bahwa situasi seperti ini oleh warga Kalbar khususnya Kota Pontianak masih dianggap biasa. “Wah kalau saya tak kuat. Saya susah bernapas,” ungkapnya. Saya pun mendorong Olaf tak keluar ruangan jika tak diperlukan. “Sebaiknya tetap berada di dalam agar terhindar dari partikel debu,” kata saya.
Olaf semakin risau karena bosnya dari DED Jerman akan bertandang ke Kalbar. “Saya harus tahu bagaimana kualitas udara di sini,” imbuhnya.
Kami kemudian ke Badan Lingkungan Hidup. Ersa dan pimpinannya menyambut dengan ramah. Kepada kami Ersa memberikan print out pemantauan ISPU. Di dalam print out tersebut tak satu dua hari indeks berada di takaran 400 ppm. Tandanya sudah amat sangat berbahaya. “Tak ada istilah amat sangat berbahaya. Kalau sudah berbahaya ya bahaya saja,” kata Ersa.
Saya melihat grafik ISPU. Tanda bahaya sudah di bilangan garis warna hitam. Warna kematian. Kalau tidak sehat angkanya merah. Tandanya awas!
Olaf tampak mengeryintkan jidatnya. “Apa yang bisa dilakukan setelah tahu angka seperti ini?”
“Kami sudah sarankan kepada Walikota untuk mengeluarkan surat dilarang membakar,” kata Ersa.
“Kami juga membagikan masker secara gratis selain imbauan-imbauan,” lanjutnya.
Olaf melihat hal itu belum fokus. Ia sebagai ekspaktriat belum melihat adanya kebersamaan warga mengatasi masalah besar ini. “Lihat anak-anak yang dibonceng dengan kendaraan. Mereka punya badan mungil, kecil. Hati dan jantungnya masih bersih. Tegakah kepada mereka diberikan udara kotor dengan partikel debu yang halus yang bisa menyebabkan mereka radang pernapasan? Tidak kasihan?” retorikanya.



Baca selengkapnya..

Perjuangan Kita Saat Ini Adalah Memadamkan Api


Benar bahwa sudah ada turun hujan satu dua hari ini, tetapi kabut asap dan partikel debu masih menerpa kita. Dampaknya pasien infeksi saluran pernapasan akut di Kota Pontianak serta beberapa kota di Kalbar melonjak drastis.
Dalam konteks merenungkan makna kemerdekaan RI kita bertanya, apakah kita sudah merdeka? Merdeka secara politis atas penjajahan iya, tetapi secara ekonomi dan ekologi kita baru setengah merdeka. Secara ekologi bahkan kita dijajah oleh asap dan partikel debu.
Penjajahan asap dan debu—paralel dengan hal ini adalah DBD, diare—termasuk macetnya air bersih PDAM serta byar pet listrik—rutin datang setiap tahun. Agaknya lepas dari penjajahan politis di mana kita menang akibat adanya persatuan dan kesatuan belum mengetrap pada bentuk penjajahan lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Seorang rekan sesama redaktur cum akademisi, Dr Yusriadi, MA berbisik ke telinga saya. Katanya, pemerintah bisa mengambil kebijakan ringkas dalam memungkasi kabut asap dan debu. Apa itu? Yakni perintah padamkan api. Di sinilah perjuangan baru itu.
Dalam benak saya berpikir bisakah? Tentu bisa karena tidak sulit membuat keputusan itu. Tetapi caranya?
Caranya tentu saja harus ibarat dua belah tangan. Saling bekerjasama antara kiri dan kanan. Artinya ada interaksi positif antara top dan down. Antara atas dan bawah serta bawah dan atas.
Pihak atas selain memberikan perintah juga diselaraskan dengan contoh teladan, keterbukaan anggaran dan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan publik. Sampah contoh konkretnya.
Kemarau menyebabkan dedaunan mengering dan gugur. Masyarakat menyapu dan kemudian membakarnya. Asap terus menggunung di udara akibat pembakaran spot to spot seperti ini. Ditambah lagi kebiasaan masyarakat kita mengentaskan sampah dengan cara membakar. Memang bersih di halaman tetapi mengotori udara.
Selama pemerintah tidak menyediakan sarana tempat membuang sampah di lokasi strategis serta mencukupi, selama itu pula problem ini tak akan pernah selesai. Belum lagi ditambah tingkat kedisiplinan yang rendah. Baik aparat dinas kebersihan maupun masyarakat dalam membuang sampah dengan cara yang baik dan benar.
Kita tak jarang mendengar anggaran pengadaan truk pembuang sampah dicoret di Dewan. Begitupula pengadan insinerator. Pada sisi lain masyarakat kompleks perumahan banyak yang protes karena di lingkungannya tak ada fasum pembuangan sampah. Jalan akhirnya ya membakar.
Musim buah yang mengembirakan petani menjadi malapetaka di tengah kota. Malapetaka itu adalah keranjang sampah tak tersedia. Alternatif kunci petugas membakar kulit buah di bak-bak sampah pinggir jalan. Bersih untuk sementara, udara tercemari kabut asap dan partikel debu.
Kualitas udara Kota Pontianak di musim kemarau amat buruk. Terlebih ditambah kebakaran lahan gambut yang tak mudah memadamkannya. Di atas 200 ppm udara sudah tidak sehat. Jika tidak sehat alamat sakit menunggu dengan daftar biaya obat menggunung. Belum lagi menimpa remaja dan balita yang masih belia ditusuk tajamnya partikel-partikel debu.
Saya sendiri menghitung puluhan lokasi sepanjang rute perjalanan yang saya lewati sehari-hari. Di mana-mana warga membakar sampah sebagai alternatif berbersih-bersih dari sampah. Mulai dari Paris II yang katanya komplek para elit hingga ke Kampus Untan. Di lingkungan Fakultas Kehutanan saja ada oknum yang membakar berkas dan atau sampah.
Di kawasan kantor saya sendiri Borneo Tribune warga membakar sampah. Mulai dari barang bekas bengkel hingga sampah ruko. Foto yang saya jepret adalah bukti konkretnya.
Jauh kata merubah peradaban, pola prilaku sehari-hari dengan memperlakukan sampah via membakar belum berubah. Ini PR besar. Ini perjuangan kita.
Boro-boro hendak memadamkan api di tengah hutan, yang di depan mata kita saja kita belum bisa berbuat banyak. “Now, I know,” kata Olaf warga Jerman yang bekerja di Kota Pontianak menyikapi kabut asap dan debu demi melihat banyaknya warga membakar sampah.
“Now I know,” adalah isyarat bahwa tradisi membakar ada di mana-mana. Ada di kota-kota, ada di kampung-kampung, ada di ladang-ladang dan ada di hutan-hutan.
Jika dengan momentum Hut RI kali ini kita bisa berjuang melawan api dan debu. Maka Hut RI 2010 kita sudah bisa meghirup udara bersih berseri. Mewariskan langit biru kepada anak cucu. Semoga bisa karena dengan bersama kita pasti bisa. Salam setengah merdeka.





Baca selengkapnya..

Napak Tilas Gusti Mesir

Panembahan Gusti Mesir Raja Kerajaan Simpang ke-6 dua kali ditangkap Jepang. Penangkapan pertama pada tanggal 23 April 1943 bersamaan dengan penangkapan raja-raja seluruh Kalbar dari 12 kerajaan yang semula atas undangan Jepang untuk menghadiri pertemuan di Kota Pontianak. Ternyata kesemuanya dibunuh Jepang, kecuali Panembahan Gusti Mesir. Beliau dibebaskan oleh Penguasa Jepang di Sukadana Bunkenkanrikan.
Setelah Beliau kembali ke Teluk Melano oleh Majelis Kerajaan diadakan musyawarah untuk mencari jalan menyelamatkan Panembahan yang dipimpin oleh Punggawa Uti Hamzah. Namun dalam pertemuan itu semua alternative dengan halus ditolak oleh Panembahan, karena semua alternative itu dinilai tidak rasional. Apalagi untuk mengangkat senjata, berperang melawan Jepang.
Panembahan menyatakan, “Biarlah aku jadi korban—jangan rakyat, karena kita tidak mempunyai kekuatan apapun.”
Pembebasan Panembahan ini sehubungan dengan berita pelarian mata-mata Belanda Kepala Staatwach yang lari ke Telok Melano, karena ada keluarganya di sana. Datang dari Ketapang dan Sukadana kampetai-kampetai Jepang dan memerintahkan rakyat untuk menangkapnya dikoordinatori oleh Kerajaan. Akhirnya pelarian itu tertangkap di Rantau Panjang.
Pada awal Januari 1944 datanglah Motor Cabang dengan dipimpin oleh dua orang kampetai langsung ke Istana menangkap Panembahan Gusti Mesir dan Beliau memang sudah siap kapan saja ditangkap karena sejak penangkapan pertama Beliau tidur pun berpakaian lengkap, menunggu kedatangan Kampetai Jepang. Ditangkaplah seluruh jajaran kerajaan: Panembahan Tua Gusti Rum (Raja ke-5) ayah Gusti Mesir. Gusti Umar mantri polisi (abang Gusti Mesir). Gusti Tawi mantra tani (adik Gusti Mesir). Tengku Ajong (ipar Gusti Mesir). Dolah sopir kerajaan. Raden Asfar (kemenakan Gusti Mesir) serta Bujang Kerepek yang sehari-hari bertugas sebagai pembantu.
Saat penangkapan istri Beliau sedang hamil tua, dan 10 hari kemudian lahirlah anak Beliau yang bungsu yang tidak sempat melihat wajah ayahnya. (disarikan dari surat Drs H Gusti Mulia, putra Gusti Mesir)




Baca selengkapnya..

28 Juni Hari Pahlawannya Orang Kalbar


28 Juni ditetapkan sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) setelah dilangsungkan seminar nasional pada mata acara Hut Kemerdekaan RI yang dihelat Pemprov Kalbar tahun 2006. 28 Juni ditetapkan sebagai HBD dengan Peraturan Daerah No 5 Tahun 2007 memiliki mata rantai tak terpisahkan dari peringatan proklamasi kemerdekaan.
Bagi kita di Kalbar menyambut dan mengisi kemerdekaan bukanlah ruang kosong yang tak berkesan. Kita juga seperti Surabaya yang terkenal dengan pertempuran 10 Nopember yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Kita mempunyai 28 Juni yang mana sesuai Perda No 5 Tahun 2006 diperingati pula dengan pengibaran bendera setengah tiang. Nilai-nilai perjuangan para pahlawan yang telah gugur membela bangsa dan negara dituangkan lebih lanjut di dalam materi muatan lokal pelajar se-Kalbar.
Merujuk jumlah 21.037 jiwa korban Dai Nippon di Kalbar (1942-1945), dan mereka yang disungkup adalah para pejuang, maka tepat sekali dalam konteks merayakan Hut RI ke-64 kita juga melongok kembali masa perjuangan 1942-1945.
***
Pada Hari Berkabung Daerah (HBD) yang baru saja dilaksanakan di Monumen Daerah Mandor pada 28 Juni dua bulan yang lalu Harian Borneo Tribune menyebar angket pendataan ulang korban fasisme Jepang. Hasilnya di dapur redaksi menumpuk formulir yang dikembalikan. Salah satu di antaranya adalah Gusti Khaidir.
Gusti Khaidir adalah Gunco. Gunco sama dengan Camat untuk jabatan pemerintahan saat ini.
Nama Gusti Khaidir tidak tercatat dalam daftar para korban seperti dimuat Borneo Shinbun, tetapi perjuangan Gusti Khaidir dikenang selalu oleh warga, terutama ahli warisnya Gusti Basuni (alm) dan sang cucu yang kini menetap di Mempawah, Gusti Ibrahim Syaifiudin.
Menurut Gusti Ibrahim, almarhum Gusti M Khaidir adalah anak dari Panembahan Taufik Akamudin. Di dalam kerajaan Gusti Khaidir menduduki jabatan sebagai Panglima Kerajaan.
Pada masa penjajahan Jepang siapa saja yang berani melawan maka akan dibinasakan. Tidak hanya yang bersangkutan, tetapi juga anak dan istrinya. Mereka semua dibinasakan secara kejam, yakni diarak keliling kota untuk diperlihatkan kepada segala lapisan masyarakat. Bahwa siapa yang berani melawan akibatnya adalah ditangkap dan disiksa.
Tentara Jepang dinilai sudah berniat tidak baik. Mereka meminta daftar nama-nama para tokoh masyarakat dengan alasan akan mengadakan pertemuan. Pertemuan itu hanya kedok belaka di mana mereka akan menghabisi para cerdik cendikia tersebut. Gusti Khaidir yang berani melawan Dai Nippon menjadi korban fasisme Jepang.
***
Nama korban lain yang belum tercatat adalah Syarif Zeyn Almutahar bin Syarif Salim Almutahar. Kakek dari Effendy Asmara Zola ini bersama kerabat atau karib Almarhum Sultan Syarif Muhammad Alqadrie mengadakan perlawanan bawah tanah terhadap agresor tentara Dai Nippon. Keduanya gigih menolak bujuk rayu spion Nippon bernama Ismail.
Sultan sempat bersembunyi di Sungai Ambawang 11 hari pada Februari 1944. Syarif Zeyn bertahan di Pontianak karena jabatannya Mantri Blassting (Kantor Pajak). Pada hari Selasa, 22 Februari 1944 jam 13.00 Syarif Zeyn disungkup Nippon.
***
Laporan yang masuk ke redaksi Borneo Tribune terus mengalir. Subandi, S.Pd yang sehari-hari bekerja di Diknas Kota Pontianak juga adalah cucu dari korban fasisme Jepang.
Subandi berharap nama Ahmad Sri Alam dapat didaftar sebagai korban fasisme melawan penjajahan Jepang dalam rangka merebut kemerdekaan. Ahmad Sri Alam gugur bersama Abdul Thaha (kakek sepupu—namun terdaftar) serta Panangian Harahap asal Pontianak (terdaftar).




Baca selengkapnya..

Kalbar Berjuang


Memasuki Agustus 2009 Harian Borneo Tribune menyuguhkan simbol baru di headmaster-nya sebuah kalimat sederhana: Di Kalbar Juga Ada Perjuangan. Kalimat sederhana ini disuguhkan di halaman satu pada nama Borneo Tribune sebagai menyikapi pentingnya disosialisasikan berkenaan dengan medio Agustus ini Bangsa Indonesia memperingati hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-64.
Upaya sosialisasi ini dikedepankan karena di Kalbar juga ada perjuangan. Dalam skope perjuangan nasional merebut kemerdekaan tak sedikit terjadi gerakan di sana-sini.
Di Ketapang misalnya. Ada pejuang bernama Rahadi Oesman. Ia pemuda pejuang yang tewas di bawah tirani Belanda.
Di Landak juga ada perjuangan di mana Bardan Nadi menyediakan tubuhnya untuk rubuh disasar timah panas Dai Nippon karena mengibarkan sang saka merah putih sebagai mengabarkan Indonesia telah merdeka.
Sepanjang kurun 1942-1945 bahkan, puluhan ribu rakyat Kalbar menjadi tumbal agresifitas Dai Nippon yang ingin menjepangisasi Kalimantan Barat. Itulah peristiwa yang kita kenal sebagai Tragedi Mandor.
Berdasarkan catatan sejarah sedikitnya terdapat 21.037 jiwa rakyat Kalbar tewas saat itu oleh Dai Nippoon dengan berbagai modus operandi. Ada yang disebabkan gerakan perjuangan nasional merebut kemerdekaan RI, ada pula akibat upaya Jepang menjepangisasi Kalbar sehingga para cerdik-cendikia, atau sesiapa saja yang bisa membaca dan menulis diculik dan disungkup. Pada umumnya mereka dihabisi di ladang pembantaian Mandor. Mandor tepatnya Desa Kopyang jaraknya 80 km dari Kota Pontianak.
Kembali kepada kalimat bahwa: Di Kalbar Juga Ada Perjuangan ingin kami menunjukkan bahwa prilaku kita di dalam 17 Agustus banyak hal harus direduksi kepada sesuatu yang lebih empiris, teknis, pragmatis yang membumi dengan Kalbar untuk konteks kekinian.
Kita biasanya merenungkan perjuangan nasional dengan merujuk pahlawan-pahlawan nasional seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman, Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain, tanpa kita menyebut pejuang-pejuang lokal. Padahal di Kalbar juga ada perjuangan.
Melalui Hut RI ke-64, semestinya kita memberikan perhatian ekstra serius kepada kekuatan yang ada pada diri kita. ”Think globally, act locally.” Kita merayakan Hut RI ke-64 sebagai bagian dari nasionalisme NKRI, tetapi memberikan perhatian penuh pula kepada ritus-ritus perjuangan yang ada di Kalbar sendiri.
Kerap kali dana sangat besar kita kucurkan untuk upacara dan seremonial Hut RI di provinsi, kabupaten maupun kota, tak urung sekolah-sekolah, tetapi jarang kita alokasikan dana secara cukup untuk mengaktualisasi nilai-nilai sejarah yang membumi di daerah sendiri. Buktinya, apakah generasi muda Kalbar kenal betul siapa itu Rahadi Oesman? Bardan Nadi? Gusti Sulung Lelanang? Tak lebih dari mereka mengenal nama-nama itu dari papan nama jalan.
Jika masalahnya seperti itu, kenapa tidak dijadwalkan seminar tentang para pahlawan asal Kalbar itu? Riset tentang hidup, kehidupan dan perjuangan mereka. Kenapa biografi mereka tidak kita cetak massal dan didistribusikan ke perpustakaan dan sekolah-sekolah? Siapa yang harus menginisiasi hal tersebut? Pemerintah? Kampus? Lembaga swadaya masyarakat?
Saya memantau tidak satupun di level pemerintahan atau kampus melakukan upaya tersebut. Kalaupun ada tulisan: Ada Perjuangan di Kalbar di Borneo Tribune, ini adalah sebagai keterpanggilan batin media massa untuk terlibat menyosialisasikan sesuatu yang mungkin esensial jika tak mau dikatakan sangat penting dan urgent.
Hal lain yang patut kita kritisi adalah semaraknya bendera dan umbul-umbul di mana-mana. Terlebih melalui level pemerintahan ada seruan pemasangan bendera yang ditindak-lanjuti oleh setiap RT kepada setiap warganya. Mereka diimbau memasang bendera merah putih. Dan pada umumnya setiap warga patuh untuk memasang sang dwi warna.
Dalam kerangka struktur kampanye massal seperti ini alangkah baiknya jika tersosialisasikan pula bahwa di Kalbar juga ada perjuangan. Mestinya juga ada selebaran yang menyebutkan kisah singkat para pejuang Kalbar. Minimal oleh daerah masing-masing seperti Rahadi Oesman di Ketapang, Bardan Nadi di Landak, dan seterusnya dan sebagainya. Hal ini akan lebih menarik dan menambah arti serta makna peringatan Hut Republik Indonesia.
Saya membayangkan jika setiap warga Kalbar memahami sesiapa pejuang di Kalbar dan menyerap pula nilai-nilai kejuangan yang dilakukannya, akan muncul kesinambungan perjuangan dengan tidak mengabaikan sejarah. Kesinambungan ini menyebabkan perjuangan tidak berhenti apalagi mati sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sebutlah di bidang pendidikan, pertanian, kelautan, militer, pemerintahan.







Baca selengkapnya..

Berakhir dengan Penerbitan Buku


Borneo Tribune bersama Tribune Institute pada 12-14 Agustus menggelar Pelatihan Jurnalistik Kehumasan Pemda se-Kalbar. Peserta tidak hanya datang dari Kota Pontianak, tetapi juga sejumlah kabupaten seperti Sanggau, Landak dan Sintang.
Pelatihan selama 3 hari diampu oleh para redaktur, fotografer dan dua pembicara tamu internship programme asal Bonn University, Jerman. Kesemuanya berbicara tentang relasi media dengan public relation serta hal-hal teknis kepenulisan hingga etika jurnalistik maupun delik pers.
Jika pada 12 Agustus pagi pembukaan dilakukan Dirut PT Borneo Tribune Press, W Suwito, SH, MH, maka acara penutupan dilakukan Master of Training Asriyadi Alexander Mering dan Ketua Yayasan Tribune Institute, Dwi Syafriyanti, SH, MH. Sebelum acara ditutup Dr Yusriadi, MA memimpin Evaluasi Training.
Agus salah seorang peserta mengaku pelatihan kali ini sangat berkesan. “Saya jadi tahu dan paham soal relasi PR dengan Media. Diklat ini sangat menunjang tugas saya,” ungkapnya.
Suhartiman a new comer di media cetak mengaku sebelumnya sudah biasa menulis artikel di media cetak, tapi kini setelah training menjadi lebih terbuka wawasannya. “Sangat membanggakan pesertanya dari berbagai kota. PR adalah jubir Pemda setempat,” timpalnya.
Heru peserta dari DPRD Kalbar. “Pada training ini saya paling berkesan karena sangat friendly. Bersahabat.”
Kepala Kantor Informasi KKR, Iskandar menyatakan training ala Tribune Institute sudah cukup bagus. “Refresentatif. Cuma 1 yang kurang, analisis berita. Berita negatif/positif. Negatif jadi positif. Maunya 30-40 peserta agar lebih ramai. Dan sebaiknya dihelat di hotel. Soal Rp 1-2 jt tak masalah,” sarannya.
Si cantik Meri yang sehari-hari bekerja di Kantor Informasi KKR juga mengaku terkesan dengan training yang didapuk HBT dan YTI. “Cara belajarnya serius tapi santai. Materi masuk karena tidak tegang. Saya usul agar diperbanyak praktiknya,” katanya.
Firmus sebelum angkat suara meminta peserta membunyikan applaus. Setelah tepuk riuh rendah mereda ia pun pidato. “Unik. Unik. Berkesan. Cara penyampaiannya masuk. Fokus. Beda dengan pelatihan jurnalistik yang pernah saya ikuti di PWI. Contohnya pada materi Delik Pers, sayang keterbatasan waktu,” tegasnya.
Peserta lainnya Sukardi. “Saya sangat bersyukur dengan belajar di sini menjadi tahu tata cara menulis. Training ini membuka pikiran saya. Berubah. Saya usul Panpel supaya membuat training tahap keduanya. Panpel bersahabat, santai, pasti.”
Ika peserta dari Humas Pemprov mengakui bahwa selama pelatihan metodenya santai tapi serius. “Saya harap ada kelanjutan dari training ini. Sharing langsung ke Pemprov akan lebih berdayaguna. Kan ada biro-biro. Motivasi kami buat email jadi meningkat,” akunya.
Marsel peserta lainnya dari Taruna Merah Putih dari awal merasa masih awam. Hubungannya ke media hanya saat TMP mau memuat berita. “Nah pada 3 hari ini jadi tahu persis kenapa terbit dan tidak rilis dari TMP.”
“Dari awal saya senang. Sedikit teori banyak praktik. Tapi saya usul ada moderator agar terarah. Usul diklat ini berlanjut. Bila perlu dirikan sekolah jurnalistik,” papasnya.
Bambang Hermanto menyatakan, “Saya paling awam. 3 hari sedikit banyak bertambah wawasan. Materi relevan dengan tujuan. Ramah bersahabat. Suasana ini harus selalu dijaga.”
Erviyanto dari Dinas Pertanian mengucapkan banyak terimakasih karena diundang. “Waktunya mesti diperpanjang. Tajam tapi belum runcing. Terkesan sekali. Saya akan usul kepada Distan agar kerjasama dengan Borneo Tribune. Ini merakyat. Menarik.”
Ervi mengaku hasil latihannya yang dimuat di halaman Borneo Tribune dibaca banyak pihak. Dia kebanjiran kritik dan saran. “Kalo 1 minggu lagi pelatihan maka tulisan saya akan lebih bagus. Materi favorit saya fotografi. Panpel sangat ok. Bravo.”
Joko dari Humas Pemkot menyatakan bagus dan menarik. “Waktu belum cukup. Sangat singkat. Yang tidak tahu saja mengerti apa lagi sudah paham. Saya usul materi bagaimana mewawancarai pejabat perlu ditambah.”
Eka peserta dari Borneo Tribune juga mengaku menarik. “Saya jadi lebih tahu jurnalistik dan fotografi,” imbuhnya rada malu-malu.
Yusriadi selaku pemandu evaluasi mengatakan dari pelatihan yang sudah digelar akan dilaksanakan follow up. Ada pelatihan lanjutan. Orangnya sama. Materinya materi-materi khusus seperti Content analysys sehingga menjadi telaah staf yang paripurna. Begitupula kepenulisan dalam hal mencari sumber dan ide, interview, dan kelas fotografi.
Kedua, pelatihan tidak cuma dilaksanakan di Kota Pontianak tapi juga di daerah-daerah. “Silahkan ajukan kerjasama,” tantangnya.
Ketiga, komunikasi intensif agar tidak terputus kebersamaan yang telah terpintal selama 3 hari. “Ada pilihan. Maya atau kopi darat. Darat baik dijadwalkan. Caturwulan.”
Usul paling brilian adalah menerbitkan buku bersama. Buku bersama ini akan dibahas pada pertemuan caturwulan yang akan datang.




Baca selengkapnya..

Geber Diklat Jurnalistik Kehumasan Se-Kalbar


Diklat Kehumasan “Meramu Jejaring Public Relation dan Media” siap digelar di Tribune Institute Rabu (12/8) besok. Kegiatan ini akan diikuti 15-20 peserta dari kabupaten-kota Se-Kalbar selama 3 hari. Rapat teknis panitia pelaksana berikut tim tutorial pun telah dilangsungkan, Senin (10/8) kemarin.
Rapat dipimpin Direktur Tribune Institute Dwi Syafriyanti, SH, MH diikuti seluruh pemateri, instruktur atau Tim Tutorial. Mereka adalah Dr Yusriadi, MA (Redaktur dan Dosen Linguistik), Drs Tanto Yakobus (Wapimred Borneo Tribune), Muklis Suhairi, S.Sos (Redpel Borneo Tribune), Hairul Mikrad, SP (Korlap Borneo Tribune), Asriyadi Alexander Mering, SH (Manajer Umum, Redaktur dan Borneo Blogger Community), dua pemateri pendamping dari Bonn University masing-masing Christian Kleissle dan Annabelle Schmitt.
Metode diklat yang akan diterapkan adalah edutainment (education dan enterteinment/pendidikan dan hiburan). Tujuan edutainment adalah agar setiap peserta tetap rileks, namun maksimal menyerap topik bahasan.
Topik bahasan seluruhnya serius, tetapi teknik penyajiannya santai melalui presentasi power point, srudi kasus, maupun film-film dokumenter. Jumlah peserta juga dibatasi maksimal 20 untuk satu kelas dalam rangka mencapai maksud di atas.
Materi diramu sedemikian rupa sehingga sinambung sejak relasi antara humas dengan media, suplay data yang dibutuhkan media, teknis praktis ekspose untuk media, jejaring internet, maupun fotografi. Khusus untuk teks dan foto akan lebih digali dalam sesi praktikum.
Keistimewaan diklat yang digelar oleh Tribune Institute menurut Dwi Syafriyanti adalah praktikumnya. Praktikum ini menggunakan sarana maupun prasarana yang dimiliki Koran Harian Borneo Tribune. Dengan demikian setiap peserta tidak hanya mendapatkan teori, tetapi juga praktik. Praktik sampai bisa. Skill pun akan cepat terasah.
Dalam Diklat Kehumasan ini pesertanya datang dari level yang beragam. Dengan demikian tingkat pemahaman mereka juga beragam sehingga perlu ditera terlebih dahulu melalui pra kondisi. Pra kondisi ini diukur dengan parameter pos kondisi. Melalui parameter ini dapat diketahui seberapa jauh keberhasilan Diklat yang digelar oleh Tribune Institute telah tercapai hari demi hari.
Tribune Institute adalah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang kepenulisan. Eksistensinya dalam hal diklat sudah tidak diragukan karena aktif berkecimpung dalam dua tahun terakhir secara kelembagaan maupun personal. Tribune Institute ingin mencapai visi: melakukan perubahan peradaban Borneo dari budaya lisan kepada budaya tulisan. Diklat Kehumasan hanya salah satu program yang diselenggarakannya. Program lain: lingkungan hidup, pendidikan, pemberdayaan perempuan, dan micro finance.





Baca selengkapnya..

Sabtu, 01 Agustus 2009

Dibuka German Corner di Borneo Tribune


Sabtu, 4 Juli yang lalu merupakan hari bersejarah bagi kami di Harian Borneo Tribune dan Tribune Institute. Kolaborasi selama ini bersama Universitas Tanjungpura dan Bonn University telah melahirkan German Corner.
German Corner bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan antara Indonesia dan German. Terutama bahasa.
Sejak 1 Oktober tahun lalu, Bonn University telah mengirim mahasiswa-mahasiswinya ke Kalbar. Mereka belajar bahasa Indonesia, kebudayaan serta jurnalistik di Borneo Tribune dan Tribune Institute. Sebaliknya eksistensi mereka juga memberikan cross-culture sehingga dibuka German Corner.
German Corner mempunyai banyak program. Tetapi program awal yang diselenggarakan adalah kursus Bahasa German.
Kursus Bahasa German diampu oleh Stephanie Jung dibantu pendatang baru untuk riset Sungai Kapuas, Fabian. Pelajaran pertama dimulai Sabtu 4 Juli lalu sejak pukul 13.00 hingga 15.00.
Peserta kursus Bahasa German tidak hanya karyawan-karyawati PT Borneo Tribune Press dan wartawan-wartawati Borneo Tribune, tetapi juga menerima kolega yang mau belajar Bahasa German.
Uniknya, siapa saja yang belajar Bahasa German di Kantor Redaksi Borneo Tribune tiga bahasa sekaligus ter-up-grade peningkatannya. Selain Bahasa German, praktis Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Di sinilah misterinya bahasa.
Bagi Stephani dan Fabian yang mengajar Bahasa German, ia tak jarang menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia untuk memberikan penjelasan serta uraian-uraian. Bahasa Indonesia keduanya akan semakin baik. Interaksi dari para peserta meningkatkan pemahaman berbahasa Indonesia Stephani serta Fabian. Kata-kata tabu dan saru cepat sekali mereka input.
Adapun penggunaan Bahasa Inggris yang menjadi medium perantara meningkatkan pemahaman para peserta yang selama ini takut-takut mempraktikkannya. Ini ibarat sekali dayung, dua tiga pulau lewat; sekali menyelam minum air. Sekali belajar Bahasa German, sekalian Bahasa Inggris dan Indonesia.
Peserta pelatihan di German Corner ini ternyata di luar dugaan. Peserta hadir antusias. Mereka aktif bertanya-jawab serta mempraktikkannya. Tak pelak lagi, suasana kantor menjadi suasana belajar. Tak muluk jika kemudian kita berharap suatu saat kelak Bahasa Indonesia, Inggris dan German akan menjadi komunitas three in one. Center of excellent-nya di Poernama 02.
Bagi pembaca yang ingin ikutan, silahkan mendaftar di Sekretaris Redaksi. Kontak saja kami setiap waktu dan jam kerja. “Lebih cepat, lebih baik.” Program bisa kita “lanjutkan”. Semua itu “pro rakyat”. Pro pendidikan. Salam.



Baca selengkapnya..

Gardening Party ala Pak Eka

Persahabatan internasional sangat membekas bagi diri Eka Priyadi, salah seorang dosen Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura yang menyelesaikan pendidikan masternya di TU Freiberg, Jerman. Ia mengingat bagaimana “party” digelar dengan cara amat sederhana, tetapi sangat berbobot. Sederhana dalam penempatan, tetapi berbobot dalam pergaulan sehari-hari. Apalagi dalam iklim akademis.
Eka Priyadi jauh-jauh hari sudah menelepon untuk waktu pelaksanaan party-nya di halaman Magister Teknik, Jumat (24/7) pukul 15.00 sd selesai. Tak cukup via telepon, sebaris pemberitahuan melalui SMS pun dia lakukan. Dia sangat ingin menjamu “anak-anak Jerman” yang kebetulan Stephanie Jung dari Bonn University akan segera mengakhiri masa magangnya di Kalbar seteah 3 bulan belajar bahasa, serta menyambut kehadiran peneliti muda untuk tesis MA-nya tentang DAS Kapuas dari aspek sosial Till Fabian Plitschka.
Party yang digelar Jumat kemarin memang bukan yang pertama. Eka sudah pernah mempersembahkannya bagi angkatan pertama magang yakni Mathias Waldmayer, Dorina Loise Schulte dan Christian Stegmann. Acara dilaksanakan dengan sederhana di halaman Magister Teknik tanpa pidato panjang kali lebar, namun melibatkan para aktivis S1 maupun S2 Fakultas Teknik Untan, serta sangat familiar. “Agar mereka ikut terlibat dalam pergaulan internasional. Kita motivasi mereka untuk aktif,” kata Eka.
Acara dimulai dengan kata sambutan Direktur International Office, Elvira. Pria yang seangkatan dengan Eka, namun menamatkan studi S2-nya di Australia ini tampil kocak. Pak Eka katanya sangat menghargai hubungan internasional, bahkan sampai „telior-lior“ untuk segera bisa praktik berbahasa Jerman, ujarnya mengutip langgam bahasa lokal.
Elvira juga mengingatkan bahwa acara seperti yang dilaksanakan ini adalah bagian dari ajang silaturahmi untuk saling mengenal satu sama lainnya. Di satu sisi saling tukar menukar informasi, pada sisi lain merajut kebersamaan dalam kelindan persahabatan.
Turut hadir dalam acara yang serius tapi santai ini Dr Seno yang menamatkan pendidikan S3-nya di Uni Frankfurt, Christian dari GTZ, Dwi Syafriyanti, SH, MH dari Tribune Institute dan para aktivis S1 dan S2 FT Untan. Hadir tak kurang dari 25 orang di acara yang penganannya tekwan, sate, buah rambutan, es kopyor dan aneka penganan ringan lainnya. „Wir haben diese Party veranstaltet, um die freundschaftliche Beziehung zwischen der Uni Bonn und der Uni Tanjungpura zu staerken. (Kami mengatur pesta ini untuk persahabatan yang lebih erat antara Bonn University dengan Universitas Tanjungpura...“ ungkap Eka dalam sambutannya.
Semua berbicara. Stephanie merasa sangat tersanjung sekali. Dia mengatakan bahwa Kota Pontianak tak akan terlupakan dan dia menegaskan akan kembali lagi ke kota kecil yang berbatasan dengan Sarawak ini. Begitupula Fabian. Ia yang berbaju batik menyatakan sangat senang dengan akan diterapkannya visiting student maupun supervisor dari Untan untuk mahasiswa Bonn yang magang di Borneo Tribune serta Tribune Institute dalam konteks MoU bersama Untan maupun Bonn University. „Saya suka Indonesia. Semua makanannya enak, cuma satu yang saya belum bisa. Apa itu? Durian,” ujarnya meledakkan tawa hadirin.
Begitulah suasana keakraban dijalin untuk merajut masa depan yang jauh lebih baik dengan standar internasional untuk partnership media dengan kampus. Di kita memang banyak harus dibenahi dan hal itu tidaklah mudah. Butuh kesabaran, kerja keras dan kebersamaan.





Baca selengkapnya..

Bagi Bagi Hadiah


Dua tahun usia Borneo Tribune dan Tribune Institute pada 19 Mei lalu digelar dua cabang lomba bagi pelajar, mahasiswa dan umum. Cabang lomba itu adalah penulisan opini/artikel dan foto jurnalistik pendidikan.
Satu per satu naskah maupun hasil hunting foto masuk ke meja panitia. Satu per satu pula tim juri mengamati serta memberikan penilaian.
Ketua Panitia, Muklis Suhairi mengatakan bahwa mutu karya yang masuk “lumayan berbobot.” Hal ini menggembirakan karena ternyata menulis dan fotografi tidak sekedar hobby, tetapi sudah memasuki ranah profesional.
Naskah maupun foto yang masuk juga tidak monoton dari ibukota. Ia masuk dari berbagai daerah. Ia tidak saja datang dari Kota Pontianak, tetapi juga kabupaten seperti Sanggau, Singkawang hingga Kayong dan Putussibau. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa pengumuman lomba yang dilakukan koran Borneo Tribune menetes luas hingga ke pelosok-pelosok wilayah Kalimantan Barat.
Selayaknya sebuah kompetisi pastilah ada menang dan kalah. Di sinilah masa puncak buat dewan juri melakukan penimbangan, dan mau tidak mau hasilnya diumumkan secara luas.
Nah pengumuman juara itulah yang dilakukan Borneo Tribune, di mana tepat pada hari Sabtu, 1 Agustus kemarin para jawara itu hadir ke dapur redaksi. Dan kesemua pemenang hadir on time. Tak ada pasal karet dan tradisi jam karet. Suatu perkembangan yang baik bagi kita semua di mana kedisiplinan menjadi indikator kemajuan.
Muklis Suhairi yang juga Redaktur Pelaksana di Borneo Tribune mempersilahkan para tamu masuk dan menempati ruangan yang telah disiapkan. Para juara masuk diiringi sejumlah “suporter.” Suporter itu mulai dari kakak, adik, ibunda hingga oma. Semua memenuhi ruangan utama redaksi digenapi karyawan-karyawati serta pelajar magang di Borneo Tribune, Tribune Institute. Sedikitnya ada 30 orang menenuhi ruangan.
Acara yang dipandu Manajer Umum Asriyadi Alexander Mering berjalan mulus diiringi gelak tawa. Terutama pada saat pembacaan nilai para pemenang yang dimulai dari urutan ketiga. Suasana yang semula tegang pun perlahan-lahan mencair bahkan diiringi tepuk tangan meriah hadirin.
Istimewanya para pemenang memperoleh tiga hadiah. Pertama dana pembinaan bagi pemenang 1, 2 dan 3. Kedua plakat yang didesain indah, serta ketiga sertifikat yang terkemas sangat rapi nan nyeni.
Sekretaris Redaksi, Caturiani Fahmi bersama designer Atika Ramadhani cukup lama menyiapkan aneka rupa hadiah ini bagi para pemenang. Keduanya menyiapkan tas cantik ala Borneo Tribune. Maka sejak H-3 Catur dan Tika sudah mendandani sendiri karya seni tersebut. Tak cukup dilakukan di kantor dilanjutkan pula di rumah seperti PR. Hasilnya sangat mengagumkan.
Tas unik berwajahkan Koran Pendidikan dengan foto utama Bryan Jevoncia sedang bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bryan adalah juara design perangko yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa Bangsa dan telah mengharumkan nama Bangsa Indonesia. Bryan menjadi ikon bagi pendidikan Kalbar. Dan ini pula pesan yang hendak dititipkan oleh si perancang tas Borneo Tribune kepada para pemenang.
Para pemenang pun berbangga hati. Mereka memegang hadiah yang telah dibagikan oleh panitia serta foto bersama. Mereka menebar senyum dengan menyambung semangat bagi partisipasi aktif dalam lomba tahun depan.
“Tahun depan lomba ini akan kita selenggarakan lagi sebagai agenda tahunan,” kata Pemimpin Redaksi, Nur Iskandar dalam pembagian hadiah tersebut. “Kami akan siapkan diri lebih matang. Sekolah Santo Ignasius Singkawang akan terus berpartisipasi,” ujar pemenang pertama lomba fotografi, Stella Bianka K. Hal senada dikemukakan rekan-rekannya sesama pemenang.
Okelah, kalau begitu kita bersama menyiapkan diri di even tahun depan. Tetapi para pembaca yang budiman, even yang diselenggarakan Borneo Tribune dan Tribune Institute tidak hanya kedua cabang tersebut di atas, masih seabrek-abrek agenda lainnya. Simak dan ikuti saja di koran kesayangan Anda ini. Salam.



Baca selengkapnya..