Minggu, 29 Juli 2007

Kalbar Perlu Rekomendasi Profesor

Oleh: Nur Iskandar

Tak sedikit lembaga penyedia beasiswa di dalam dan di luar negeri yang membutuhkan rekomendasi profesor atau guru besar agar mereka “terjamin” masuk dan aman. Aman maksudnya, masa studi akan ditempuh sesuai waktu—atau bahkan lebih cepat—karena didukung oleh profesor yang tentu saja sudah pengalaman melewati masa-masa belajar di kampus. Garansinya sekali lagi adalah sang profesor.
Profesor, guru besar, pakar, atau mereka yang ahli di bidangnya adalah orang-orang terpilih. Mereka sudah menginvestasikan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit.
Mengingat profesor adalah seseorang yang dikenal oleh publik ber-profesi sebagai pakar, guru senior, dosen dan atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga-lembaga-institusi pendidikan perguruan tinggi ataupun universitas, maka sebagai pakar, profesor umumnya memiliki empat kewajiban tambahan yang harus kita dudukkan secara proporsional. Terlebih untuk membangun Kalbar agar sejajar dengan daerah-daerah maju di segala penjuru dunia.
Pertama, profesor memberi kuliah dan memimpin seminar dalam bidang ilmu yang mereka kuasai baik dalam bidang ilmu murni, sastra, ataupun bidang-bidang yang diterapkan langsung seperti seni rancang (desain), musik, pengobatan, hukum, ataupun bisnis. Kedua, profesor melakukan penelitian dalam bidang ilmunya. Ketiga, pengabdian pada masyarakat, termasuk konsultatif (baik dalam bidang pemerintahan ataupun bidang-bidang lainnya secara non-profit). Keempat, melatih para akademisi muda/mahasiswa agar mampu membantu menjadi asisten atau bahkan menggantikannya kelak.
Keseimbangan dari empat fungsi ini sangat bergantung pada institusi, tempat (negara), dan waktu. Sebagai contoh, profesor yang mendedikasikan dirinya secara penuh pada penelitian dan ilmu pengetahuan di universitas-universitas di Amerika Serikat (dan universitas-universitas di negara Eropa) dipromosikan untuk mendapat penghargaan utamanya pada bidang ilmu dari subyek penelitiannya.
Universitras Tanjungpura yang berdiri sejak 1959 sudah tergolong kaya akan guru besar, pakar, atau mereka yang ahli di bidangnya. Mereka tentulah punya kapasitas untuk menyelesaikan sangat banyak masalah yang sedang dihadapi daerah Kalbar sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Etape” yang sulit dalam kehidupan mereka untuk “makan” bangku kuliah telah dilewati secara teoritis-akademis. Tak sedikit pula hasil-hasil riset mereka yang bermanfaat bagi kehidupan.
Ada baiknya mereka mendapat tempat yang terhormat, yang tidak saja di kampus, tapi juga untuk pemerintah daerah di mana mereka bisa berkontribusi pemikiran atas upaya-upaya membangun daerah. Logika lembaga pemberi beasiswa membutuhkan rekomendasi profesor agar calon peserta didik bisa masuk dan aman agaknya penting juga bagi Pemda Kalbar. Membangun Kalbar agaknya juga butuh “rekomendasi” dari profesor.
Jumlah 25 orang guru besar yang aktif di Untan saat ini bukan jumlah yang sedikit untuk ukuran Kalbar. Nyaris semua pakar di bidang humaniora dan eksakta telah Untan miliki.
Sejenak jika kita bayangkan mereka kumpul, berembug dan membuat makalah bagaimana membangun Kalbar agar maju dan mandiri, mungkin dengan segera kita mendapatkan satu buku yang relatif sempurna. Tapi kenapa hal ini belum pernah terlaksana? Kami meneropong profesor-profesor Untan. Simak laporannya di edisi Borneo Tribune Minggu 29 Juli 2007. □

Baca selengkapnya..

Sabtu, 28 Juli 2007

Deklarasi BBC


Baca selengkapnya..

Borneo Bloger Community

Saya hari ini, Sabtu (28/7) amat sangat bahagia karena telah lahir satu forum bloger di Kota Pontianak dengan nama Borneo Bloger Community disingkat BBC.
Hadir belasan bloger di dapur redaksi Borneo Tribune. Mereka antara lain Aries dari Radio Volare, Nanang dari Muhammadiyah, Yaser pencinta Blog dan sebagian besar jurnalis di Borneo Tribune. Saya sendiri pun cinta dengan blog karena saya sadari manfaatnya teramat sangat besar.
Masing-masing kami memang mengungkapkan pikiran dan perasaan tentang peran dan manfaat blog. Satu persatu bercerita dan tak jarang menguakkan gelak tawa.
Ruang redaksi yang sepi di siang hari terasa sangat hangat dan bersahabat.
Kami sepakati bahwa perlu ada blog induk di mana para anggota nantinya mencantel ke blog tersebut. Blog itupun langsung dikerjakan oleh Asriyadi Alexander Mering yang serta merta pada hari itu dinobatkan sebagai “Bapak Bloger Kalbar”. Tapi dalam gelak tawa juga disanjung Aries sebagai Mbahnya Bloger Kalbar. Ha ha ha. Tawa pun pecah sebagai respon canda kru Borneo Tribune.
Kami sepakati pula bahwa BBC perlu dirawat dan dijaga. Untuk itu perlu ada administratornya. Admin itu pun sementara jatuh ke pundak Mering. Para anggota berhak memposting dengan syarat sopan dan sesuai norma yang berlaku.
Agenda BBC tak hanya sekedar berdialog lewat dunia maya, tapi juga ingin berdiskusi atas masalah-masalah serius pembangunan daerah, nasional dan mancanegara. Topiknya bisa politik hingga kebudayaan.
BBC juga akan melakukan kegiatan-kegiatan praktis seperti pelatihan, lomba-lomba, tour dan sebagainya sesuai aspirasi. Forum ini bersifat terbuka dan tidak mengikat.
Saya benar-benar merasa blog sebagai media baru yang bisa menjembatani anak-anak muda yang melek teknologi. Saya juga yakin semakin hari akan semakin banyak anggota dari BBC. Bravo Borneo Bloger Community. □

Baca selengkapnya..

Wars Within

Perang Batin Tempo di Masa Orde Baru

Nur Iskandar
Borneo Tribune, Pontianak

Judul bukunya Wars Within. Idenya didapatkan Prof Janet Steel dari keberuntungannya mendapat kesempatan mengajar di Indonesia, tepatnya Universitas Indonesia pada era reformasi sedang bergulir di Indonesia. Sekitar 1997.
Janet Steel adalah guru besar ilmu narative reporting di George Washington University. Dia di Virginia sudah mendengarkan pidato Goenawan Moehammad (GM) yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan Tempo tentang bagaimana Tempo diberedel di masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Jenderal Besar Soeharto.
Kesempatan mengajar di Jakarta untuk UI dan LPDS Dr Soetomo digunakan Janet Steel untuk mengajar juga jurnalisme sastrawi di Pantau Foundation. Di balik kesibukannya itu, putri dari peraih Pulitzer Price ini melakukan riset di Tempo.
Untuk menulis buku yang tergolong lengkap soal Tempo, Janet Steel mendatangi sejumlah pendiri dan komunitas Tempo. Dia mewawancarai Goenawan Moehammad, Arief Budiman, Syu’bah Asa, Fikri Jufri, Bambang Hary Murti, Marsilam Simanjuntak, Nono Makarim dan masih banyak lagi.
Janet Steel di dalam bukunya “Wars Within” atau perang batin tentu saja menulis dalam bahasa Inggris. Bukunya pun diterbitkan di Singapura, tepatnya Equinox Publishing.
Janet mengupas persoalan cover majalah Detektif dan Romantika (DR) yang secara art design amat cerdas. Di sana tampak Soeharto sebagai raja.
Desain majalah DR memang menampilkan wajah Pak Harto dalam sebuah kartu As yang berkostum king atau raja. Di sini DR diberedel. Adapun Tempo tak lepas dari daya kritisnya kepada pemerintah sehingga diberedel.
Pengelola DR atau Gatra relatif adalah orang-orang Tempo juga. Mereka eksodus tentu terkait dengan pasang surutnya kondisi di internal Tempo. Tempo sendiri adalah mainstream jurnalisme di Indonesia.
Buku yang ditulis Janet Steel memberikan cakrawala bagi kita bagaimana sebuah media dilahirkan, dirawat dan menghadapi ranjau-ranjau politik dan bahkan kooptasi melalui pemerintahan yang otoriter. Tempo diberedel, tapi Tempo terbit kembali. Terbit hingga hari ini. Umurnya sudah 36 tahun karena Tempo lahir tahun 1971.
Cover buku yang menampilkan dua close up tokoh masing-masing Goenawan Moehammad dan Soeharto menyiratkan adanya perang dingin seperti diungkap pada isi buku ini. Seorang adalah budayawan sekaligus ilmuan, seorang lagi adalah Presiden RI.
Buku setebal 314 halaman ini bercerita tentang komunitas di Tempo, puisi, Orde Baru, strategi, insiden, negara, pembaca, eksodus dan hantu di negara Indonesia dalam ruang lingkup kerja media serta kebebasan media.
Janet Steel sendiri di dalam mengampu pelajaran narative reporting kerap menjadikan kata pengantarnya sebagai bagian dari jurnalisme sastrawi. Dia memulai dengan sebuah kutipan yang menunjukkan adegan, “Why should the army fear us when they are the ones with the guns?” (Mengapa tentara harus mengancam kita dengan senjata).
Kata-kata itu dipegang erat-erat Janet Steel tatkala menyaksikan pidato GM di Freedom Forum di Arlington, Virginia. Dia juga mendapatkan apa yang hendak diketahuinya dari wawancara langsung bersama GM, menyelami komunitas Tempo dan kemudian mewariskan hasil risetnya untuk bahan bacaan bagi siapa saja untuk mengetahui sejarah media di Indonesia. Membaca buku ini besar sekali manfaatnya dalam mengetahui hubungan media dengan pemerintah, termasuk kait mengaitnya dengan sejumlah tokoh politik hingga bisnis. □

Baca selengkapnya..

Jumat, 27 Juli 2007

Credit Union Kalbar Merambah ke Flores

Laporan Nur Iskandar dari Flores

Rasa bangga sebagai orang Kalbar mencuat saat saya tiba di Flores, Nusa Tenggara Timur. Warga di Flores mengaku baru saja mendapat presentasi tentang bagaimana Credit Union (CU) bekerja dan mengembangkan wirausahanya.
"Pak Mecer yang datang ke sini langsung. Beliau menjelaskan bahwa CU adalah lembaga dana yang sederhana," kata Oma, wanita Katolik yang beralamat di Jalan Rambutan Kota Ende. Oma pernah menjadi guru turut aktif di lembaga CU yang dibentuk di Flores. "Kami mulai dari Rp 10 juta saja dulu," kata Oma menirukan AR Mecer yang memulai CU di Kalbar dengan dana seadanya. Tapi dengan pengembangan dana berbasis kepercayaan untuk di Kalbar nominal CU mencapai Rp 22 miliar.
Menurut Oma, CU juga sudah berkembang di Papua. "HebatCU itu," pujinya. Nama CU di Flores sendiri mirip dengan di Kota Pontianak. Jika di Pontianak namanya Pancur Kasih, maka di Flores Gerbang Kasih.
Saya sendiri sempat bertandang ke kediaman AR Mecer bersama rekan-rekan Borneo Tribune. Di sana AR Mecer menjelaskan bahwa konsep CU adalah mengembangkan uang sebagai alat di mana apa saja yang diinginkan bisa dicapai dengan uang, tapi uang itu tidak hilang.
"Saya menganalogikan uang seperti tangga. Fungsi-fungsi tangga seperti mengganti lampu yang putus bisa dicapai sementara tangganya tidak habis. Begitupula uang. Saya berpikir dengan uang Rp 15 juta kita bisa beli motor dan lahan, tapi uang 15 juta tetap ada. Di sini konsep CU," ujarnya.
AR Mecer yang juga calon Wagub Kalbar pada Pilkada mendatang yang berpasangan dengan HM Akil Mochtar mengatakan bunga bakung di rawa-rawa tanpa pemeliharaan saja sudah cantik, apalagi bunga-bunga jika dirawat. Begitulah permisalan terhadap usaha. "Jika usaha dengan uang kredit kita miliki, kita rawat dengan kerja keras, pasti berhasil," ujarnya.
Kedatangan AR Mecer dan tim di Flores kini jadi buah bibir. CU segera merebak di bumi Nusa ini. "Kami akan bekerja keras untuk mengembangkan CU di provinsi yang terkenal Cendananya ini," ungkap Oma. (16 Juli 2007)

Baca selengkapnya..

Media Freedom is Your Freedom

Kalimat itu sederhana, kendati tidak sesederhana makna yang dikandungnya.
Media freedom is your freedom (media yang merdeka adalah kemerdekaan Anda).
Kami di Harian Borneo Tribune lahir dengan riset bahwa idealisme, keberagaman dan kebersamaan merupakan keniscayaan dalam hidup dan kehidupan. Barangsiapa yang mengabaikan “tritunggal” tersebut, maka ia akan tergilas oleh kerasnya tantangan kehidupan itu sendiri.
Mencari media yang bebas dan bertanggung jawab sesungguhnya tidak sulit. Lihat saja output, atau hasil produksinya. Misalnya apakah berita yang disajikan bebas, berimbang dan solutif? Ataukah yang terjadi sebaliknya, mengadu domba dan memecah belah?
Jika yang tampak dari fakta berita maupun foto-foto beritanya sesuatu yang tidak berimbang, mengadu domba, atau memecah belah, dapat dipastikan media tersebut berada di bawah keterpasungan. Berada di dalam kekangan. Atau dengan kata lain sisi inti dari pers—penting adanya kebebasan—telah terjajah oleh kepentingan oknum, atau kepentingan bisnis pihak-pihak tertentu. Jika kondisinya demikian, maka pers seperti ini bukanlah pers yang freedom. Pada gilirannya, pers seperti ini apakah dia media cetak hingga media elektronik di belahan dunia manapun, akan tergilas oleh kerasnya tantangan zaman. Publik yang cerdas sudah tahu menilai.
Data menunjukkan tak sedikit media harus menelan pil pahit berupa rugi usaha, bahkan harus mati karena menggadaikan kemerdekaan tersebut. Di Kalbar sendiri pun pasang surutnya media di tengah iklim reformasi melahirkan banyak media serta telah menjadi catatan sejarah, tapi tak sedikit yang harus mati suri atau justru ke “Sukabumi”.
Harian Borneo Tribune menyadari betul aspek kebebasan tersebut di atas. Oleh karena itu kebebasan dalam berpikir, bertindak dan berprilaku amat dijunjung tinggi. Aturan mendasarnya adalah tritunggal di atas: idealisme, keberagaman dan kebersamaan.
Ide-ide, gagasan-gagasan mendapat tempat yang layak di sini. Bahkan di sini merupakan kawah yang hangat dan panas untuk medan belajar bersama. Yang punya ide dan ilmu berbagi dengan yang lain, sedangkan yang belum tahu menjadi tahu.
Kerap kali dalam ilmu manajemen modern kita diajarkan dengan kuadran terburuk dan terbaik. Kuadran terburuk adalah I don’t know, You don’t know. Akibat sama-sama tidak tahu tersebut maka lahirlah konflik dan konflik. Jika konfliknya tidak anarkis masih patut disyukuri, tapi jika anarkis banyaklah kerugiannya.
Kuadran kedua adalah I know, You don’t know. Pada kuadran ini terjadi ketidak-seimbangan yang dapat melahirkan konflik. Kuadran ketiga juga sama buruknya, yakni You know, I dont know.
Kuadran yang terbaik adalah I know, You know. Dengan saling mengetahui dan saling memahami akan muncul kebersamaan. Akan muncul kegotong-royongan. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Banyaklah pekerjaan yang bisa diselesaikan. Banyak pulalah masalah-masalah yang bisa dipecahkan dengan cara menang sama menang. Win win solution.
Ilmu di atas berlaku di mana saja dan bagi siapa saja. Mulai dari diri sendiri. Mulai dari organisasi terkecil yang bernama rumah tangga, hingga kantor bisnis dan pemerintahan.
Nah, kami di institusi pers Harian Borneo Tribune menerapkan ilmu kuadran keempat itu. Caranya dengan memperbanyak komunikasi antara satu pihak dengan pihak lain dilandasi semangat kebersamaan. Tips-tipsnya sederhana. Mulai dari meeting formal, informal hingga non formal. Untuk yang informal dan non formal ini sejak dari lapangan futsal hingga ke warung kopi. Silaturahminya silaturahmi yang membumi.
Soliditas di Borneo Tribune terbentuk sejak awal. Soliditas itu tampak pada output produksinya. Berita-berita dimanage sedemikian rupa lewat perencanaan pemberitaan yang apik. Penjadwalan diatur sedemikian rupa sehingga berjalan siklus yang mulus. Ia terus berputar dengan sistem yang berjalan.
Memang siklus tidak selamanya berjalan mulus-mulus 100 persen sesuai yang diharapkan. Ada saja sebab musabab yang menyebabkan sistem kurang berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sebutlah listrik yang padam sehingga jaringan terputus, adanya crew yang sakit dan hal remeh temeh lainnya. Tetapi tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya selama kita mau berusaha. Ilmu manajemen pun mengajarkan resep yang paling sederhana, berupa perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol. Rumusnya POAC (Planning, Organishing, Actuating, Controlling).
Rumus POAC itulah yang kami terapkan untuk terus memperbaiki kinerja kami di segala bidang. Segala kesalahan dan kelemahan kami perbaiki. Mulai dari keredaksian, pemasaran, percetakan, hingga keadministrasian.
Masukan-masukan dari berbagai pihak pun kami serap sedalam-dalamnya untuk menambah kekuatan Borneo Tribune. Apakah itu datangnya dari pembaca, pelanggan, mitra iklan, pengamat hingga pengguna website Borneo Tribune.
Kami peduli dengan masukan-masukan dari berbagai pihak tersebut. Hal demikian menjadi prinsip pembelajaran bagi kami.
Kami sadar kami bekerja adalah untuk publik. Oleh karena itu aspirasi dan saran dari publik amat kami respon dan upayakan semaksimal mungkin menjadi kenyataan. Kondisi yang amat baik itu adalah sisi edukasi yang lain lagi dari kebersamaan. Kebersamaan yang indah.
Dengan kondisi yang bebas serta merdeka sesuai konteks di atas, kami di Harian Borneo Tribune berupaya membuktikan kebenaran adanya hubungan yang kuat antara media freedom is your freedom. Bahkan ingin membuktikan bahwa media yang bebas akan mendukung terwujudnya perekonomian yang efektif. Seperti disimpulkan dalam riset Bank Dunia: Media yang bebas adalah syarat berhasilnya pembangunan ekonomi di negara berkembang. □

Baca selengkapnya..

All Person is Marketing

Tak terasa umur Borneo Tribune sudah genap dua bulan. Dari sisi eksistensi, koran 24 halaman dengan tampil berwarna ini telah tersebar di seantero Kalimantan Barat. Jejaringnya tumbuh sangat pesat.
Jujur saja, dilihat dari sisi tiras pertumbuhan Borneo Tribune begitu mengesankan. Dalam dua bulan Borneo Tribune sudah menyejajarkan dirinya bersama media-media yang lebih dulu terbit. Hal ini karena penerimaan masyarakat luas terhadap koran yang dimiliki oleh putra-putra daerah Kalbar “asli” ini begitu signifikan. Terlebih Borneo Tribune juga memiliki mesin cetak sendiri, gedung sendiri dan jejaring pemberitaan sendiri.
Pasar Borneo Tribune kami sadari sangat besar. Terlebih kami menggarap bidang pendidikan secara serius dan tampil pun serius. Demikian karena aspirasi yang masuk ke Borneo Tribune adalah sebagai koran pendidikan.
Kami pun setuju untuk itu karena riset kami senada seirama. Kami sejak awal sudah mentasbihkan diri tak mau terlibat dalam pemberitaan kriminal, sadisme, berdarah-darah, pornografi, pornoaksi maupun berbual-bual. Kendati ada unsur pendidikan di dalamnya kami sadari manfaatnya kecil. Mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya. Tak urung “kekerasan” di layar TV pun jadi sorotan karena berdampak negatif bagi publik. Artinya kurang mendidik.
Hal kecil yang edukatif dari kriminal kami seduh dengan olahan tersendiri sehingga bernilai edukatif tinggi. Kami menyentuhnya dengan sudut pandang humaniora sehingga menambah nilai atau value added. Nilai rasa kemanusiaan lebih kami tonjolkan sehingga coverage kami lengkap/mencakup. Borneo Tribune menjadi tak ketinggalan isu di wilayah manapun karena bisa meneropongnya lewat kacamata pendidikan.
Melalui angle pendidikan Borneo Tribune lebih punya harkat dan martabat. Siapapun merasa aman membawa, membaca dan menjadikannya referensi di mana saja. Ia aman masuk ke ruang tamu, teras rumah, kantor-kantor, toko-toko, warung kopi, apalagi perpustakaan, sekolah-sekolah maupun kampus-kampus.
Karena sudut pandang pendidikan itulah kami juga punya lembaga pendidikan yang bernama Tribune Institute. Para pengelolanya adalah seluruh crew di Borneo Tribune. Mereka punya semangat belajar maupun mengajar.
Seorang sahabat mengatakan, dengan pola belajar-mengajar seperti itu semua orang adalah guru dan murid. All personel is teacher. All person is student.
Dari sudut pandang marketing totalitas way of life atau pandangan hidup seperti itu jadinya menguntungkan. Demikian karena setiap orang juga menjadi pemasar yang baik. All person is marketing.
Lalu siapa saja akademia yang terlibat langsung di bidang marketing ini selain para reporter, layouter, machiner, maupun editor? Mereka Ashley Raiza, Zulkifli HZ, Zainuddin, Hesty Yosana, Julianty, Erika Sudiardjo, Hendrika Rika dan Jumi Erlina Sari.
Ashley Rayza sebelum bergabung di Borneo Tribune berpengalaman sebagai marketing di Yogyakarta. Dia juga sempat mengenyam kerja di perbankan. “Kejar target sudah biasa bagi saya,” ujar pria yang menyandang gelar magister manajemen ini.
Zulkifli HZ punya talenta di bidang seni, fotografi dan desain grafis. Kerangka teoritis dikuasainya. “Dulu saya orang ruangan, sekarang saya belajar keluar ruang,” ujarnya untuk menghadapi pasar Borneo Tribune yang tumbuh pesat.
Zainuddin kerap disapa Bang UL. UL singkatan dari Udin Labu. Entah apa latar belakangnya, tapi Zainuddin suka dengan gelar tersebut. “Labu banyak manfaatnya,” kata pria yang suka mendatangkan artis-artis ibukota buat even di seantero Kalbar ini.
Hesty Yosana sebelum bergabung di Borneo Tribune adalah marketing di sebuah perusahaan andal. “Saya dipromosikan ke Kaltim, tapi saya tak bisa meninggalkan orang tua di Pontianak. Saya pun menerima tantangan membesarkan Borneo Tribune yang punya visi idealisme, keberagaman dan kebersamaan,” jawabnya ketika test wawancara di Hotel Peony Maret lalu.
Julianty merupakan alumni Fakultas Ekonomi Untan yang tak diragukan kemampuan hitung-berhitungnya. “Kalau perusahaan media sudah punya mesin cetak sendiri, itu bukan main-main,” katanya.
Erika Sudiardjo punya latar belakang pendidikan ekonomi dan keuangan. Tepatnya di Widya Dharma. Ia kini menjadi staf keuangan di bawah kepemimpinan Julianty.
Hendrika Rika adalah yang termuda di jajaran staf administrasi marketing. Dia begitu tamat kuliah langsung memilih Borneo Tribune.
Jumi Erlina Sari semula bercita-cita ingin jadi Polwan. Hal itu wajar karena ayahnya adalah polisi. Tapi perjalanan hidup membawanya ke bidang keadministrasian. Hal itu wajar juga karena dia alumni dari sekolah yang berlatar kesekretariatan.
Tak lengkap rasanya jika tidak menyebut all person is marketing dengan sudut pandang pendidikan di atas jika tak menyebut nama lawyer Borneo Tribune, Dwi Syafriyanti. Cewek manis yang sudah malang melintang di W Suwito Associate ini begitu haus akan ilmu. “Saya semula kurang peduli dengan pers, tapi karena berteman dengan insan-insan pers yang punya idealisme saya jadi kepincut rasa ingin tahu. Saya terus belajar lewat kasus-kasus atau delik pers. Ternyata menarik. Menarik sekali dunia jurnalistik yang berfungsi sebagai obor penerang itu,” ujarnya.
Dwi kini sedang mengeduk pendidikan di magister hukum Universitas Tanjungpura. Ia tak jarang menjadi icon pemasaran Borneo Tribune baik secara langsung maupun tidak langsung. Utamanya di Kampus Hukum.
Pembaca, kami sadar bahwa pada dasarnya sikap dan tindak tanduk kita adalah pemasaran yang efektif pula bagi kita maupun lembaga kita. Sikap pun kami sadari adalah buah dari pendidikan. Oleh karena itulah Borneo Tribune menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang paling tinggi. Dengan ilmu derajat hidup jadi lebih mulia. Dengan ilmu hidup menjadi lebih mudah. □

Baca selengkapnya..

Dewan Redaksi Borneo Tribune

Sudah dua pekan berlalu kami perkenalkan akademia Tribune Institute yang bergerak di reportase lapangan, lay out dan percetakan. Kini kami perkenalkan Dewan Redaksi sebagai bentuk silaturhmi kepada pembaca di mana kami menyelami benar makna pribahasa: tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka...dan seterusnya dan sebagainya.
Silaturahmi menurut petatah-petitih orang tua nan bijak menyebabkan kita jadi panjang umur dan murah rizki. Sebaliknya, jika memutus hubungan silaturahmi hidup menjadi sempit ibarat penjara. Kemana-mana saja berasa sempit.
Kami tak mau sempit. Kami mau tumbuh dalam kontek silaturahmi yang sebaik-baiknya.
Kami harus mengenalkan diri agar publik mudah “berhubungan” dengan kami terkait pemberitaan. Terkait apa saja mengenai Borneo Tribune atau lembaga pendidikan pers dan komunikasinya yang berlabel Tribune Institute.
Tentu perlu digarisbawahi di sini bahwa tujuan kami mengenalkan diri bukan untuk “terkenal” karena itu kami sadari bermula dari kepercayaan diri yang terlalu narsis. Itu tak baik. Nanti yang terjadi adalah riyak. Riyak adalah penyakit hati yang mesti dicuci dengan eling lan waspada.
Esensi dari perkenalan diri kami sesungguhnya juga adalah agar kita saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran agar kita tidak merugi. Bukannya kenapa, kami memang sudah dirugikan akibat adanya oknum-oknum yang mengatasnamakan reporter atau redaktur Borneo Tribune. Mereka datang ke pejabat-pejabat tertentu dan merugikan nama baik Borneo Tribune dengan aksi-aksi mereka yang tidak terpuji.
Sekali lagi, yang bukan nama dan wajahnya terpampang di Dewan Redaksi ini, mereka bukanlah Dewan Redaksi Borneo Tribune. Di Borneo Tribune reporter dan redakturnya dibekali ID-Card yang jelas. Sementara jika ada oknum mengatasnamakan Borneo Tribune dan tak ada identitas diri yang akurat, sebaiknya kontak ke redaksi atau jangan sungkan melapor ke aparat berwajib. Tangkap dan adili saja mereka. Bukankah negara kita adalah negara hukum?
Duduk di jajaran Dewan Redaksi berdasarkan abjad: Asriyadi Alexander Mering, Hairul Mikrad, Muhlis Suhaeri, Nur Iskandar, Safitri Rayuni, Stefanus Akim, Tanto Yakobus dan Yusriadi.
Asriyadi Alexander Mering semula adalah penulis cerpen yang andal. Karya-karyanya sejak muda di bangku kuliah sudah menembus media-media lokal dan nasional. Karya-karya sastranya juga menghiasi negeri Jiran, Malaysia. Tak urung beberapa kali Mering—sapaannya—menjadi pembicara sastra di Malaysia.
Alumni Fakultas Hukum Untan yang tak suka dengan sekat etnis dan agama ini pun lebih suka menyebut dirinya pasca Dayak, bahkan sudah pasca Indonesia. “Terbungkus sekat primordial menyebabkan kita jadi kerdil,” urainya.
Hairul Mikrad kelahiran Sungai Pinyuh. Talentanya di bidang jurnalistik tertempa di bangku kuliah saat dia menjadi aktivis di Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian Untan. Di masa kepemimpinannya Menhut Djamaluddin berhasil didatangkannya. Bahkan menanam pohon pula di Arboretum.
Pria berkacamata dan bertubuh bongsor ini terampil menembus sumber-sumber penting. Katanya, talenta diplomasi itu telah terasah sejak dini di mana ia aktif di kepramukaan. “Berorganisasi memang penting,” katanya.
Kalau Mering melanglang buana hingga ke Malaysia, Hairul Mikrad yang akrab disapa dengan Dek atau Dedek “terbang” hingga ke Meulaboh-Aceh, Brunei Darussalam maupun lembaga-lembaga tinggi negara di Jakarta. Meliput di medan konflik menurutnya amat berkesan.
Muhlis Suhaeri sebelum bergabung di Tribune adalah penulis yang aktif di sejumlah media nasional. Gatra, Pantau bahkan Playboy sudah dijejalnya. Karya-karyanya yang kental bergaya narasi tak jarang dapat pujian. Pujian itu disampaikan langsung oleh Lembaga Pendidikan Pers Soetomo ketika menggelar pelatihan bagi para redaktur se-Kalbar di Grand Mahkota beberapa bulan silam.
Muhlis gemar membaca dan menulis. Ia sudah membukukan karya jurnalistiknya dengan menulis biografi tokoh film kesohor kelahiran Betawi, Benyamin S. Buku ini diterbitkan di Jakarta dan dapat diperoleh di toko-toko buku terkenal seperti Gramedia maupun Karisma.
Nur Iskandar. Dia anak ketiga dari lima bersaudara pasangan H Hasan Har dan Hj Halijah HMS. Jurnalistik adalah pilihan hidupnya setelah malang melintang sebagai aktivis pers kampus.
Di jajaran pers nasional nama Nuris—sapaannya—sudah dikenal karena dia merupakan Presidium Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Wilayah Kalimantan. Dia juga peraih beasiswa ke Amerika Serikat masing-masing tahun 2001 dan 2004 untuk program investigative reporting dan religious, pluralism and democratism. Kedua program tersebut didanai Departemen Luar Negeri AS.
Sejumlah buku juga sudah ditulisnya bersama sejumlah sahabat antara lain Biografi H Mawardi Dja’far, ontologi DPRD Kalbar, dan Dua Periode Kepemimpinan H Aspar Aswin.
Safitri Rayuni merupakan anggota Dewan Redaksi yang putri satu-satunya. Dia pun mengasah bakat kepenulisannya sejak kuliah di kampus hijau Universitas Tanjungpura.
Sebelum meraih gelar Sarjana Pertanian, Ifit—panggilannya—sempat berguru dengan guru besar narative reporting yang diampu Prof Janet Steel. Ifit adalah peserta terbaik dan mendapat promosi beasiswa ke Negeri Kangguru pada September mendatang.
Stefanus Akim baru saja pulang dari pendidikan jurnalisme bergaya sastra di Jakarta dua minggu di pertengahan Juni. Dia berguru dengan peraih Newman Fellowship Harvard University, Andreas Harsono dan Prof Janet Steel.
Kemampuan Akim—julukannya—dalam hal menulis juga dimulai dari bangku sekolah. Dia terus mengasahnya di Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan. Selanjutnya dia sudah berpengalaman liputan di seantero Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak yang beribukota Mempawah maupun Kota Pontianak kendati Akim sesungguhnya kelahiran Sungai Ambawang. “Pengalaman keliling membuat saya mengerti arti kehidupan,” simpulnya.
Tanto Yakobus memulai karir jurnalistiknya dari majalah Gamma. Dia sempat menjadi kepala biro di Singkawang dan mengantor di Hotel Mahkota. “Ini pengalaman unik,” timpalnya.
Tanto sebelum Borneo Tribune terbit sudah lebih dahulu mengenyam pendidikan khusus di Pantau Foundation. Sepulang pendidikan di Jakarta itu dia begitu bergiat menulis. “Ilmu terdahulu bagi saya belum ada apa-apanya. Sekarang saya semakin mengerti,” jelasnya.
Yusriadi. Dari segi indeks nama dia tampil di belakang, tapi dari sisi pemikiran dia selalu tampil terdepan. Hal itu wajar karena secara akademis pun, Yusriadi yang kerap disapa Bang Yus adalah yang tertinggi. Dia sudah S3 dan bergelar doktor di bidang bahasa. Dia meraih predikat cemerlang dari Universiti Kebangsaan Malaysia di bawah bimbingan Prof James Collins—seorang pakar Borneo.
Baru-baru ini Yusriadi diundang tampil sebagai pembicara di sebuah seminar di UKM. Tulisan-tulisannya dapat diikuti secara bersambung di Harian Borneo Tribune sejak Senin 2 Juli lalu.
Di jajaran Dewan Redaksi Borneo Tribune juga ada fotografer dan ilustrator andalan. Mereka adalah Lukas B Wijanarko dan Zoel MS.
Lukas lahir di Pontianak, namun menyelesaikan pendidikan fotografinya di Jakarta. Hasil-hasil jepretannya telah bertebaran di mana-mana. Dia pun tak urung membuat pameran tunggal atas hasil seni fotografinya itu.
Zoel MS tumbuh sebagai ilustrator, pelukis dan juga terampil kalau memegang kamera. Ini semua dikuasai Zoel karena ditopang hobi serta kemampuan akademisnya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.
Kalau Lukas sebagai fotografer profesional tak jarang diminta memotret peristiwa-peristiwa khusus, Zoel juga begitu. Tak jarang dia “dikontrak” lembaga-lembaga internasional seperti World Wide Foundation atau WWF untuk memotret alam, membuat ilustrasi hingga lukisan. Zoel pun sama dengan Lukas sudah tak terhitung membuat pameran-pameran seni.
Para pemuda Kalbar di atas terus berpikir dan berkarya. Mereka berbuat di Borneo Tribune dan karya itu dipersembahkan kepada pembaca. Respon pembaca pun amat dibutuhkan sebagai feedback sehingga Kalbar beroleh bacaan yang punya harkat dan martabat di mana kala membacanya berasa lebih, bahkan lebih berasa. □

Baca selengkapnya..

Tribune Institute dan Akademia Jurusan Pracetak - Mesin

Harian Borneo Tribune yang terbit perdana—19 Mei—pada sehari menjelang Hari Kebangkitan Nasional—20 Mei—memang sadar sesadar-sadarnya bahwa pendidikan itu penting. Saking pentingnya sejak semula berdiri sebagai harian dengan 24 halaman plus full colour di dua section halaman muka dari tiga section yang dimilikinya telah mendirikan sebuah lembaga nirlaba bernama Tribune Institute.
Tribune Institute adalah kampus jurnalistik Harian Borneo Tribune di mana para “pengajarnya” adalah mereka yang punya keterampilan di bidang jurnalistik serta mau berbagi kepada siapa saja yang mau belajar.
Pada edisi Minggu, 1 Juli yang lalu telah kami perkenalkan kepada pembaca 10 orang akademia Tribune Institute yang terlibat di reportase lapangan. Mereka—berdasarkan abjad—adalah Andry, Arthurio Oktavianus, Agus, Budi Rahman, Endang Kusmiyati, Hanoto, Johan Wahyudi, Maulisa, Mujidi, dan Yulan Mirza. Kini di edisi Minggu 8 Juli kali ini ingin kami perkenalkan akademia jurusan Pracetak maupun Mesin sebagai semangat silaturahmi di mana kata pepatah: tak kenal maka tak sayang; tak sayang maka tak cinta. Siapa saja mereka? Berdasarkan urutan abjad mereka yang berkecimpung di Pracetak adalah Atika Ramadhani, Fachmi Ichwan, Iskandar, Iwan Siswanto, Sam Abu Bakar dan Ukan Dinata.
Atika Ramadhani adalah alumni Fakultas Ekonomi Untan yang gemar kutak-katik komputer khususnya program gambar/foto, tata wajah dan cetak. Jauh hari sebelum memilih Borneo Tribune cewek manis berjilbab satu ini juga punya usaha kecil-kecilan di bidang sablon dan cetakan. Usaha ini sekarang lebih banyak diteruskan adik-adiknya. Tika—sapaan akrabnya—memilih bekerja profesional di Borneo Tribune karena satu visi-misi yakni ingin mewujudkan idealisme, keberagaman dan kebersamaan.
Fachmi Ichwan sudah tak asing lagi di kalangan aktivis pers kampus khususnya di Universitas Tanjungpura. Pemilik gelar sarjana kehutanan ini sudah terampil menata wajah media terutama Tabloid Mimbar Untan sehingga dia “lenggang kangkung” bekerja di media cetak profesional seperti Borneo Tribune.
Iskandar satu jalur dengan Fachmi. Dia merupakan aktivis pers kampus yang sudah malang melintang di bagian perwajahan Tabloid Mimbar Untan. Akademia termuda di jajaran Pracetak ini kini masih magang. Dia lulus seleksi layouter tahap satu untuk kemudian magang dari sejumlah pemilik tangan terampil untuk bergabung di Borneo Tribune. Iskandar masih mengeduk ilmu pertanian di Universitas Tanjungpura.
Iwan Siswanto tak hanya malang melintang di bidang lay-out media cetak profesional. Alumni Fakultas Teknik Untan ini juga memiliki home industri yang aktif. Riwayat pekerjaan profesionalnya di media cetak pro sudah terhitung belasan tahun.
Iwan Siswanto searah pendidikan akademis serta hobinya di bidang kelistrikan juga menguasai Information Technology (IT). Wajar jika Iwan pula yang dipercaya merancang berbagai sistem IT di Borneo Tribune.
Sam Abubakar tipikal pria pendiam dan pekerja, namun jika sudah kenal dia adalah sahabat yang baik dengan bertutur apa adanya. Sikapnya yang pendiam bukan berarti dia tak membaca situasi di sekitarnya, terbukti dengan kreativitas maupun karya-karyanya. Hasil olah tangan Sam—panggilan sehari-harinya—sangat atraktif. Karya yang atraktif serta dinamis mencerminkan kebebasan pemikiran maupun jiwanya. Kebebasan jiwa dan pemikiran memang sejalan dengan idealisme, keberagaman dan kebersamaan yang menjadi visi-misi Borneo Tribune maupun Tribune Institutenya. Kondisi “bebas” seperti ini yang kondusif bagi lahirnya karya-karya yang indah.
Ukan Dinata adalah nama yang sudah terkenal di mana-mana di seantero Kalbar. Karya-karya gravisnya telah mengukir sejarah media di daerah ini.
Di Borneo Tribune, Ukan yang dekat disapa dengan panggilan Fakun adalah yang paling senior. Ilmu dan pengalamanya juga paling senior. Dia sudah berkeliling Eropa untuk ilmu permesinan. Dia juga Art Designer “murid” dari Georgia Scott dari New York Times.
Jika Iwan Siswanto sudah bekerja di publikasi pro selama belasan tahun, Fakun sudah terjun sejak puluhan tahun yang lalu. Wajar jika di pundaknyalah tersematkan tugas serta tanggung jawab developmental bidang Pracetak hingga Percetakan. Sejak layout hingga mesin cetak.
Di jurusan Mesin di bawah pengawasan Fakun terdapat sejumlah akademia. Mereka adalah Alis, Andre, Poi dan Rustam. Keempat pemuda yang “ganteng-ganteng” ini pun sudah berpengalaman di bidangnya.
Alis yang bernama lengkap Nurhalis sudah mengecap pendidikan mesin offset di Jakarta. Dia sudah terampil menggerakkan mesin cetak offset di Romeo Grafika milik familinya di Kota Pontianak. Tapi Alis tak mau statis. Dia mau belajar prihal mesin koran yang berbeda dari mesin offset biasa. Maka dia memilih bergabung dengan Borneo Tribune.
Andre adalah yang paling jangkung di antara rekan-rekannya di “jurusan” mesin. Fisik jasmaninya mendukung keterampilannya di bidang kelistrikan mesin cetak. Jika ada hambatan-hambatan electricity maka dialah yang menjadi Dubes—duta besar yang kerap pula diplesetkan dengan dukun besar. Kerewelan-kerewelan berbagai unit bisa “dijinakkannya”. Tentu dalam satu kesatuan team. “The dream team”.
Poi adalah akademia yang paling unik di jurusan mesin yang dimiliki keluarga besar Tribune. Suaranya khas. Jika dia memberikan instruksi, suara mesin pun kalah. Sambil bercanda kawan-kawan mengatakan bahwa tubuh mungil Poi tak mau kalah dengan raksasanya mesin Goss Community. Pemilik nama asli Supriyanto ini tak jarang berteriak-teriak dari puncak mesin agar hasil cetakannya bagus. Hasil cetak yang bagus tentu sebagai bagian dari pelayanan kepada konsumen Borneo Tribune. Poi paling sewot jika hasil cetakan jelek. Dia terus berpikir bagaimana caranya agar gambar-gambar yang terbit di Tribune kinclong.
Rustam kebalikan dari Poi. Kalau Poi suaranya keras sementara tubuhnya mungil, Rustam tubuhnya gempal tapi suaranya tak terdengar karena dia pendiam. Urusannya lebih banyak kutak-katik mesin membantu rekan-rekannya tanpa banyak bicara.
Kendati Rustam pendiam bukanlah berarti dia anak bawang. Dia punya bakat permesinan yang ulet sejak masih remaja. Wajar jika dia sudah terampil utak-atik mesin motor, mobil hingga kini ke mesin cetak.
Sejak Rustam hingga siapapun di Borneo Tribune memang punya cerita serta semangat bekerja yang tinggi. Semua akademia memang punya semangat belajar bahkan mengajarkannya lewat Tribune Institute. Soal semangat, apa sih yang bisa mengalahkan semangat?
Kami sadar bahwa Republik ini pun bisa merdeka karena adanya semangat. Semangat kebangkitan nasional yang ditopang pendidikan di dalamnya. Jika ada semangat kebersamaan—kata lain dari persatuan dan kesatuan—apa sih yang tak bisa? Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Inilah sunnatullah, natural of law atau hukum alam yang berlaku di mana-mana. □

Baca selengkapnya..

10 Akademia Tribune Institute

Istilah kami, para reporter Borneo Tribune adalah para akademia. Kenapa para akademia, karena skill atau keterampilan jurnalistik adalah applied science (ilmu terapan). Karena ilmu terapan, berarti taat azas akan teori-teori jurnalistik atau bahkan kampus jurnalistik. Untuk kampus jurnalistik Borneo Tribune kami beri nama Tribune Institute.
Siapa saja para akademia yang bertugas mencari, mengolah dan mempresentasikan berita ke haribaan pembaca? Mereka adalah muda-mudi potensial dan bekerja atas daya nalar. Berdasarkan abjad nama berada di nomor urut satu adalah Andry. Dia punya talenta di bidang politik, namun digadang-gadang pula ke hukum. Demikian karena politik dan hukum punya pertalian kisah yang erat. Bukankah tak jarang masalah-masalah politik yang pelik selalu bertalian dengan hukum, hukum dan hukum. Andry sendiri adalah sarjana ekonomi jebolan Universitas Panca Bhakti. Dia berpengalaman sebagai leader mahasiswa di kampus kuning UPB. Tepatnya sebagai Presiden Mahasiswa. Ia mantan aktivis kampus dan kini sedang menjadi akademia yang mentasbihkan dirinya sebagai aktivis pers seutuhnya di Kalbar. Ia di awal bulannya bekerja sudah harus menjejakkan kaki hingga Bumi Uncak Kapuas.
Nomor urut dua Arthurio Oktavianus. Ketika melamar di “The Next Newspaper need” (istilah yang kami gunakan dalam pariwara rekruetment calon reporter, red) dia sudah menunjukkan talenta yang tajam pada tulisan bergaya. Maksud kami narrative reporting. Ketika itu populer dalam pembicaraan para redaktur tulisannya berjudul Teh Poci.
Pada tulisan Teh Poci itu nadanya mengalir dengan santai. Kita yang membaca seolah larut dalam Teh Poci. Teh Poci yang dijual di salah satu sudut pinggiran Kota Yogyakarta. Kota tempat di mana putra kelahiran Toho ini menyelesaikan sarjana strata satunya.
Bahasa Inggris Arthur yang lancar amat sangat menolong prestasi akademisnya. Wajar jika dia harus meliput di Kuching, Sarawak, Malaysia.
Ketiga, Agus. Nama lengkapnya Herkulanus Agus. Putra kelahiran Pancaroba ini sungguh nekat menjadi akademia Borneo Tribune dan “kuliah” di Tribune Institute. Dia bela-bela datang dari Sungai Ambawang distrik di mana dia kini menetap. “Bekal pengalaman kerja sebagai jurnalis beberapa waktu yang lalu ingin saya perdalam di sini. Abang-abang menjadi soko guru kami,” ungkapnya dalam testing calon reporter di Hotel Peony Maret silam. Kini Agus sudah melanglang buana dalam liputannya. Tak hanya di rubrik pendidikan, alumnus Fakultas Hukum Untan ini juga sudah menjejal ke Bengkayang.
Keempat, Budi Rahman. Orangnya kocak. Postur tubuhnya tinggi sehingga jadi andalan Borneo Tribune untuk berbagai hal. Mulai dari olahraga di lapangan futzal hingga tentu saja menjolok buah. Baik buah rambutan—jika lagi musim—maupun memetik buah pikiran.
Budi Rahman potensial dalam hal berpikir kreatif. Kawah candradimuka itu telah dia rasakan sejak menjadi Ketua Umum HMI Cabang Pontianak dan menyelesaikan kuliah formalnya di Fisipol Untan. Budaya diskusi dan baca menjadi peradabannya.
Dengan talenta dan posturnya yang mendukung, Budi Rahman menempati posko utama di Pemprov Kalbar. Dia juga mesti keliling kabupaten sehingga dalam tempo 1,5 bulan wilayah Utara, Timur dan Selatan telah disisirnya.
Kelima, Endang Kusmiyati. Dalam hal praktek jurnalistik dia sudah cukup banyak makan asam garam. Selain aktivis pers kampus wanita berkerudung ini juga sudah pernah menjabat sebagai redaktur pelaksana di sebuah media lokal Kalbar.
Alumni Fakultas Pertanian Untan ini menempati posko ekonomi. Namun karena kemampuannya bekerja cepat dia juga dipercayakan mengawal event besar seperti Indonesian Product Expo 2007 yang menjadi debutan Bakomapin Pemprov Kalbar.
Keenam, Hanoto. Dari penampilannya yang berkacamata wajah gantengnya kian kentara. Wajarlah dalam waktu super singkat alumni Fisipol ini sudah menjadi idola banyak akademia. Barangkali berkat modal ini pulalah dia mudah mengembangkan jejaring informasi sehingga mendukung posko liputannya.
Hanoto yang keluarganya tergolong aktivis akademis adalah tipikal pekerja keras. Saking kerasnya, memanjat pohon pun dia lakukan demi Borneo Tribune. Tepatnya ketika Borneo Tribune jor-joran pasang spanduk menjelang launching awal Mei lalu.
Ketujuh, Johan Wahyudi. Alumnus Universitas Muhammadiyah Pontianak ini semula adalah guru. Dia berkeluh-kesah menjadi guru yang hanya berhadapan dengan 40-an siswa di dalam kelas. Dia rupanya ingin menjadi guru yang lebih besar. Koran adalah tempat yang tepat menurutnya.
Johan Wahyudi yang memang nama atlet pebulutangkis gaek di bawah eranya Liem Swie King mengasah talentanya di bidang keolahragaan. Tapi dasar mau menjadi guru yang lebih luas, putra kelahiran Pinyuh ini pun selalu kreatif menulis lepas. Lepas dari pakem olahraga seperti humaniora dan politika.
Kedelapan, Maulisa. Sapaan si kecil mungil ini Icha. Tulisannya amat bergaya sastra. Aklamasilah dewan redaksi menempatkan alumnus Fakultas Pertanian Untan ini ke penulisan panjang Filantropi. Tak urung tulisan-tulisannya segera mendapatkan respon dari pembaca. Salah satu cerpennya yang ditanggapi secara akademis oleh Doktor Sastra, Dedi Ari Asfar adalah Bidadari.
Kesembilan, Mujidi. Sejak di kampus STAIN jurusan KPI, pendidikan formal jurnalistik memang pilihannya. Ia merasa ilmu tak berguna jika tidak dipraktikkan, maka salah seorang pengasuh pondok pesantren ini memilih Borneo Tribune untuk menjadi akademia Tribune Institue. Karirnya pun meroket. Setelah mengobok-obok Kota Pontianak dia membawa pengalamannya ke Kota Singkawang.
Kesepuluh, Yulan Mirza. Putra kelahiran Jakarta yang menamatkan pendidikannya di Fisipol Untan ini gandrung pada liputan-liputan kriminal. Cuma sayang, di Borneo Tribune tak mengakomodir kekerasan atau brutalisme untuk diekspose. Tulisan-tulisan faktual kriminalitas lebih diarahkan pada sentuhan rasa kemanusiaan.
Kami sepakat liputan itu dinobatkan sebagai humaniora. Borneo Tribune dengan Tribune Institutenya hendak menjadi media pendidikan yang humanis. Sebab hidup itu memang manis. Kadang-kadang seperti lirik lagu Slank, “Terlalu manis...untuk dilupakan.”
Akhir kata, ingin kami sampaikan bahwa memberitakan 10 akademia di atas bukanlah untuk narsis, melainkan agar narasumber atau mitra Borneo Tribune dapat mengenal mereka secara jelas. Mereka juga dalam menjalankan tugas jurnalistik dibekali identitas yang jelas. Sejauh ini ada oknum tidak bertanggung jawab dan mengatasnamakan Borneo Tribune. Kami akan sangat senang jika oknum seperti itu dilaporkan saja ke polisi. □

Baca selengkapnya..

Borneo Tribune Koran Pendidikan

Banyak narasumber dan public relation bertanya, “Kemana visi dan misi Harian Borneo Tribune? Kok judul-judul dan headlinenya tidak bombastis? Haluannya kemana?”
Menarik sekali pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang mencerminkan bahwa Harian Borneo Tribune dibaca banyak pihak.
Jelas kami harus menjawab pertanyaan ini. Tidak hanya secara langsung ketika pertanyaan itu disampaikan face to face—muka ketemu muka—juga via telepon, atau bahkan harus dituangkan lewat rubrik Purnama 02 ini. Kami harus menjelaskannya sejelas-jelasnya.
Pertanyaan tentang kemana visi Harian Borneo Tribune gamblang kami tunjukkan bahwa visi-misinya adalah idealisme, keberagaman dan kebersamaan. Idealisme adalah nilai dasar universal yang ingin kami wujudkan. Nilai dasar universal yang meliputi kejujuran, keadilan, kebenaran, keberanian, kecerdasan, dan meliputi 99 asmaul husna (nama-nama yang baik). Kami menyimbolkan 99 asmaul husna tersebut dengan kepak sayap Enggang Gading (Buceros vigil) yang sedang terbang. Sayap Enggang Gading itu 9 di kiri dan 9 di kanan. Simboliknya 99.
Kami ingin terus terbang tinggi dengan melakukan reportase yang berimbang. Memberikan pencerahan sekaligus pencerdasan sehingga masyarakat bisa mengambil keputusan-keputusan yang cerdas pula.
Hal cerdas tak perlu selamanya ditampilkan dengan bombastis. Justru sebaliknya, ia perlu ditampilkan dengan putih dan jernih. Ibarat air di telaga, tampilan yang jernih akan tampak lebih teduh, sejuk dan indah. Oleh karena itu tampilan informasi kami adalah yang “cool”, teduh dan indah atau artistik. Kami tidak berusaha membuat suatu peristiwa yang biasa-biasa saja menjadi bombastis. Kalau hal itu kami paksakan, berarti kami melanggar nilai-nilai idealisme di dalam hati kami sendiri, yakni membohongi pembaca. Pembaca tak boleh dibohongi.
Kami membaca Kalbar yang heterogen dan punya potensi konflik ini dengan menampilkan berita-berita yang cool, teduh, yang mengayomi, serta ingin menjadi solusi. Paradigma ini sesungguhnya bukan tiada alas teoritisnya. Secara teori jurnalistik kami mengembangkan jurnalisme damai atau peace journalism.
Peace journalism kami simbolkan pada maskot Borneo Tribune yakni Enggang Gading yang di dadanya ada lambang love. Love berarti cinta. Berarti kasih sayang. Cinta atau kasih sayang kepada sesama.
Rahmat bagi lingkungan itu tak bersekat suku, agama, ras dan antargolongan. Kami berdiri di atas semuanya. Kami berdiri di atas nilai-nilai universal dengan etika yang mulia.
Kami ingin menunjukkan bahwa esensi dari berita kami yang tidak bombastis itu adalah pendidikan. Koran kami memang koran pendidikan.
Riset yang kami helat jauh hari sebelum harian 24 halaman ini terbit per 19 Mei 2007 dari 1000 responden dominan membutuhkan informasi yang memuat unsur pendidikan. Politik yang hingar bingar dan “hot” itu berada di urutan kedua. Oleh karena itu sajian informasi kami serius dan dilihat dari unsur edukatif daripada politis.
Pendidikan ruang lingkupnya luas. Ia bisa dilihat dari sisi pendidikan formal, informal dan non formal. Ia bisa dilihat dari skop terkecil yakni diri sendiri, keluarga, sekolah, kampus hingga pemerintah dan swasta. Alhasil, tak ada bagian dari kehidupan yang lepas dari bidang pendidikan. Walhal politik pun tak lepas dari unsur pendidikan. Bukankah pendidikan politik jauh lebih penting daripada politik itu sendiri?
Negara bahkan agama mengajarkan bahwa pendidikan mempunyai posisi penting dan strategis nomor satu. Amanat UUD 1945 pun jelas bahwa tujuan kemerdekaan kita agar kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Nah semangat dan vitalitas kami kukuh di sini.
***
Sebagai harian yang mengklaim diri sebagai koran pendidikan kami menyadari sejak awal bahwa kami tidak mengakomodir pornografi, porno aksi, brutalisme dan sadisme. Oleh karena itu pembaca bisa melihat sejak koran ini terbit hingga saat ini tidak ada foto-fotonya yang mengeksploitir Sekwilda (sekitar wilayah dada), Bupati (buka paha tinggi-tinggi) hingga Sekwilcam (sekitar wilayah terancam he he he). Kami menyadari itu semua seronok dan tak layak jadi bahan bacaan umum. Kalaupun ada unsur edukasi seperti sex education mungkin sifatnya terbatas dan disasarkan kepada media khusus. Penyebarannya juga khusus.
Kami senang ketika evaluasi akhir Mei kemarin di mana kami mengevaluasi semua hal di Borneo Tribune kami dapati bahwa ratio atau perbandingan antara pelanggan dengan eceran hasilnya 62% pelanggan dan 38% eceran. Hal ini sangat baik bagi starting awal kami dalam bisnis media di mana kami semakin yakin bahwa segmentasi “pasar serius” itu terbentuk karena Borneo Tribune adalah koran pendidikan. Borneo Tribune dinilai “aman” sebagai koran keluarga untuk dilanggani. Membacanya “aman” untuk anak-anak, remaja, apalagi orang dewasa.
Pendidikan yang esensial kami sadari tujuannya adalah perubahan prilaku atau attitude dari salah menjadi benar, dari bengkok menjadi lurus, dari gelap menjadi terang dari lemah menjadi kuat. Kami juga harus menunjukkan attitude itu secara internal Borneo Tribune maupun eksternal. Ekternal dalam produksi hingga tingkah laku kami sehari-hari dalam praktek wawancara, marketing, maupun bersosial-kemasyarakatan.
Jika kami salah, kami mohon maaf dan kami mau berubah dari salah menjadi benar. Tapi kami juga tak mau seperti keledai yang jatuh ke dalam lubang sampai dua kali. Kami mau menjadi makhluk pembelajar. Longlife education. Belajar sepanjang hayat.
***
Belajar adalah motto kami. Belajar sebagai bagian dari idealisme yang dituangkan dalam kebersamaan kendati kami berasal dari unsur yang beragam.
Hasil dari semangat belajar itu kami tunjukkan dengan keberhasilan menjiwai mesin cetak kami Goss Community. Pertama hasil cetakan kami kurang “kinclong” warnanya. Sekarang, puji tuhan, hasilnya semakin baik.
Tidak hanya itu kertas “waste” atau sampah—maksudnya cetakan koran yang tidak layak edar karena masih meramu tinta agar pas—juga semakin rendah persentasenya. Suatu hari bagian percetakan melaporkan waste bisa ditekan hingga 0-5%. Ini suatu hasil pembelajaran yang menakjubkan.
Di bagian marketing pembelajaran pun tidak kalah semangatnya. Jalur distribusi dan keagenan baru berhasil dirintis. Semula Borneo Tribune laksana barang langka untuk didapatkan secara eceran, sekarang sudah dengan relatif mudah mendapatkannya. Borneo Tribune sudah tampak terpampang di mana-mana.
Di bagian kewartawanan juga demikian. Semula wartawan baru sedang mencari bentuk atau gaya kepenulisannya. Dalam tempo satu bulan mereka sudah dapat menjiwai pekerjaannya yang nyaris 24 jam. Mereka harus menongkrongi peristiwa demi peristiwa untuk dilaporkan. Produktivitasnya jadi meningkat.
Improvement dan inovasi kami sadari penting. Karena pentingnya kami pun tak boleh merasa puas. Kami tetap ingin melakukan peningkatan demi peningkatan, karena untuk apa kita takutkan hari esok jika kemarin saja sudah kita lewati. □

Baca selengkapnya..

Menjalin Network Mancanegara

Di suatu siang Jumat persis tengah bulan Juni dua orang jurnalis manca berkunjung ke dapur redaksi Harian Borneo Tribune. Mereka masing-masing jurnalis Munawar Ahmad Azies dari MTA TV International yang berpusat di London dan Rozanna Rony dari Utusan Sarawak, Malaysia.
Kedatangan dua jurnalis dengan talenta tak diragukan ini bukan tanpa sebab. Sebab utama adalah komunikasi yang terjalin baik selama ini sesama jurnalis, baik tatap wajah langsung, via elektronik mail (email), maupun kunjungan muhibah.
Rozanna, misalnya. Ia wartawati yang berkerudung dan berkacamata serta akrab disapa Nana aktif berkorespondensi dengan jurnalis dari Borneo Tribune, Asriyadi Alexander Mering. Tak jarang kedua belah pihak saling mengirimkan karya-karya jurnalistiknya buat dipublisir via media. Selain print media, juga web media.
Melalui karya-karya jurnalistik itu pulalah kerap muncul masukan-masukan atau ide-ide bagaimana kerja pers itu membumi. Atau bagaimana pers dapat melayani hak untuk tahu masyarakat. Dengan demikian masyarakat menjadi cerdas. Jika kecerdasan itu dapat diwujudkan, keputusan-keputusan secara cerdas (arif dan bijaksana) juga dapat terasakan.
***
Jumat (15/6) kemarin Nana sudah muncul di Bandara Supadio Pontianak. Ia memutuskan untuk ikut pendidikan Jurnalisme Sastrawi (JS) yang digeber Pantau Foundation yang berkedudukan di Jakarta pada 18-29 Juni. Uniknya, Nana mampir ke Pontianak dulu setelah terbang dari Negeri Jiran, Malaysia.
Nana rindu Kota Pontianak. Dalam hitungannya, ini sudah kali keempat dia menginjakkan kaki ke Bumi Khatulistiwa ini.
Dari Pontianak, setelah transit 1-2 hari ia akan bersama redaktur Borneo Tribune, Stefanus Akim untuk ikut kegiatan yang sama. Kursus JS.
Kursus JS diampu guru besar narative reporting (jurnalisme bernarasi/bercerita), Prof Janet Steel yang berkedudukan di George Washington University, AS. Dia juga adalah penulis buku sejarah Tempo berjudul “Wars Within” (Perang Batin).
Janeet Steel adalah putri dari seorang wartawan peraih pulitzer prize. Sebuah lembaga penghargaan jurnalistik tertinggi di dunia. Adiknya juga seorang jurnalis, namun Janet memilih jadi akademisi.
Janet Steel bakal menjadi dosen pengampu bagi Nana dan Akim beserta sekitar 10 peserta lainnya. Kebanyakan peserta itu adalah para jurnalis di Indonesia.
***
Kami mengembangkan networking ke manca negara. Kami melihat visi itu penting karena kita harus memenuhi tuntutan global yang kecepatannya sangat tinggi.
Adakah satu perubahan yang tidak melibatkan perubahan yang lain? Sebagi media seperti Borneo Tribune dengan visi mencakup pulau terbesar ketiga terbesar di dunia setelah Green Land dan Papua, kami memang mesti berpikir global kendati dalam tindakannya menyesuaikan dengan kondisi lokal. Think globally, act locally.

***
Mengapa Nana tertarik dengan Borneo Tribune? Jawabannya karena Borneo Tribune lahir dengan idealisme, keberagaman dan kebersamaan. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri seperti apakah wujudnya makhluk yang bernama Borneo Tribune itu.
Nana, si pemilik tubuh mungil namun manis itu mengakui tampilan Harian Borneo Tribune, “Elok juge...” Namun ia mau Borneo Tribune tampil lebih baik lagi. Ia sepakat kalau Borneo Tribune tampil beda. Wajahnya lembut dan putih. Isinya cerdas dan lugas. Menyajikan berita dengan gaya bercerita.
Nana dan Akim pada penghujung Juni nanti akan tercatat sebagai alumni Pantau, lembaga yang menyelenggarakan kursus JS. Para alumni biasanya saling membentuk jaringan demi kemudahan akses informasi serta menggali hal-hal aktual untuk direportase. Ini adalah satu networking tersendiri.
***
Munawar Ahmad Azies lain lagi. Dia begitu bersemangat mempromosikan Indonesia ke manca-negara. Lewat media yang dimilikinya, MTA TV International yang berpusat di London dengan cakupan 200 negara ia ingin mempromosikan Indonesia. Tentu yang baik-baiknya.
Munawar menilai, Indonesia ini aman, damai dan indah. Hanya saja ekspose yang kerap dilakukan adalah yang negatif-negatif melulu. “Kita butuh keseimbangan,” ungkapnya. Keseimbangan akan menyebabkan umur jadi relatif lebih panjang.
Munawar mengaku memilih bermitra kerja dengan Borneo Tribune karena media baru ini—baru launching pada 19 Mei 2007—terdiri dari orang-orang muda yang menjunjung tinggi idealisme, keberagaman dan kebersamaan. “Saya jadi ingat masa-masa saya muda dulu. Saya suka bekerja dengan anak-anak muda yang punya idealisme,” ujar Munawar si pemilik umur 60 tahun.
Munawar mengatakan institusinya mempunyai 8 satelit yang mengkover 200 negara. “Dengan bekerjasama, kita bisa. Kita bisa mengekspose apa saja ke 200 negara,” imbuhnya.
Munawar mengatakan setiap hari biro Jakarta tempat dia mangkal sekarang memiliki durasi tayang selama 1 jam. Ini terhitung sejak pukul 18.00-19.00. Siaran berbahasa Indonesia dengan running text menggunakan bahasa asing itu sebuah keluahan yang mewah. Apalagi durasi sepanjang dan seluas itu cakupannya tanpa dipungut biaya alias gratis.
***
Upaya membangun networking mancanegara kami rasa tidak mudah. Tapi kami merasa perlu membuat jaringan tersebut. Falsafahnya adalah: untuk maju kami butuh bantuan dari dalam maupun luar.
Dukungan dari dalam (internal) adalah dukungan para kru Borneo Tribune sendiri. Bentuknya paling nyata adalah soliditas para jurnalis, apakah dia yang bekerja sebagai “kuli tinta”, lay outer, ilustrator, fotografer, advertising hingga marketing. Jika solid dan kompak, tak akan ada sesuatu yang tak bisa diatasi permasalahannya. Bukankah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh?
Sementara kekuatan networking dari luar (eksternal) tentu saja berbentuk dukungan moril maupun materil seumpama dari tokoh masyarakat, lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, kampus, LSM dan sebagainya. Hatta, bantuan Tuhan sekalipun. Bahkan yang disebut terakhir inilah yang teramat sangat penting. Bukankah kalau Tuhan berkehendak jadi, maka jadilah ia? Kun fayakun. □

Baca selengkapnya..

Knowledge Sharing dari Pertandingan Futsal

Pukul 07.00 pagi Sabtu (9/6) kami awak redaksi Borneo Tribune kumpul di Lapangan Futsal BLKI. Kami diundang pertandingan persahabatan dengan Team PTPN13.
Untuk ukuran awak redaksi bangun pagi-pagi bukanlah perkara gampang. Tapi karena hobi, segala lelah abai sifatnya.
Dapat diterka hasil pertandingan antara kedua team. PTPN yang punya pemain terlatih menjadikan team Borneo Tribune bulan-bulanan. Skor lebih dari selusin terhitung. Sedangkan Borneo Tribune hanya bisa melesakkan balasan 4 biji saja.
Anehnya dari gol-gol yang tercipta laksana menghitung buah kelapa itu semua berteriak gembira. Bukan hanya Team PTPN yang bersorak, tapi juga Team Tribune yang kebobolan. Demikian karena semangat pertandingan ini benar-benar persahabatan.
Persahabatan memang persahabatan, tapi nilai-nilai yang terkandung dalam sport di dalam ruangan beratap ini tak terperi banyaknya bagi siapa saja yang memikirkan. Misalnya organisasi permainan harus didesain rapi. Skill atau keterampilan individu sangat menentukan menang-kalahnya. Pengaturan di lapangan juga signifikan bagi operan-operan bola sehingga terciptanya gol demi gol.
Secara psikologis, kekompakan juga menjadi penentu keberhasilan. Jika ada pemain yang ego, maka kekuatannya sangat mudah dihancurkan.
“Wah, pemainnya pada ngumpul semua. Jadi nggak ada ruang untuk menembak dong,” komentar penonton di pinggir lapangan. Teriakan itu benar adanya. Ruang-ruang kosong perlu diciptakan sehingga ada jarak untuk menyarangkan tembakan. Di sini ketepatan waktu dan posisi menjadi sangat presisi.
Pelajaran dari Futsal cukup baik bagi Borneo Tribune untuk bangkit. Di dalam pertandingan maupun dalam pemasaran produk Borneo Tribune hal-hal yang bersifat manajemen seperti di lapangan futsal patut diimplementasikan.
***
Setengah jam bermain untuk orang yang tidak terlatih ngos-ngosan juga. Napas mesti naik turun dan keringat bercucuran. Tapi karena ini hobi, maka semua itu bisa dinikmati. Ada unsur olahraga, ada unsur seni, ada unsur humor dan ada pelajaran manajemen yang amat berharga.
Bagi kami di Borneo Tribune sebagai koran yang baru lahir di Kalbar, pertandingan persahabatan dengan PTPN13 memberikan cakrawala yang amat luas. Pertama, kami mesti kompak dan harus sering berlatih agar tidak mudah dikalahkan.
Manajemen kami mesti rapi. Taktik dan strategi mesti diatur sedemikian rupa, sehingga kekuatan lawan dapat dihitung, kelemahan lawan dapat diketahui. Medan pertempurannya juga mesti dikuasai.
Kami sadar bahwa dalam kondisi masih bayi, kami masih banyak kelemahan dan kekurangan. Tapi kami mau belajar keras. Kami tidak mau digendong dan dinina-bobokkan terus. Kami mau belajar berjalan dan berlari kendati harus tertatih-tatih dan jatuh-bangun.
Kala kami terjatuh, kami akan bangun lagi dan bangun lagi.
Sebuah pariwara mengatakan, “Orang mengatakan ini hutan belantara, kami mengatakan ini jalan raya.” Adventure your life. Jadikan hidup sebagai perjalanan yang menyenangkan.
Kami mengelola Harian Borneo Tribune karena panggilan batin. Karena hobi. Oleh karena itu kami menikmati perjalanan hidup koran kami. Baik sejak dia dikandung, dilahirkan hingga dibesarkan.
***
Hobi akan membawa hoki. Bahkan Public Relation dari PTPN13, Subardi mengatakan orang yang bekerja dengan hobi itu laksana diri sendiri. Hokinya mengikut seperti bayangannya. “Bayangan itu bisa jauh lebih besar dari diri pribadi yang sesungguhnya. Begitulah perbandingan antara hobi dengan hoki. Begitulah perbandingan antara profesi dengan rizki,” ungkapnya.
Ungkapan Subardi ini senada dengan sosiolog UI yang berdiskusi di dapur redaksi Borneo Tribune, Iqbal Jayadi. “Saya berteman dengan Goenawan Moehammad dan Fikri Jufri. Dulu mereka juga tak punya apa-apa, tapi mereka bekerja karena hobi. Hasilnya sekarang? Mereka punya istana,” imbuhnya memotivasi awak Tribune.
Di sepanjang pertandingan futsal, banyak nilai-nilai filosofis yang diungkap, dikupas dan dinikmati bersama sebagai “knowledge sharing.” Bagi-bagi pengetahuan.
Dari knowledge sharing itu diskusi di luar lapangan futsal terus tumbuh ke cabang-cabang yang lain seperti skill sharing, product sharing, power sharing hingga “terasering.” Tentu saja untuk kata yang terakhir disambut dengan gelak tawa.
Begitulah bekerja dengan hobi melahirkan tawa. Tawa itu indah. Tawa itu melepaskan stress.
Pelepasan stress amat penting bagi kami di Borneo Tribune. Tantangan kami di lapangan amat besar sekali. Kami butuh ikhtiar-ikhtiar cerdas untuk lepas dari masalah-masaah teknis tersebut. Bermain futsal salah satu cara yang cukup baik. Kami jadi berkeringat.
***
Lepas dari stress kami sudah harus fokus menangani pekerjaan dalam rangka menyuguhkan informasi yang berdisiplin verifikasi. Untuk edisi khusus kali ini kami menyajikan derap langkah pembangunan Kota Pontianak.
Ide mengangkat tema ini karena Kota Pontianak menjadi tuan rumah City Expo. Kami ingin meneropongnya lebih awal. Apa saja yang ada di Kota Pontianak, bagaimana pengelolaan ibukota Kalbar ini? Apakah Pontianak sudah dapat disebut metropolis? Banyak sumber, data dan fakta yang berbicara. Pembaca dapat menikmatinya dalam suguhan 8 halaman.
Bercermin pada prestasi dan masalah-masalah yang membentang di depan mata, kita patut berkontribusi bagi daerah ini. Sekecil apapun tindakan kita akan berdampak pula bagi lingkungan kita.
Kami dari Borneo Tribune menyediakan data dan ulasannya. Pembaca silahkan menikmati. Jika ada kritik dan saran, pintu rumah kami selalu terbuka. Silahkan berikan masukan-masukan karena kami yakin hal tersebut menyempurnakan untuk kepentingan kita secara bersama-sama pula. Salam. □

Baca selengkapnya..

Mereka Bicara Soal Borneo Tribune

Sejak berdiri secara resmi 19 Mei 2007 Borneo Tribune mendapat kunjungan banyak pihak, terutama pelajar dan mahasiswa. Ini bagi kami yang mengelola Borneo Tribune adalah sesuatu yang luar biasa karena kami begitu muncul langsung dikenal dan bahkan dikunjungi.
Sebagaimana layaknya kehidupan yang normal, setiap tamu yang datang mestilah kami sambut dengan sebaik-baiknya. Pepatah mengatakan: kecil telapak tangan, nyiru kami tadahkan.
Sabtu kemarin siang tamu yang datang ada dua kelompok aktivis mahasiswa. Pertama dari STAIN yang praktikum penulisan feature. Jenis penulisan yang berbobot kemanusiaan (human interest). Kedua dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKIP Untan. Mereka sebagian adalah top eksekutif dan pengelola Buletin Pendidikan.
Kehadiran para tamu yang “intelektual muda” tersebut tentu menyemangati kami semua di Borneo Tribune. Dari diskusi yang terjadi, tampak sekali bahwa mereka punya idealisme yang menyala-nyala. Konveksi energi idealisme itu kami butuhkan sangat. Ide-ide mereka juga cemerlang sehingga patut kami pandang dengan dua belah mata. Tak urung kami sampai harus angkat topi kepada mereka. Kepada mereka juga kami berharap banyak. Yakni menjadi penulis sesuai profesi mereka masing-masing. Demikian lantaran Kalbar masih kekurangan banyak penulis. Sementara bahan penulisan banyak sekali demi promosi Kalbar pula.
Kenyataan diskusi dengan para mahasiswa inilah yang menguatkan kami membangun institusi otonom bernama Tribune Institute. Lembaga pendidikan semi formal yang bergerak di bidang jurnalistik. Kegiatannya sudah berjalan sejak dua minggu silam. Kegiatan-kegiatan Tribune Institute memang dirancang pada akhir pekan di mana waktunya relatif panjang. Baik bagi kami di Borneo Tribune maupun bagi aktivis kampus.
Komentar bagi kelompok BEM FKIP Untan dapat pembaca simak pada halaman lain rubrikasi ini. Sedangkan materi edisi khusus yang kami hadirkan kepada pembaca adalah LKPJ Gubernur Usman Jafar.
Kami melihat pentingnya materi LKPJ dipublisir karena sorotan kepada incumbent ini kian menguat. Terlebih dua hari lalu DPD Partai Golkar Kalbar memutuskan “perahunya” dinahkodai oleh Usman Jafar.
Sosok yang lahir di Sekadau namun “besar” di Jakarta pada A Latief Corporation tersebut punya motto harmonis dalam etnis, tertib dalam pemerintahan serta maju dalam usaha. Kami hendak menelisik sejauh mana visi-misi kampanye tahun 2002-2003 itu menjadi kenyataan.
Sejumlah tokoh berkomentar tentang “Kabinet” Usman Jafar. DPRD pun membuat 37 catatan penting yang patut disimak. Kami menyajikannya secara utuh kepada pembaca sehingga dapat turut menjadi kontrol sosial bagi orang nomor satu di jajaran eksekutif Provinsi Kalbar tersebut.
Gambaran umum Provinsi Kalbar juga kami hadirkan. Sebab tak jarang orang lain lebih tahu tentang kita, sementara kita sendiri kurang tahu dengan daerah sendiri. Ini semua karena terputusnya tali informasi di antara kita.
Kami dari Borneo Tribune berupaya memfasilitasi putusnya tali komunikasi tersebut. Maka kami sejak awal merancang edisi khusus seperti kali ini terbit delapan halaman. Besarnya coverage memungkinkan bagi kita semua untuk menyajikan informasi lebih banyak, lebih luas dan lebih mendalam.
Seperti bayi yang baru lahir, kami sadar bahwa kami masih diliputi kelemahan dan kekurangan. Kami mohon kepada pembaca untuk menguatkan fisik dan sukma kami agar mampu hidup dan tumbuh dengan cita-cita yang sudah kami gantungkan setinggi langit. Cita-cita itu bernama Borneo Tribune, Idealisme, Keberagaman dan Kebersamaan.
Kami berharap pembaca di mana pun berada bisa memberikan sumbang saran yang kritis sekaligus konstruktif. Akan lebih baik lagi jika ditambah dengan solusi alternatif.
Kami sadar kami butuh dukungan dalam dan luar. Kami mau menerima kritik dan saran karena kami mau belajar. Kami juga mempersembahkan Borneo Tribune ini sebagai wadah belajar bersama. Harapannya semoga kita semua menjadi masyarakat belajar yang cerdas dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang cerdas. Terutama dalam membangun daerah ini.
Akhirnya selamat menikmati seluruh sajian info di Borneo Tribune, termasuk edisi khusus LKPJ kali ini. Salam. □

Baca selengkapnya..

Launching Borneo Tribune di Pontianak Convention Center


Dari kiri ke kanan: Muhlis Suhaeri, Julianty, Safitri Rayuni, Hairul--Dedek--Mikrad, Tanto Yakobus, Yusriadi, Asriyadi Alexander Mering, Elias Tana Moning, Fakun--Ukan--Dinata, si MC Odhy dan saya--Nur Iskandar.

Baca selengkapnya..

Meramu Kebangkitan Nasional Kedua dari Tribune

Dua hari nasional penting di bulan Mei ini. Keduanya, masing-masing: hari pendidikan nasional yang jatuh pada 2 Mei dan hari kebangkitan nasional yang jatuh pada 20 Mei. Kita hendak memaknai dua hari penting tersebut untuk memetakan kebangkitan Indonesia yang kedua via media.
Kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun. Masa ini diawali dengan dua peristiwa penting Boedi Oetomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli.
Tokoh-tokoh kebangkitan nasional, antara lain: Sutomo, Gunawan, dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), dr. Douwes Dekker, dll.
Selanjutnya pada 1912 berdirilah partai politik pertama Indische Partij. Pada tahun ini juga Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (Solo), KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah (Yogyakarta) dan Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera di Magelang.
Suwardi Suryoningrat yang tergabung dalam Komite Boemi Poetera, menulis Als ik eens Nederlander was (Seandainya aku orang Belanda), 20 Juli 1913 yang memprotes keras rencana pemerintah jajahan Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Hindia Belanda. Karena tulisan inilah dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryoningrat dihukum dan diasingkan ke Banda dan Bangka, tetapi “karena boleh memilih”, keduanya dibuang ke Negeri Belanda. Di sana Suwardi justru belajar ilmu pendidikan dan dr. Tjipto karena sakit dipulangkan ke Indonesia.
***
Kilas balik tersebut di atas memacu adrenalin kami di Borneo Tribune untuk mengangkat laporan khusus (lapsus) Harkitnas ini. Terutama dikaitkan dengan semangat yang menggebu-gebu menjadikan Kebangkitan Nasional Indonesia Kedua dari Bumi Khatulistiwa.
Kita mendengar tema sentral itu digaungkan Wali Kota Pontianak, dr H Buchary A Rachman. Beliau bahkan mengundang kehadiran budayawan gaek WS Rendra dengan pembacaan puisinya di Tugu Khatulistiwa. Saat itu Rendra yang terkenal dengan gelar Si Burung Meraknya membacakan puisi panjang berjudul “Maskumambang”.
Semangat kebangkitan itu bangkit dengan motor pendidikan dan kebudayaan di dalamnya. Namun peristiwa bersama Rendra sudah lepas setahun silam. Bagaimana wujud kongkritnya di tahun 2007 ini? Kami coba mengupasnya lewat edisi khusus kali ini.
Menyoal kebangkitan nasional banyak bidang yang harus kita telaah. Apatah itu di bidang ekonomi, politik, pertahanan, keamanan maupun kebudayaan. Kami coba laporkan pula peran teknologi dalam kebangkitan Indonesia kedua. Bahan itu ditulis oleh ilmuan asal Institut Teknologi Bandung (ITB) Onno W Purbo.
Bicara soal kebangkitan nasional, banyak yang hendak kita bangkitkan. Tapi realitasnya seperti apa, masing-masing kita turut merasakan, menyaksikan dan sekaligus dapat memberikan penilaian. Satu tulisan khusus menyoal kebangkitan nasional dengan realitasnya disajikan melalui goresan pena Agus Sakti.
Sidang Dewan Redaksi Borneo Tribune tak ingin melupakan gerakan anak-anak muda dalam rangka memicu generator kebangkitan nasional tersebut. Ada wawancara yang dilakukan bersama Ketua KNPI Kalbar, Dimyatillah, SE maupun komentar dari sejumlah pemuda-mahasiswa.
Kami sendiri para pengelola Borneo Tribune tak surut-surutnya bersemangat agar kebangkitan nasional itu dimulai dari detik ini juga, dimulai dari yang kecil-kecil, serta dimulai dari diri sendiri. Jika hal itu dimulai, maka dari diri sendiri akan mengglobal, membesar dan pada akhirnya menjadi bola salju yang tak hingga. Dampaknya akan menjadi sangat luas bagi Pontianak, Kalbar, Kalimantan hingga NKRI dan dunia.

Untuk merealisir idealisme itu, kami para pengelola Borneo Tribune sudah harus terbiasa kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Kerja yang berdedikasi, berdisiplin, dan profesional.

Orientasi kerja kami adalah pengabdian kepada pembaca di mana pun pembaca berada. Baik pembaca edisi cetak kami maupun edisi website. Edisi website tentu dapat diakses di http://www.borneo-tribune.com.

***
Harian Borneo Tribune dilaunching pada Sabtu, 19 Mei 2007 sehari sebelum hari kebangkitan nasional Indonesia diperingati. Kami memaknainya dengan bekerja profesional lewat pendekatan jurnalistik.
Melalui media massa, cetak dan website, kami mencoba memberikan suluh informasi dengan harapan masyarakat tercerahkan. Baik dalam hal wawasan, maupun bahan baku manajemen diri agar warga dapat mengambil keputusan-keputusan secara cerdas atas hidup dan kehidupannya.
Pengambilan keputusan secara cerdas itu amat terkait dengan pendidikan di mana salah satu misi pers adalah pencerdasan. Hal ini telah pula ditekankan pada pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Media Borneo Tribune mentasbihkan dirinya sebagai media pendidikan dan pencerdasan.

Kegiatan Borneo Tribune di bidang pendidikan juga sudah dimulai seminggu setelah launching perdananya. Kami telah merintis berdirinya Tribune Institute dengan membuka program pembelajaran di bidang pers. Untuk tahap pertama sudah bergabung dengan Borneo Tribune sejumlah tokoh pers, mahasiswa, pemuda, akademisi dan juga tokoh masyarakat. Kami akan terus mengembangkan Tribune Institute ini sebagai model pemberdayaan masyarakat dengan simbol 789: menuju perkembang abadi.

Bukankah hitam atau putihnya Kalbar tergantung dengan orang Kalbar sendiri? Maju tidaknya warga Kalbar tergantung seberapa pendidikan mereka, sehingga SDM bisa mengelola SDA. Pendidikan itu, baik pendidikan formal maupun non formal. Tribune Institute bergerak di bidang pendidikan informal.

Untuk mewujudkan kebangkitan nasional kedua via media, kami membuka pintu 24 jam dalam sehari-semalam. Kami siap berdiskusi sekaligus sharing pengalaman dalam teknis-teknis jurnalistik.

***
Dampak dari Borneo Tribune yang terbuka 24 jam, wajar tamu yang datang pun tak putus-putusnya.

Mahasiswa yang menggelar diklat jurnalistik di Polnep dengan peserta dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Kalbar sekitar 30-an orang bertandang ke dapur redaksi Tribune sepekan silam. Mereka datang untuk berdiskusi dan sekaligus melihat bagaimana Tribune didirikan atas keringat putra daerah sendiri.

Hanya berselang satu jam, sekitar 20-an aktivis pers kampus Untan juga datang bertandang. Mereka hendak melihat secara langsung bagaimana Borneo Tribune melakukan proses produksinya, penjabaran idealisme, keberagaman dan kebersamaannya.

Mahasiswa STAIN pun datang silih berganti. Tak sekedar berdiskusi, mereka praktikum di Borneo Tribune. Khususnya pada mata kuliah komunikasi.

Kami memang membuka pintu selebar-lebarnya di bidang pendidikan karena kami sadar, negara yang kita cintai ini amat banyak masalah yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah itu kita harus bersatu. Kita harus bersama-sama. Kita tidak bisa maju sendirian saja.

Alhasil, gerakan Borneo Tribune seperti itu telah pula menggerakkan hati jurnalis dari media elektronik untuk meliput aktivitas kami. Bukan media TV sembarang TV, mereka berasal dari London dengan cakupan pemberitaan hingga ke 200 negara.

Kehadiran awak TV dari London melahirkan kerjasama mutualisme. Kami mulai menggarap liputan bersama. Borneo Tribune untuk edisi cetak, TV London untuk televisi mancanegara.

Kebaikan memang berbuah kebaikan. Kami ingin turus mengembangkan apa yang kami bisa demi kebaikan bersama di Kalbar pada khususnya dan Bumi Borneo pada umumnya. Semoga gerakan yang kecil-kecil seperti di atas punya dampak bagi kebangkitan nasional kedua yang tenggat waktunya 1908-2008.

Akhirnya lewat pengantar redaksi ini kami ucapkan selamat menikmati edisi khusus Hardiknas di Borneo Tribune. Salam. □

Baca selengkapnya..