Jumat, 28 Maret 2008

Diskusi Kasus Gang 17--Pro Kontra Ralat Permohonan Maaf

Menyoal Permohonan Maaf Itu—Hasil Perenungan Guru Yang Khui (Borneo Tribune, Minggu 16 Maret) mendapatkan tanggapan masyarakat luas.
Mantan legislator DPRD Kalbar, Ir Andreas Acui Simanjaya mengatakan isinya dialektis dan menjadi pengayaan intelektual generasi muda. Acui memuji pengamatan Yang Khui (71) yang begitu cermat.
Yang Khui tertanggal 6 Maret 2008 menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Lie Khie Leng dkk dengan alamat Jalan Gajahmada No 223 (Yayasan Bhakti Suci) perihal revisi pengumuman permohonan maaf.
Kritik Yang Khui adalah kritik yang bukan tanpa alasan. Dia membuka tabir bahwa permohonan maaf yang men-generalisir seperti yang sudah terlanjur dilakukan itu kurang tepat sehingga perlu diralat. Usulan ralatnya pun disampaikannya lewat sepucuk surat dengan usulan sbb:
Kalimat: “Berdasarkan hasil pertemuan secara kekeluargaan yang diprakarsai oleh Kepolisian Kota Besar Pontianak, kami atas nama warga Tionghoa Kota Pontianak...dst” diralat menjadi “Berdasarkan hasil pertemuan secara kekeluargaan yang diprakarsai oleh Kepolisian Kota Besar Pontianak, kami atas nama keluarga Ikhsan sebagai warga Kota Pontianak...dst.”
Usulan ini dinilai bukan mengada-ada. Rasional. Masuk akal, dan lebih menjamin hubungan harmonis yang sejati antara sesama warga bangsa Indonesia. Sebab yang dinilai bersalah adalah Ikhsan dengan tidak serta merta mengeneralisir masyarakat Tionghoa bersalah sehingga harus minta maaf.
Yang Khui mengatakan terusik dengan iklan di media-media massa tersebut dan bertindak tanpa ada unsur politik. “Saya sudah tua, buat apa repot-repot lagi dengan urusan ini dan itu. Tapi saya gusar karena cinta pada Tanah Air ini. Saya ingin kita semua rukun dan dapat hidup berdampingan secara damai,” ungkapnya.
Walikota Singkawang, Hasan Karman juga memuji pemikiran Yang Khui. Katanya, mudah-mudahan renungan itu menyadarkan berbagai pihak tentang hidup majemuk.
Rektor Untan Dr H Chairil Effendi tak urung mencurahkan pendapatnya. Kata pakar folklore alumni UGM ini bahwa baik buruk tidak tergantung etnisitas atau ras memang benar. Etnisitas adalah askriptif, melekat demikian saja sejak kelahiran manusia.
Di tahanan penjara mungkin ada Arab, Madura, Melayu, Dayak, China, dll. Pengetahuan ini harus disosialisasikan di tengah masyarakat yang plural dan multikultural agar kehidupan sosial terbina harmonis.
Meski demikian, katanya, sikap Lie Khie Leng dkk minta maaf atas nama etnisnya (kasus Gang 17, red) harus diapresiasi positif karena sentimen etnik di tengah masyarakat kita masih tinggi.
Katanya, masyarakat Tionghoa yang tak setuju tidak perlu merasa sakit hati, dan masyarakat yang dimintai maafnya jangan pula memandang sikap tersebut sebagai pembenaran atas apa yang dilakukan oknum sebagai tindakan kolektif etnik. Menahan diri, berlapang dada, meski tidak otomatis setuju dengan pandangan tertentu menurut Chairil saat ini sangat diperlukan.
Begitu halnya dengan pengamat hukum Rousdy Said, SH, MS. Katanya, dia sudah lama mendengar pendapat perlunya pemuka-pemuka Tionghoa meralat permohonan maafnya seperti yang ditekankan guru Chua Yang Khui. Namun tetap saja terjadi silang pendapat yang tajam karena bisa terjadi luka yang mulai sembuh jadi menganga kembali.
Rousdy Said juga kuatir jika peristiwa Gang 17 menjadi komoditas politik menjelang Pilwako.
Soal peran masyarakat dalam upaya mewujudkan tatanan hidup harmonis tak sedikit dicatat dalam sejarah termasuk pemberitaan media. Terlebih jika aparat bertindak cepat dan tegas sesuai hukum yang berlaku. Karena kebanyakan kasus-kasus massal berkembang akibat kasus-kasus kecil.
Untuk itulah komitmen mewujudkan polisi sebagai aparat penegak keamanan dan ketertiban yang profesional dan proporsional sangat diperlukan. Begitupula terhadap hakim dan jaksa yang memutuskan kasus-kasus yang sampai ke meja hijau.
“Jika keadilan mampu ditegakkan, maka demokrasi akan berjalan. Demokrasi tidak akan mungkin berjalan tanpa adanya keadilan,” tambah pakar hukum Untan, Prof H Slamet Rahardjo dalam berbagai kesempatan diskusi peran hukum dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis. ■

Baca selengkapnya..

Suap Tak Akan Melahirkan Pemimpin Bersih

Proses seleksi anggota KPUD Kalbar sudah hampir mencapai titik puncak. Sudah lolos 10orang dan akan dipilih 5 sebagai kandidat terbaik.
Semakin menuju ke titik finish, perjuangan para peserta akan semakin tinggi. Begitupula perhatian dari Tim Seleksi, juga dituntut semakin cermat.

Berkenaan dengan hal tersebut, adalah menarik ketika Ketua Tim Seleksi, Dr H Chairil Effendi menyatakan ada upaya-upaya yang dilakukan sejumlah kandidat untuk menyuap Tim Seleksi, serta pihak kesekretariatan.
Chairil mengancam akan membuka siapa-siapa yang melakukan upaya tersebut. Tujuannya agar stop sampai di situ. Jangan teruskan upaya negatif yang sogok menyogok atau suap menyuap tersebut.
Chairil ingin menunjukkan independensinya selaku Ketua Tim. Ia terus terang ingin menjaga citranya. Terlebih di belakangnya juga berdiri nama besar, Universitas Tanjungpura—perguruan tinggi negeri terbesar di Kalbar—di mana Chairil adalah rektornya.
Ancaman yang dilakukan Chairil diharapkannya efektif untuk menggertak sejumlah kandidat yang hendak melakukan suap kepada Tim Seleksi dan atau kepada pihak sekretariat KPU.
Agaknya gertakan itu bergeming, hingga diumumkannya 10 nama yang lolos seleksi tahap kedua setelah uji administrasi dan tertulis 24 Maret kemarin.
Ada aksi akan ada reaksi. Pernyataan Chairil mendapatkan respon dari komponen aktivis mahasiswa dan LSM. Mereka meminta Chairil menyebutkan saja secara transparan siapa-siapa yang mulai “main api” untuk menyuap tersebut. Tindakan menyuap sama dengan tindakan bunuh diri.
Tidakkah tuntutan transparan itu positif jika dilakukan? Karena KPU adalah pelaku utama dalam setiap suksesi kepemimpinan, di mana di tangan merekalah tata tertib itu dijalankan tahap demi tahap. Mulai dari penerimaan pendaftaran calon Gubernur, kampanye, pencoblosan, hingga perhitungan suara. Begitupula terhadap pilkada legislatif, hingga pemilihan presiden yang akan dihelat tahun 2009.
Peranan KPU yang bersih sangat dituntut. Dan itu bertolak belakang dengan adanya upaya suap-menyuap.
Kita berharap 10 nama yang lolos, bukanlah orang-orang yang berupaya melakukan suap itu. Dan bagi Chairil yang ingin menjaga reputasi maupun hasil kerja yang terbaik dan dapat dipertanggungjawabkan demi kemashlahatan Kalbar jauh ke depan tentulah telah menyeleksinya secara ketat.
Tetapi di lain sisi, kita tidak menafikan usulan dari elemen masyarakat yang kritis, bahwa data-data yang dimiliki Chairil dibuka saja kepada publik. Walaupun boleh jadi orang-orang yang hendak melakukan suap itu tidak termasuk dari 10 yang lolos, namun sudah cukup menjadikan pelajaran jauh lebih mendalam. Baik kepada masyarakat, maupun individu itu sendiri.
Begitupula bagi 5 orang yang bakal lolos nanti. Mereka tak akan sepi dari kontrol yang ketat. Terlebih peran KPUD 5 tahun ke depan sungguh sangat berat di tengah konstalasi politik lokal dan nasional yang belum kunjung reda. Api politik terus bergejolak di mana tabiat suap-menyuap juga belum turun ke tingkat kesadaran terdalam.
Kita membutuhkan orang-orang bersih. Perilaku bersih.
Konsisten si menjaga kebersihan di dalam segala bidang kehidupan, baik ucapan, tindakan maupun perbuatan, barulah akan melahirkan pemimpin-pemimpin bersih. Tanpa konsistensi tersebut semuanya bulsheet, tampak menggantang asap semata-mata. ■

Baca selengkapnya..

Implikasi Gubernur Jadi Ketua KBPP

Keluarga Besar Putra-putri Polisi (KBPP) Pusat tentu tidak salah pilih Cornelis ketika forum memilih fifty-fifty antara dua kandidat yang sama-sama kepala daerah “kuat” antara Cornelis dan Morkes. Cornelis dikenal sebagai Bupati Landak dan Morkes Bupati Ketapang.
KBPP Pusat cukup jeli dan pintar melihat peluang. KBPP Pusat telah menetapkan Cornelis sebagai Ketua KBPP Kalbar dan ternyata dalam perhelatan Pilkada Kalbar yang berlangsung Nopember akhir tahun lalu Cornelis yang menggunakan perahu PDIP terpilih sebagai Gubernur.
Kedekatan sebuah organisasi dengan pusat kekuasaan memang dalam banyak hal memberikan kemudahan. Kemudahan yang paling terang adalah dana.
Dana secara tunai bisa dirogoh dari saku pribadi. Ini paling gampang. Tetapi yang bisa jauh lebih besar adalah dengan akses atas power yang dimiliki.
Selaku kepala daerah, aksesnya akan sangat besar. Akses ini bisa menjadi kunci bagi terbukanya peluang di berbagai hal. Tergantung dari bagaimana memberdayakannya.
Kita berharap pemberdayaan itu totalitas ke arah yang positif, sebab jujur kita akui tidak semua keluarga—putra-putri polisi—anak-anak kolong itu bernasib mujur. Tak jarang mereka hidup berhimpit-himpit karena rumah dinas yang kecil, pendapatan dinas yang hanya cukup untuk gali lubang-tutup lubang.
Perhatian kepada institusi hingga ke bilik terdalam keluarga patut menjadi perhatian. Kalaupun mata kita tertuju pada polisi-polisi kaya, jumlah mereka tak lebih dari 10 persen. Sebagian besar justru hidup pas-pasan.
Di sini peran penting Gubernur Cornelis sangat diharapkan.
Eksistensi polisi tidak hanya di institusi kepolisian. Polri juga mempunyai unit-unit pendidikan formal maupun non formal. Mereka juga punya unit-unit usaha keluarga,
Gubernur Cornelis mengatakan dalam waktu dekat akan segera membentuk organ yang lebih lengkap. Pada kesempatan ini keluarga besar putra-putri polisi bisa memberikan kontribusi, termasuk pihak Polri sendiri. Bentuk struktur organisasi seperti apakah isinya yang tepat bagi menjawab masalah Kalbar? Siapa saja yang cocok berada di dalamnya? Fokus mana saja yang hendak dituju dari program kerjanya?
Terpilihnya Cornelis menjadi Gubernur tentulah membuat keluarga besar polisi menjadi bangga karena Cornelis putra polisi. Polisi yang tergolong rendahan, tetapi dengan didikan kedisiplinan bisa menempa jiwa dan semangat Cornelis untuk tampil jadi yang terbaik di Kalbar.
Jalan yang mesti ditempuh Cornelis pun masih panjang. Selaku Ketua KBPP dia baru dilantik 26 Maret kemarin di Mapolda Kalbar. Selaku Gubernur pun masa kerjanya belum lagi genap 100 hari. Dia patut membuktikan bahwa dia memang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin.
Sebagai figur yang menjadi teladan, Cornelis seperti bapak yang tindak-tanduknya menjadi perhatian. Dalam kapasitasnya sebagai gubernur, tidak hanya menjadi perhatian keluarga besar polisi, tapi juga sekitar 4 juta penduduk Kalbar.
Terkait Polri adalah penjaga kamtibmas yang diamanahkan UU, maka dengan terpilihnya Cornelis sekaligus menjadikan hubungan timbal balik antara Polri (baca: Polda Kalbar) dengan Pemprov menjadi jauh lebih mesra. Kemesraan ini diharapkan melahirkan perdamaian abadi di Kalbar di mana bibit-bibit potensial konfliknya laten.
Selaku rakyat jelata kita berharap resultan KBPP-Gubernur positif. Tidak hanya kepada KBPP secara organisasi, tetapi kepada masyarakat luas. Sebab kita merindukan kamtibmas yang benar-benar realistis serta terajut kuat sehingga abadi sepanjang masa. □

Baca selengkapnya..

Minggu, 16 Maret 2008

Lomba Bayi Sehat dan Busana Santai

Dua hari terakhir ini saya dan Andi sibuk dengan Nada dan Ocha ikut lomba di RB Harapan Anda. Nada ikut lomba bayi sehat, sedangkan Ocha ikut lomba busana santai.
Rumah Bersalin Harapan Anda bekerjasama dengan Bebelac, salah satu merk susu bayi yang cukup besar konsumennya di Kota Pontianak.
Sabtu (15/3) Nada pagi-pagi sudah siap. Bundanya dengan penuh semangat menyiapkan segala sesuatunya.
Pukul 08.00 kami berangkat dengan Avanza menuju RBHA yang berjarak sekitar 8 km dari rumah. Di sana sudah penuh dengan keluarga yang anak-anaknya juga ikut lomba.
Saya hanya bisa mengantar karena pagi ini saya menjadi pemateri diklat jurnalistik yang digelar rekan-rekan mahasiswa dari FKIP Untan.
Saya tiba di Gedung Anex tepat pukul 08.20. Di ruang dalam Dekan FKIP Dr Aswandi sudah membuka kegiatan. Dan ketika saya memasuki ruangan, Beliau menyempatkan jeda untuk memberikan kalimat penyambutan. "Selamat datang Pak Nur dari Borneo Tribune..."
Saya respek dengan gerakan tangan ke alis dan jari-jari rapat seperti gaya hormatnya polisi atau tentara.
Dekan Aswandi bicara panjang lebar soal kepenulisan. Katanya, menulis membuat kita tambah cerdas. Menulis adalah untuk menyampaikan kebenaran.
Seusai pembukaan, saya menyajikan materi pertama soal motivasi menulis. Dan dar der dor, 1,5 jam waktu berlalu. Di belakang saya sudah ada Tanto Yakobus yang siap memberikan materi selanjutnya. Tanto juga redaktur di Borneo Tribune.
Saya bergegas ke RBHA. Tak pikir kegiatannya sudah selesai, tapi ternyata belum. Dan namanya juga lomba untuk balita, bukan peserta yang repot, tapi bapak-ibunya. Ha ha ha. Termasuk saya tentunya.
Kesibukan itu kembali berulang di hari Minggu (16/3) di mana pagi-pagi Ocha sudah siap go untuk lomba. Dia PD untuk berjalan di atas catwalk. Mungkin karena di TK-nya saat Hari Kartini dia keluar sebagai juara, maka dia oke oke saja.
Ada rasa gembira melihat orang-orang tua bersemangat memotivasi anak-anaknya untuk belajar. Di hati saya pun berdoa, semoga anak-anak ini semua dapat tumbuh menjadi generasi muda yang baik, yang mampu membawa warna cemerlang bagi daerah, bangsa dan negara. Semoga.

Baca selengkapnya..

Ketahanan Budaya, Bagian dari Visi Cornelis--Jangan Dikira Saya Anti Islam

Tak banyak perubahan yang berarti pada kantor orang nomor satu di Kalbar ini setelah 14 Januari kemarin dilantik sebagai Gubernur, kecuali di depan Balai Petitih sudah tak ada sofa dan artefak foto serta lemari pajangan. Loby dibiarkan kosong untuk—mungkin—kelak ditata kembali.
Ruai Telabang di depan ruang kerja Gubernur Kalbar di lantai dua, tetap seperti yang dulu ketika Pemprov dipimpin Gubernur H Usman Ja’far, kecuali sofa ditarik ke arah dinding sehingga tetamu mudah melihat ke kaca Jalan Raya Ahmad Yani. Selain itu juga tidak terlalu dekat dengan ruang tunggu bagian dalam yang terdiri dari beberapa set sofa luks.
Jadwal kunjungan silaturahmi dinyatakan diterima oleh Pemprov Kalbar untuk MABM pada Kamis (28/2) siang. Tepat pukul 10.00 pengurus MABM Kalbar di bawah kepemimpinan Ketua Umum H Abang Imien Taha sudah berkumpul di Rumah Melayu kawasan Jalan Sutan Syahrir, Kota Baru.
Pukul 11.00 WIB rombongan dengan dua kendaraan roda empat telah tiba di Kantor Gubernur.
Saat rombongan MABM tiba di ruang tunggu sudah ada cukup banyak tamu. Selain di ruang tunggu utama, juga di deretan kursi dinding kaca banyak tamu dari berbagai unsur. Tampak pula di deretan tamu untuk menunggu Bupati Landak, Adrianus Asia Sidot dan Kardjono.
“Sebentar ya Pak di dalam lagi ada meeting,” ungkap staf Gubernur, Fahmi.
Rusman Namsuri, Sekum MABM yang melaporkan kedatangan tabik-tabik mengikuti prosedur. Tetamu kemudian menunggu.
Sekitar 20 menit, pintu lebar ruang kerja Gubernur terbuka. Tampak melangkah keluar Kepala Bappeda Kalbar Ir H Fathan A Rasyid, M.Agr beserta stafnya Karsono. Di belakangnya ada Cornelis dan Christiandy.
Cornelis menebar senyum kepada para tamu yang memberikan rasa hormat. Pria bersafari warna kuning khas baju PNS ditambah emblem eksekutif nomor satu di saku yang menggantung laksana buah jengkol, Cornelis menyalami satu persatu dengan akrab. “Siapa tamu yang terdaftar dulu?”
“MABM Pak,” kata stafnya.
“Ya memang harus antre ya bapak-bapak, MABM dulu. Kan MABM yang terdaftar. Yang tidak terdaftar harap antre agar semua kebagian,” ujarnya dengan suaranya yang khas. Cornelis masih tetap berdiri di antara tetamunya seraya mencandai Zulfidar, anggota PDIP yang santer ingin maju jadi Walikota. “Mane kau Zul, udah jadi Gubernur aku baru kau ke sini,” sapanya bercanda. Yang lain yang mendengarkan pun meledak tawanya. Zulfi sendiri keki. “Anu Pak, anu....” katanya cari alasan.
Dalam keceriaan siang itu pengurus MABM memasuki ruangan kerja Cornelis. Cornelis sendiri minta izin menyalakan rokoknya. “Maaf ya Pak, saya boleh merokok?” tanyanya. “Boleh, boleh. Cuma rokok saya ketinggalan. Pikir di sini dilarang merokok,” kata Imien Taha gembira karena Cornelis tak terlalu protokoler.
Imien Taha kemudian mengatakan bahwa MABM sengaja bersilaturahmi dalam rangka melaporkan hasil Mubes MABM dengan terbentuknya kepengurusan baru di mana Imien terpilih sebagai pemimpin untuk periode yang kedua. Imien juga mengucapkan selamat atas terpilihnya Cornelis sebagai Gubernur Kalbar dalam keadaan yang aman dan kondusif.
Imien tak lupa memperkenalkan 13 orang pendamping yang datang bersamanya. Dimulai dari Ali Kadir, Rusman Namsuri, Azhari Abdullah, Mustafa, Mirza Moein Idris, Farid Panji Anom, Rudyzar, Zulfidar, dan lain-lain.
Di tengah pembicaraannya, Imien memberikan buku program kerja yang prioritasnya meningkatkan SDM dan kesejahteraan serta rencana Festival Budaya Melayu yang bakal dihelat pada Bulan Juli di Kota Sanggau.
Menerima penjelasan itu, Cornelis mengatakan, soal adat dan budaya sudah menjadi bagian dari visi-misinya. “Bapak jangan kuatir, ketahanan budaya menjadi perhatian pemerintahan kita,” ungkapnya.
Cornelis mengatakan, budaya bangsa adalah puncak-puncak kearifan yang pernah kita capai sebagai Bangsa. Hanya saja, sempat dalam kurun waktu Orde Baru, kebudayaan diseragamkan sehingga ada diskriminasi. “Kita di Kalbar tertekan. Dan kini saatnya kita bangun ketahan budaya dengan menggali nilai-nilai luhur untuk diwariskan kepada generasi muda dan menjualnya untuk pariwisata secara arif, adil dan bijaksana,” ungkapnya.
Cornelis mengatakan, untuk membangun Kalbar tidak bisa hanya satu adat dan budaya saja, melainkan harus bersama-sama karena Kalbar multi etnis, multi agama dan multi kultural. “Kita harus bisa belajar dari Malaysia di mana mereka juga ada Dayak, Melayu dan China, tetapi karena mereka bersatu, kompak, maka mereka bisa maju. Saya banyak belajar dari sana. Termasuk untuk Pilkada kemarin. Karena menurut Quran, Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak mau merubahnya,” ungkapnya.
Cornelis mengatakan, dasar negara Malaysia adalah Islam, tetapi mereka moderat. “Dimulai dari hati nurani. Dimulai dari diri kita sendiri. Kerja keras. Berusaha. Sebab Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu sendiri tidak mau merubahnya,” ungkapnya.
Mantan Bupati Landak ini mengakui kalau dia pertama mengaktivasi etnis, tetapi setelah terpilih dia menjadi milik semua golongan dan semua mendapatkan perlindungan. “Saya dikira anti Islam, tidak. Saya tidak anti Islam, bahkan masjid, gereja, kelenteng saya katakan silahkan dibangun di Landak saat saya jadi Bupati dan tidak perlu minta izin. Cuma saya marah jika rumah ibadah dibangun, tapi tidak dipakai,” ungkapnya.
Dengan santai dan dialogis, Cornelis mengatakan di suatu desa pemeluk Islam hanya 7 orang dan saat dia mengakhiri jabatan sebagai Bupati Landak jumlahnya sudah 40 orang. “Semuanya aman. Masjid bisa dibangun,” kata dia.
Disimpulkan Cornelis, hubungan kerjasama antara Dayak, Melayu, China sudah berlangsung berabad-abad yang lampau. Banyak Islam di pedalaman yang sudah tumbuh berabad-abad yang lampau. Begitupula orang Tionghoa, sampai ke ulu-ulu sungai pun ada. “Jangan kita mau dipecah-belah sebagai warisan dari penjajah Belanda,” tegasnya.
“Sekaranglah saatnya kita bersatu. Saye nih dibesarkan di tengah masyarakat Melayu. 12 tahun di Ketapang dan seterusnya di Kota Pontianak. Kiri-kanan saye orang Melayu bah,” kata dia membuat semua yang hadir tersenyum. Cornelis bahkan fasih menyebut Allah Subhanahu Wata’ala. Dan itu diungkapkannya berkali-kali sehingga yang hadir haru campur geli. “Tapi inilah saye. Kite di sini same-samelah membangun. Nak kemane agik bah,” tuturnya dengan aksen Pontianak.
Cornelis mengajak menjadikan budaya sebagai identitas dengan dipelihara serta diambil nilai-nilai positifnya. “Kita harus mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Jangan bertikai, sudah bukan zamannya lagi. Sekarang saatnya kita membangun secara bersama-sama. Saling bergandengan tangan dengan mesra antara Melayu, Dayak, Tionghoa dan suku-suku lainnya. Kita dituntut kerja yang profesional,” imbuhnya.
Banyak topik yang dibahas dalam pertemuan ini menyoal adat, budaya dan sejarah. Satu jam waktu berlalu. Tanpa terasa azan zuhur pun berkumandang. Cornelis diam sesaat memberikan rasa hormat. Tak lama kemudian, acara dipungkasi dengan foto bersama. Keakraban yang lengkap. Ada puak Melayu, Gubernur yang Dayak dan Wagub yang Tionghoa. “Kita lanjutkan hasil positif dari Pak Usman Ja’far yakni harmonis dalam etnis,” sambung Cornelis seraya mengantar tamu keluar, sedangkan rombongan tetamu lainnya menyusul antre untuk masuk. Cornelis sungguh sudah sangat sibuk. ■

Baca selengkapnya..

Hasil Perenungan Guru Yang Khui--Menyoal Permohonan Maaf Itu

Langka warga Kota Pontianak yang berpikir intens dan mendalam tentang bunyi kalimat permohonan maaf yang dilakukan pada tanggal 7 Desember sebagai menyikapi kasus Gang 17 lebih dari Chua Yang Khui atau Rusli Agus. Pria bersahaja yang prilakunya mirip “suhu” atau guru yang nyaris seperti para sufi ini terus berupaya menguak kebenaran.
Betapa pria “tua” berjiwa muda ini tidak tergolong guru. Dia kadang berjalan kaki seperti orang miskin yang tak punya apa-apa. Tapi sekali waktu dia menyetir sendiri mobil mewahnya.
Jika kita berpapasan dengannya di jalan, dan hendak memboncengnya, jangan harap dia mau. Dia tipikal orang yang tak mau dikasihani. Dia ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa manusia siapa pun dia, bisa mandiri.
Dia pernah membawa sekelompok preman yang digerakkan kelompok-kelompok tertentu membuat huru-hara di Kota Pontianak dengan gayanya sendiri. Tujuannya adalah membuka cakrawala dan memilih jalan hidup damai karena itu lebih masuk akal.
“Kamu kalau membunuh istrimu sendiri karena menuduh dia selingkuh adalah salah besar! Kalau tak suka ya ceraikan saja dan kamu bisa cari istri baru yang setia. Kalau kamu bunuh, kamu akan masuk penjara lebih dari 5 tahun. Kamu menderita, anak-anak kamu terlantar, betul tidak?” wejangnya kepada si preman dan membuat si preman sadar.
Ketika reformasi bergulir, terjadi huru-hara di mana-mana. Gudang-gudang di Siantan dijarah. Terutama beras.
Ketika sekelompok preman dibayar untuk membuat huru-hara, pengusaha di Pasar Tengah ini membawa kawanan tersebut ke Hotel Kapuas Palace. Di sana dia mentraktir makan besar. Setelah perut kenyang dia bertanya, “Makanannya enak?”
“Enak.”
“Kalau begitu ayo kita ke dapur melihat orang masak.”
Chua Yang Khui membawa melihat-lihat ke dapur hotel berbintang itu. Terlihatlah di sana bahwa yang memasak adalah orang Melayu dan Madura. Mereka orang Islam.
Tiba saat hendak pipis, kawanan preman juga tak bisa menggunakan keran otomatis. Wastafel juga tak dikenal untuk difungsikan.
Chua Yang Khui dengan anteng menjelaskan tata cara menggunakan fasilitas modern tersebut. Ia mengajarkan bagaimana mencuci tangan dengan mengeringkan lengan bersama blower.
Tak hanya mengajak makan di Kapuas Palace. Chua Yang Khui membawa keliling kota. Setelah perut kosong, dia ajak makan di Galaherang dan kemudian juga ke Resto di Kakap. Dengan menyantap makan yang wah, lagi-lagi dilihatkan siapakah yang telah memasak selezat itu? Jawabannya orang Islam.
Dalam perjalanan pulang, Chua Yang Khui berkata, “Maukah kalian membakar tempat-tempat seperti itu?”
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Yang bekerja orang Islam. Kalau buat huru-hara, tak akan bisa makan dan orang-orang kehilangan lapangan pekerjaan.”
Begitulah Chua Yang Khui mendidik warga di lingkungannya, Pasar Tengah. Pasar Tengah adalah pasar paling primitif di Kota Pontianak yang gemuk dengan pola premanisme dan skala kecil sering diberitakan kasus jambret, maling seperti dimuat di media-media berbasil liputan kriminal.
Chua Yang Khui mengaku tidak punya kantor. Ia menggunakan fasilitas umum seperti rumah makan. “Kalau kita bangun rumah makan, mahal biayanya. Tapi kalau kita berkantor dengan mengurusi bisnis dari sini, sudah lengkap fasilitasnya. Betul tidak?” kata Chua Yang Khui kepada saya. Saya seraya senyum membenarkan.
“Kalau saya buat media tentu mahal. Tapi dengan berteman dengan media, kan murah,” katanya. Saya setuju dan menangkap ilmu kedua: pertemanan melahirkan efektifitas dan efisiensi. Sangkil dan mangkus.
Kepada anak sendiri, Chua Yang Khui juga tak pilih kasih. Kepada saya dia menceritakan bagaimana di masa kecil anaknya berurusan dengan polisi dan dibiarkan ditahan.
Apa pasal? Cerita dimulai dengan perintah Chua Yang Khui kepada dua putranya untuk membawa masuk ke dalam rumah kendaraan bermotor roda dua miliknya. Tetapi dasar anak-anak remaja di masa 30-40 tahun yang lalu. Bukan sekedar didorong, tapi kedua anak ini mengendarai motor tersebut, padahal mereka tak punya surat izin mengemudi (SIM).
Nasib buruk datang menimpa pada hari itu. Keduanya kena tilang polantas. Dan ketika polisi datang ke kediamannya mengatakan bahwa kedua putra Chua Yang Khui ditahan karena tak punya SIM, dia mengatakan, “Sudah saya katakan bahwa motor itu diseret masuk ke dalam rumah, bukan dikendarai. Nah, karena mereka menyalahi perintah papanya, ya mereka harus bertanggungjawab sendiri.”
Kedua anaknya terpaksa patungan uang receh. Polisi pun iba.
“Mereka berdikari menyelesaikan masalah tanpa bergantung di bahu ayahnya,” katanya.
Kemandirian itu menjadi pendidikan dasar anak-anak Chua Yang Khui. Dan kini anaknya telah bekerja di Negeri Paman Sam, Amerika.
Nafsu mengajar Chua Yang Khui juga menjalar hingga ke kasus Gang 17. Dia menyurati banyak pihak seperti Kapolda Kalbar prihal pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan (4 Januari 2008), dia juga berkonsultasi kepada akademisi, pakar hukum, dan sejumlah tokoh masyarakat untuk menyelesaikan kasus itu secara paripurna. “Permohonan maaf yang dilakukan itu keliru,” katanya. “Harus diralat!” sambungnya.
Surat kepada Kapolda yang ditulisnya pada 4 Januari mengatakan bahwa iklan permohonan maaf yang dimuat media-media lokal Kalbar memakai “atas nama warga Tionghoa” berbuat tidak benar atau seluruh orang Tionghoa melakukan perbuatan tercela. “Atas iklan tersebut saya selaku orang Tionghoa merasa sangat malu dan menjadi tidak enak. Berdasarkan hal tersebut saya duga perbuatan Saudara Lie Khie Leng dkk tersebut dapat dikategorikan perbuatan pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur pasal 310-315 KUHP dan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 KUHP.”
Kepada Kapolda, Chua Yang Khui berharap para tokoh tersebut dipanggil dan diperiksa karena telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat Tionghoa supaya bisa kembali hidup tenang sebagaimana layaknya WNI.
Maunya Chua Yang Khui permohonan maaf itu tidak atas nama warga Tionghoa karena tidak semua warga Tionghoa bersalah. Mestinya minta maaf atas nama Iksan, sosok yang menjadi lingkar pertama kasus Gang 17. Begitupula bukan mohon maaf kepada warga yang terganggu—yang dimaksudkan adalah Melayu atau Islam—tetapi kepada Syarif Mochtar—karena dia di lingkaran pertama kasus tersebut.
Jika permohonan maaf dilakukan secara general, maka menjadi preseden buruk yang tak berkesudahan. “Apakah kalau ada kasus kriminal seperti itu terulang lagi akan ditempuh cara penyelesaian permohonan maaf seperti ini lagi?”
Tak cukup sampai di sini, Chua Yang Khui juga menyurati Lie Khie Leng yang menjadi pimpinan Yayasan Bhakti Suci. Tapi sampai saat ini suratnya belum dibalas.
“Tujuan saya tiada lain, bahwa semua kita WNI yang punya hak dan kewajiban sama,” katanya.
Untuk itu, mesti ada kebersamaan yang dibangun dengan landasan yang benar, sehingga partisipasi bisa menyeluruh. Mulai dari ekonomi, sosial hingga ke pentas politik.
Chua Yang Khui meminta iklan yang pernah dimuat itu diralat. Itu saja.
Ralat iklan itu akan berdampak besar bagi eksistensi penduduk Kota Pontianak pada khususnya dan Kalbar pada umumnya. Ini hasil perenungan “guru” Yang Khui. ■

Baca selengkapnya..

Publik Service Program Magang Media

Belajar adalah suatu proses. Proses belajar itu tak kenal kata berhenti. Karena tak kenal kata berhenti, dia terus berputar mengikuti arus siang dan malam hingga hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Untuk itulah belajar dan kehidupan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Kita berhenti belajar, hanya ketika kita sudah berpisah dengan kehidupan. Dengan kata lain kita sudah wafat.
Karena hidup itu indah, maka sesungguhnya belajar juga adalah suatu proses yang indah. Kami di Borneo Tribune merasakannya. Merasakan bagaimana proses interaksi itu saling mengisi.
Kami di Borneo Tribune memang menyediakan diri sebagai media pendidikan. Komitmen kami komitmen belajar.
Salah satu proses belajar yang tiada henti itu berupa program magang di Harian Borneo Tribune. Kami membukanya kepada publik. Kami istilahkan dengan menjadikan publik service untuk program magang media.
Peserta magangnya datang dari berbagai unsur, terutama pemuda yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa.
Saat ini kami sedang melayani program magang selama dua bulan untuk 4 mahasiswa dari Kampus STAIN, 50 dari Lisma Untan dan 5 perwakilan remaja masjid se-Kota Pontianak serta 5 dari Kota Singkawang. Matrik magang di Borneo Tribune disiapkan secara sistematis, sehingga peserta magang mengetahui dasar-dasar dibangunnya media ini sebagai salah satu pilar demokrasi di Kalbar, proses produksi, hingga tentu saja ujung tombaknya ilmu jurnalistik atau ilmu kepenulisan.
Menulis adalah satu keterampilan yang gampang-gampang susah. Bagi yang sudah menemukan ruhnya, maka mudah saja menggerakkan penanya buat menulis. Begitupula bagi yang sudah menemukan “soulnya” dapat menuangkan segala gagasannya dengan tulisan yang bergaya.
Bagi yang merasakan menulis itu susah, perlu iklim yang kondusif agar talenta mereka dapat terasah. Metode mengasahnya dengan knowledge-share, atau bagi-bagi pengetahuan ala kampus jurnalistik Borneo Tribune—Tribune Institute.
Bukankah sekeras-kerasnya batu, jika ditetesi air secara terus menerus, akhirnya berlubang juga? Bukankah sekeras-kerasnya besi, jika telaten ditempa, akhirnya tajam juga?
Belajar di Borneo Tribune menerapkan sistem belajar yang menyenangkan. “Di sini senang di sana senang...di mana-mana hatiku senang.” Begitu kutipan lagu yang diajarkan kepada kita sejak pendidikan taman kanak-kanak dahulu.
Dengan hati senang, perasaan jadi lapang. Dengan hati lapang, pikiran jadi tenang. Nah dalam keadaan tenang karya-karya terbaik akan dapat dilahirkan.
Kesenangan, keceriaan, kebersamaan itu diwujudkan dengan pola belajar orang dewasa. Bahwa apa yang dilakukan, apa yang dipikirkan, semua dalam pola tindak-tanduk logika.
Orang dewasa adalah orang yang mampu berpikir logis. Tindak-tanduknya dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan kita berpikir, kita dapat memilah dan memilih mana yang terbaik. Dapat membedakan mana yang benar, mana yang salah.
Begitupula dengan hasil magang di media. Pengetahuan tentang media, kelak akan digunakan untuk apa, kembali kepada diri peserta.
Media, saat ini sangat mudah mendirikannya. Jika tidak dalam bentuk investasi yang besar, bisa dalam bentuk murah-meriah. Sebutlah dalam bentuk dunia maya seperti blog, wordpress, multiply, friendster dll. Tak kalah pentingnya media private seperti diary atau buku harian. Magang di Borneo Tribune, kesemua itu diajarkan.
Banyak penulis-penulis utama dunia memulai kemampuan menulisnya dari koran. Dan kelak akan muncul penulis-penulis andal berawal dari magang di media seperti yang dilakukan Tribune.
Hasil magang ini kelak akan membuktikan kredo, many a great man start a newspaper boy. Banyak orang sukses yang masa kecilnya dimulai dari suratkabar. ■

Baca selengkapnya..

Kunjungan 120 Pelajar SMPN 1 Teriak-Bengkayang

Sangat kuat motivasi Guru Evi untuk membawa murid-muridnya ke Harian Borneo Tribune sehingga tali koordinasi dijaganya dengan baik untuk tidak terputus sejak sebulan yang lalu.
Bu Guru Evi tipikal guru yang baik. Ia mau murid-muridnya maju, punya wawasan luas, dan tentu saja—punya motivasi untuk menulis.
Guru Bahasa Inggris ini pertama kali mengenal Borneo Tribune dan Tribune Institute dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh YPPN di Kota Pontianak. Karena tertarik dengan histori, filosofi dan proses produksi Borneo Tribune, dia memberanikan diri untuk bertanya soal bagaimana caranya menjalin kerjasama dengan Borneo Tribune dan Tribune Institute.
Pembicaraan lisan pun segera disusul surat resmi dari SMPN 1 Teriak yang berada di Kabupaten Bengkayang. Dia katakan semula murid-muridnya yang akan datang sebanyak 80 orang, tetapi pada akhirnya terdata 120 orang. “Mereka sangat antusias,” ungkapnya.
Kehadiran para pelajar disertai Dewan Guru dengan pimpinan Kepala Sekolah Sardjio dimulai dari Gedung Museum Negeri Pontianak.
Seusai belajar tentang peninggalan arkeologis di Kalbar seperti alat-alat tradisional etnis Melayu, Dayak dan China, mereka disambut Pemimpin Redaksi Borneo Tribune, Nur Iskandar.
Di plaza Museum yang lapang tersebut pelajar berbaris rapi dan mendapatkan pengarahan tentang apa dan bagaimana Borneo Tribune. Digambarkan pula tata ruang dan jalan menuju Borneo Tribune.
Pelajar mendengarkan dengan penuh perhatian.
Sesekali mereka mengangguk pertanda informasi yang disampaikan dapat di-save oleh microchip super computer di dalam otak mereka; sesekali pula mereka menyahut memberikan applaus dengan meriah; dan tanpa dikomando mereka bergemuruh penuh tawa lantaran humor-humor segar yang dilempar.
Nur Iskandar misalnya mengatakan bahwa sejak Borneo Tribune berdiri 19 Mei 2007 sudah diiringi kesadaran akan pentingnya lembaga pendidikan yang bisa meningkatkan mutu SDM, bernama Tribune Institute. Tribune Institute adalah lembaga pendidikan jurnalistik yang para pengampu pelajarannya siap berbagi ilmu, pengalaman dan keterampilan secara gratis. Sesuatu yang tak pernah didapatkan warga Kalbar sebelum Borneo Tribune berdiri. Tak pelak, plak-plak-plak, tepuk tangan menyeruak.
Mendapatkan respon seperti itu, Nuris—sapaan Nur Iskandar kembali melempar jokes. Katanya, “Soal ‘teriak’ SMP 1 Teriak nomor satu!” Dan lagi-lagi tepuk gemuruh mengembang karena pelajar sadar kata “teriak” dengan daerah mereka “Teriak”—senada.
Soal nomor satu, siapa yang tak suka dinilai nomor satu....
Terlebih dikatakan bahwa sejak 9 bulan yang lalu Borneo Tribune sudah menjadi persinggahan tamu dari Manca Negara seperti Eropa dan Amerika. “Tapi kami tidak bangga dengan hal itu. Jumlah tamu yang terbesar bertandang ke Borneo Tribune adalah dari SMPN 1 Teriak yang mencapai 120 orang!”
Lagi-lagi tepuk meriah bergemuruh.
Nuris kembali ber-yel-yel, “Soal teriak, SMPN 1 teriak nomor....?”
“Satuuuuu,” jawab pelajar koor.
Seusai koor, semua tertawa lepas dan berangkat naik bus masing-masing menuju Tribune.
Sepanjang jalan semua tertib dalam kegembiraan.
Setibanya di “Poernama 02”, semua menikmati “Dapur Redaksi” Tribune dengan pertemuan non formal terhadap para wartawan, redaktur, serta fotografer.
Pelajar melihat dan bertanya-jawab secara langsung seputar reportase, editing, hingga printing. Mereka juga terkesima dengan akses internet yang membawa netters melanglang-buana hingga ke mana saja. Manca negara? Gampang, tinggal klik.
Massa pelajar dan dewan guru juga melihat mesin cetak di lantai dasar Borneo Tribune.
Empat bus yang masuk Purnama tentu saja menarik perhatian warga. “Kami kira ada demo, rupanya kunjungan pelajar,” kata warga Purnama bangga.
Memang kebanggaan bersama kami persembahkan buat warga Kalbar. Toh Borneo Tribune juga milik “orang Kalbar”.
Bersama kita bangga. Kebanggan itu milik bersama. Bersama kita bisa. Tapi kerja belum selesai, belum berarti apa-apa.
Kita semua mesti bekerja dan berkarya.
Nun jauh di sana, para pelajar pun mesti mulai menuliskan pengalamannya. Tugas Bu Evi pula untuk terus keep in touch agar karya-karya tulis pelajar itu senantiasa hadir dan mengalir. Borneo Tribune menjadi medianya. Sure. Kecil telapak tangan nyiru kami tadahkan. ■

Baca selengkapnya..

“Journalism Internship Programe”

Belajar merupakan proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dan prosesnya tiada mengenal kata berhenti. Para leluhur mengatakannya dengan long life education.
Belajar sepanjang hayat masih di kandung badan. Belajar sejak buaian hingga ke liang lahat.
Sadar akan proses belajar itu panjang, menyentuh semua elemen masyarakat dan lingkungannya—baik yang biotik maupun yang abiotik—Borneo Tribune melekatkan dasar bangunannya sebagai koran pendidikan. Untuk itu para crew di dalamnya mesti punya visi-misi pendidikan dan semua personil membuka diri untuk proses saling belajar.
Komitmen saling belajar ini terus menjalar. Baik untuk pendidikan formal, semi formal maupun non formal.
Untuk yang formal semua crew didorong untuk mendapatkan beasiswa belajar. Tidak hanya di dalam, tapi juga luar negeri.
Safitri Rayuni, salah satu redaktur di Borneo Tribune mengikuti shortcourse di Negeri Kangguru, dan kini Asriyadi Alexander Mering mengikutinya di Negeri Gajah Putih, Thailand.
Liputan dan informasi yang dituangkan lewat pemberitaan di Borneo Tribune juga bagian dari informasi yang edukatif. Proses belajar didapatkan seluruh crew di lapangan, didiskusikan di dapur redaksi, dimasak, dan kemudian dihidangkan kepada publik.
Dalam proses meliput itu, crew Tribune mendapat banyak unsur edukasi.
Begitupula tempaan di lapangan yang keras menjadikan pola pikir, tindak dan prilaku lebih arif, adil dan bijaksana.
Sebutlah kemampuan menembus sumber. Hal itu menuntut keuletan, keteguhan dan kesabaran. Sementara proses wawancara dengan narasumber yang qualifide di bidangnya memberikan kesempatan bagi brain reporter yang bersangkutan untuk dapat memahami suatu masalah dengan baik. Proses ini jika harus dibayar—barangkali—setara dengan strata dua atau strata tiga.
Semakin banyak proses wawancara dilakukan, akan semakin dalam suatu hal dikuasai secara skill maupun secara psikologis.
Skill atau keterampilan mengasah talenta. Psikologis mengasah asa dan rasa.
Tak jarang reporter dikenal tahu banyak tentang banyak. Ia menjadi sosok yang generalis. Kondisi itu patut disyukuri daripada tahu sedikit tentang banyak. Hal yang terakhir ini bisa terjebak pada tong kosong nyaring bunyinya.
Oleh karena itu, opsi yang lebih baik—mungkin—tahu banyak tentang sedikit. Di sini kedudukan para profesional. Mereka ahli atau pakar di bidangnya.
Awak Borneo Tribune yang terlatih tak jarang mendapatkan undangan untuk memberikan pelatihan-pelatihan jurnalistik. Baik yang digelar di Kota Pontianak, maupun Kalbar atau luar Kalbar. Untuk undangan-undangan seperti ini hampir semuanya dapat dipenuhi dengan berbagi tugas di dapur redaksi dengan sebaik-baiknya.
Borneo Tribune bahkan mendirikan lembaga bernama Tribune Institute untuk melayani proses edukasi di bidang jurnalistik. Khususnya bagi kalangan pelajar dan mahasiswa.
Tribune Institute yang berdiri seumur dengan Harian Borneo Tribune membuka kelas belajar yang gradual. Tiga bulan terakhir dihelat paket journalism internship programe. Program ini sangat diminati oleh pelajar dan mahasiswa.
Saat ini sedang berjalan program tersebut untuk paket yang kedua. Pesertanya 50 orang. Mereka belajar di “Kampus Jurnalistik” Borneo Tribune untuk waktu dua bulan ke depan.
Lewat kelas belajar tersebut terjadi proses edukasi yang dialogis. Sisi-sisi positifnya bisa dipetik secara bersama-sama. Di mana peserta didik dapat skill kepenulisan dan kewartawanan, sedangkan awak Borneo Tribune dapat meluaskan jejaring informasinya.
Pada akhirnya, dengan banyak orang belajar menulis, semakin banyak pula orang pintar menulis. Publik akan disuguhkan beragam informasi yang edukatif.
Pelan namun pasti, masyarakat kita step by step, langkah demi langkah akan menjadi masayarakat pembelajar. Kian lama semakin membesar. Long life education. □

Baca selengkapnya..

Membangun Minat Baca-Tulis Sejak Usia Dini

Pembeda antara masa sejarah dengan prasejarah adalah tulisan. Tulisan sekaligus membedakan budaya lisan yang umumnya masuk dalam kategori bertutur, bercerita, dan dalam kehidupan sehari-hari boleh jadi ngerumpi.
Budaya yang kita jalani sekarang ini justru bergerak cepat, yakni budaya teknologi. Sedangkan teknologi bisa menyebar dengan super cepat akibat pesatnya budaya tulis dan baca.
Ilmu pengetahuan, jika kita ikuti dari penemuan-penemuan spektakuler dunia didominasi oleh negara-negara tertentu seperti Eropa, Amerika dan Timur Tengah. Hal tersebut bisa terjadi karena budaya tulis dan baca mereka sudah sangat tinggi.
Jerman, salah satu negara yang produktif menghasilkan penemu-penemu besar tak lepas dari budaya baca-tulis yang mengakar kuat di tengah masyarakatnya.
Ketika freelancer Borneo Tribune yang menetap di Jerman bertandang ke Kalbar, Yanti Mirdayanti menceritakan, bahwa di rumah-rumah warga Jerman, perpustakaan keluarga sudah menjadi adat hidup. “Di ruang-ruang tamu, etalase buku sudah lumrah. Bahkan hampir dapat dipastikan setiap rumah orang Jerman ada rak-rak bukunya,” ungkapnya.
Budaya lisan di Jerman menurut Yanti Mirdayanti memang rendah. Yang tinggi di mereka adalah budaya baca. Dampak dari membaca, mereka menulis.
Harian Borneo Tribune menyadari bahwa eksistensi masyarakat Kalbar dengan budaya tulis baca masih belum sebanding dengan Jerman atau negara-negara maju di Eropa. Dampaknya juga terlihat, bahwa belum ada penemuan-penemuan besar yang lahir dari Kalbar.
Di Kalbar tentu belum ada yang setara dengan Thomas Alfa Edison yang penemu lampu pijar, atau apalagi Albert Einstein yang penemu rumus nuklir atau bom atom—melalui hukum relativitasnya itu.
Namun semangat belajar kita yang sudah berada di alam melek teknologi juga tidak boleh rendah dari negara-negara maju. Jika kita tetap seperti katak di dalam tempurung, tak bakal Kalbar mampu melepaskan diri dari ketergantungan di berbagai bidang karena sesungguhnya kemajuan bermula dari ide atau pemikiran.
Ide dan pemikiran bisa tumbuh dan berkembang dengan tulisan. Jika ia ditulis, maka bisa dikembang-biakkan dengan munculnya tanggapan, ulasan, penyempurnaan.
Sadar akan kondisi tersebut Borneo Tribune membentuk jalinan kerjasama dengan berbagai pihak untuk mampu mewujudkan pembinaan baca-tulis sejak dini. Oleh karena itu dilakukan berbagai kegiatan yang mendukung ke arah tersebut.
Selain melakukan berbagai aktivitas melalui kegiatan diskusi, pelatihan-pelatihan kepenulisan di kalangan pelajar dan mahasiswa, Borneo Tribune beserta Tribune Institute-nya, kini menjalin kerjasama dengan Manajemen Gadjahmada Hotel untuk menggelar lomba kepenulisan di kalangan anak usia dini.
Kami menggelar lomba kepenulisan untuk 100 anak di tingkat Sekolah Dasar. Untuk Kota Pontianak dan sekitarnya.
Kegiatan lomba ini akan berlangsung di minggu ketiga Bulan Maret 2008.
Kepada para pihak yang ingin ikut terlibat dalam gerakan semangat baca dan tulis untuk pembinaan anak sejak usia dini, kami membuka pintu yang selebar-lebarnya. Sebab semakin banyak pihak yang terlibat, maka akan semakin sempurna kegiatan-kegiatan seperti ini. □

Baca selengkapnya..

Partnership Menuju Kongres Kebudayaan

Partnership, friendship atau persahabatan mengandung arti yang dalam. Hidup memang tidak bisa sendiri. Di dalam hidup kita membutuhkan orang lain.
Kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa kenyataannya kita adalah makhluk sosial. Kita bukan makhluk super yang bisa mengatasi segala hajat hidup sendirian-wae. Kita makhluk homo sapiens, berakal, yang punya arti karena ada orang lain.
Hidup akan terasa indah dan nikmat jika kita bisa saling memberi dan menerima, bisa hidup dalam suka maupun duka, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Mengakui adanya kesetaraan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dilandasi oleh budi pekerti yang luhur, serta tulus.
Model interaksi sosial seperti di atas hanya bisa tumbuh dengan adanya kesadaran untuk berbagi. Kesadaran itu hanya bisa diperoleh dengan adanya keinginan belajar terhadap alam, membuka wawasan, serta mengakui bahwa pendidikan adalah adiluhung sangat penting.
Di dalam hari-hari aktivitasnya yang nyaris tiada henti, Borneo Tribune melayani dengan tangan terbuka setiap ajakan kerjasama. Apakah itu dari lembaga pemerintah, LSM, kampus, sekolah, hingga memenuhi undangan-undangan diskusi. Awak Borneo Tribune tidak hanya meliput, tapi juga tampil memberikan kontribusi pemikiran di dalamnya.
Kerjasama yang masuk ke Borneo Tribune sebagai sebuah koran lokal harian bagi kami adalah pengakuan eksistensi. Apalagi usia Borneo Tribune tergolong amat belia. Baru menginjakkan usianya yang ke-8 bulan.
Kendati demikian, tumpuan harapan yang disematkan ke pundak Borneo Tribune teramat sangat besarnya. Hal ini mau tidak mau harus membuat kami harus punya tenaga ekstra dalam partnership tersebut.
Asriyadi Alexander dan Stevanus Akim misalnya. Kedua redaktur Borneo Tribune ini harus punya tenaga ekstra demi memenuhi undangan sebuah sekolah negeri di Menjalin. Pekerjaan rutin di keredaksian harus dikerjakan secara total, pulang larut malam, tapi pagi hari sudah harus bertandang ke Menjalin yang jaraknya sekitar 90 Km dari Kota Pontianak. Pergi pagi pulang sore dan langsung masuk kantor lagi.
Apa yang dilakukan Asriyadi Alexander dan Stevanus Akim juga dilakukan para crew yang lain. Yusriadi harus bertandang ke Brunei untuk membentangkan makalahnya. Kabag Keuangan, Julianti dan Kabag Pracetak, Fakun misalnya, meski rela menyelesaikan tugas-tugas keseharian untuk juga dapat memenuhi undangan ke sejumlah tempat yang jauh seperti ke Kuching dan Singkawang.
Waktu-waktu libur pun kerap kali mesti dimanfaatkan secara optimal. Tujuannya tiada lain, menjalin partnership laiknya sahabat karib dengan stakeholder. Saling tolong-menolong dan bantu-membantu.
Bantuan yang bisa Borneo Tribune berikan tentu saja berkaitan dengan pemberitaan. Sedangkan dalam hal peningkatan mutu SDM bidang jurnalistik kami membuka kesempatan belajar secara gratis di Tribune Institute.
Kiprah yang dijalankan sejak Borneo Tribune terbit di 19 Mei 2007 lalu itu terus bergema. Tak urung Kepala Balai Kajian Sejarah Kalbar menggandeng Borneo Tribune plus sejumlah lembaga yang lain untuk melakukan pekerjaan yang lebih besar lagi, yakni Kongres Kebudayaan. Kongres Kebudayaan itu direncanakan pada Mei 2008.
Kita maklum bahwa di Mei, ada hari kebangkitan nasional dan ada hari pendidikan nasional. Antara keduanya menyiratkan seabad berdirinya lembaga pendidikan Boedi Oetomo.
Tujuan Kongres Kebudayaan se-Kalimantan tiada lain mengisi ruang kosong yang tidak diurusi banyak pihak. Pada sisi lain, sangat dalam nilai-nilai positif yang bisa dilahirkan dari kegiatan partnership tersebut. Baik dilihat dari pengembangan kapasitas (capacity building), maupun pembangunan karakter (character building).
Bagi Anda yang ingin terlibat, jangan ragu-ragu bergabunglah bersama kami. ■

Baca selengkapnya..

Dua Kandidat Doktor

Sebagai koran yang terbit harian dengan titik tumpu bidang pendidikan, semangat belajar tidak boleh lekang karena panas, dan tak boleh luntur karena hujan. Semangat belajar harus terus menggelora bagaikan dian yang tak kunjung padam.
Dian yang tak kunjung padam, atau pelita yang terus menyalakan cahayanya di tengah gelap gilitanya malam, memang merupakan lambang dari insan penerang, para jurnalis yang mengampu misi menyampaikan informasi, mendidik, menghibur, sekaligus memberikan peringatan—baik positif maupun negatif dengan mengikhtiarkan solusi alternatif.
Dalam menjalankan fungsi edukasi, terlebih koran pendidikan, belajar tidak hanya ke kampus, atau para intelektual. Tapi bisa ke mana saja dalam kehidupan ini. Life is campus. Kehidupan itu sendiri sesungguhnya adalah kampus yang menurut para ilmuan sosial, “Masyarakat adalah laboratorium yang paling lengkap atau sempurna.”
Pada sisi lain, belajar dari masyarakat sama dengan belajar dengan Tuhan. Demikian karena vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan.
Di pekan terakhir ini, Borneo Tribune mengirim delegasi belajar ke sejumlah daerah di Kalbar. Tujuan dan sasarannya adalah untuk belajar.
Tujuan pertama ke Kota Singkawang, Jumat (1/2). Kota yang menjadi tuan rumah bagi naga terbesar di Asia untuk tahun 2008 ini sangat istimewa. Kepala daerahnya berwajah oriental, dan baru terpilih di dalam perhelatan Pilkada medio Nopember tahun lalu. Pemimpin sukses di bidang advokat di Jakarta kelahiran Singkawang ini punya program aksi “Spektakuler” untuk membangun Kota Singkawang yang kaya akan panorama wisata. Hasan Karman didampingi wakilnya Edi R Yacoub hendak menjadikan Kota Singkawang sebagai kota wisata nomor dua di Indonesia setelah Bali.
Program wisata itu tentu saja baik dan patut didukung bersama-sama. Tidak hanya dari masyarakat, tapi juga stakeholder di seantero Kalbar.
Kami bertandang ke Pemkot Singkawang dan berdiskusi di ruang pertemuan Walikota. Kandidat doktor bidang manajemen lingkungan ini patut ditempatkan sebagai soko guru. Tutur katanya halus dan lembut, tatap matanya lembut, kebapakan. Untaian katanya tegas dan bernas.
Hasan Karman berpikiran sistematis dengan daya dukung pengetahuan sejarah yang luas. Dia juga sedang menulis buku yang serius tentang sejarah Tionghoa di Kalimantan Barat. Suatu upaya yang luar biasa energisitas-edukatifnya.
Hasan Karman yang bakal menggondol predikat doktor tidak sendiri. Selaku kepala daerah yang usianya belum seumur jagung ada pula teman stakeholdernya di kabupaten lain. Adrianus Asia Sidot yang juga baru dilantik dari Wakil Bupati menjadi Bupati Landak definitif adalah Mantan Kadis Pendidikan di Kabupaten Landak. Ia bakal menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Indonesia.
Tim Borneo Tribune berkunjung sekaligus belajar banyak dari figur yang low profile ini, Rabu (6/2) kemarin. Dalam banyak sisi, ia mirip Hasan Karman. Low profile. Tampil sederhana, apa adanya.
Kebersahajaan membawa keduanya menjadi sosok yang tampil penuh wibawa. Kesabaran membawa diri keduanya ke puncak karir dari top eksekutif.
Pengalaman belajar dari dua kandidat doktor di dua daerah pemerintahan Kalbar membuat Borneo Tribune yang juga baru tumbuh untuk terus bekerja secara ulet, belajar keras dengan tiada kata mengenal lelah, serta sabar. Sabar menurut Hasan Karman dan Adrianus adalah perkalian antara usaha, sikap positif dan linier dengan perjalanan waktu. Sabar adalah induk dari segala kesuksesan. “Dengan bersikap sabar, sama dengan separo masalah telah terselesaikan. Sikap kitalah penentu kesuksesan hidup kita, bukan uang.”
Lewat Poernama 02 ini kami haturkan ucapan terimakasih atas ilmu dan dedikasi yang dicontohkan Hasan Karman dan Adrianus. Kami juga berdoa semoga kedua figur muda pemimpin daerah ini dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik dan nilai tertinggi. Jujur, Kalbar membutuhkan dian yang tak kunjung padam. Kita semua membutuhkan gelora cahaya sebagai penerang di tengah kegelapan.■


Baca selengkapnya..